11 Desember 2010

Puisi

Sepatu & Tuhan Impor Buat Kaki Dunia Ketiga

aku mesti memasukan kakiku sendiri
ke dalam sepatu
untuk berjalan sore ini.

hari apa mama
memasukan kakiku
pertama kali
ke dalam sepatu?

kini,
aku tidak pernah salah memasukan kakiku
ke dalam sepatu
dengan santai atau terburu-buru.
saat aku belajar memakai sepatuku sendiri,
kadang mama bilang:
“sepatumu terbalik.
nanti orang tertawa.
nanti kamu jatuh.
diperbaiki dong.”

olala, apa warna sepatu yang pertama?
berapa sepatu habis untuk berjalan?

bila aku bertemu orang yang melirik sepatuku,
aku jawab dalam hati:
“hei men, ini sepatu boot australia
beli di singapur
pemberian kakak di batam.
impor men!”

sepatuku
ya allah
ya bapa
ya dewa
impor!

oh my god
& sepatuku
yang impor.
ayo, kita jalan-jalan,
beli es cendol
& buku
pascakolonial
sore ini.

Puisi

Ia Membuat Malam Lebih Cepat Daripada Jam

- V -

bibir lembut, bibir yang basah itu
mengawali pertemuan kami dengan:

"aku sudah tampak tua, ya?"

pelayan tiba—
meletakan secangkir kopi
dan secangkir teh tarik
di meja kayu—
dan berlalu.

"kamu belum tua."
aku melihat kuku jarinya.

bibir lembut, bibir yang basah itu
memercik ragu:

"kata mama, aku sudah tampak tua."

aku melihat tangannya gelisah,
mengaduk-aduk teh tarik siang itu.
ia memutar waktu dengan sendok,
membuat ruang lebih cepat jadi malam,
menelan bibir lembut, bibir yang basah.
hanya kukunya, kuku tinggal cahaya.
kunang-kunang di keheningan.

16 November 2010

Puisi

Manusia Berjalan

bagaimana kita beradu mata
tanpa janji sebelumnya?
bagaimana waktu bekerja
merancang pertemuan
menyusun ingatan!

fais, kau masih memotret?

ada bapak dua anak.
bila malam, ia berdandan jadi wanita,
menunggu pelanggan di sudut jalan.
siang, ia jadi bapak kembali.
aku ingin memotretnya. aku perlu mendekatinya.
aku tidak mau memotret perempuan cantik papan reklame itu.
then, sebentar lagi aku akan jadi seorang bapak.

berapa jauh manusia berjalan hingga pantas disebut manusia?

udara masih berembun, menyimpan banyak kesedihan.
di senen, di senen sebuah bis kota meninggalkan perhentian
membawa manusia subuh.
entah ke mana.

Puisi

Braga

Braga

aku ingin bernyanyi
di trotoar jalan malam
di samping ibu yang tidur bersama anaknya.
perempuan perempuan berpaha mulus melintas.
o, aku ingin bernyanyi dengan lirik terhubung pada lampu jalan
seperti api membakar bandung selatan.

satu kaleng bir
musik ke luar dari kafe
aku teguk di trotoar.
aku rasakan angin teduh
berhembus dalam mata ibu
yang tidur bersama anaknya.
tapi di jalan ini,
cinta telah gagal percaya
pada dirinya sendiri.
orang-orang menyusun malam
dari film hongkong
dan hollywood.

perempuan perempuan berpaha mulus melintas.
mari pergi ke jalan yang lain, euy.

9 November 2010

Puisi

Meninggalkan Pulau Penyengat

dalam gerimis petang,
bersama pompong
aku tinggalkan pulau penyengat
tanpa menziarahi gurindam dua belas.
aku membaca pasal 13:
air laut yang kembali kepada laut.

kesunyian bangkit
antara tiang kapal yang bersandar
dan kibasan sayap burung burung.
langit yang jauh, langit yang jauh
semuram punggung laut.
seperti dentuman pertama
meriam paranggi di selat malaka
mengusir bahasa melayu.

aku menghirup angin garam.
telepon genggamku masih memiliki sinyal.
antara rambut gimbal saut dan kacamata bode,
aku mendengar sorak-sorai,
orang-orang membangkitkan yang mati,
jadi hantu laut merompak pelayaran bahasa.

pom pong pom pong
pom pong pom pong

3 Oktober 2010

feature


Para Perempuan Perkasa

Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
mereka : cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa


(Perempuan-perempuan Perkasa, Hartoyo Andangjaya)

Pukul 01.00, Senin (27/9), tiga perempuan tua itu asyik duduk dan ngobrol dengan bahasa Jawa ngoko di pinggir jalan. Di depan mereka terhampar bayam, kangkung, pisang dan kelapa yang diletakan ala-kadarnya beralas karung plastik.

“Sekarang apa-apa mahal (red),” sela Sunaryo (70). Lalu disahut oleh Jira (60), “Iya.”

Dalam gelap di perempatan jalan di samping Balai Desa Bangunjiwo, Bantul, itu mereka terus ngobrol sambil menunggu dagangannya. Tak ada lampu yang menerangi dagangan dan wajah tua mereka. Lampu neon Balai Desa tak sampai ke tempat mereka. Sementara lampu warung kecil yang masih buka di depan mereka, persisnya di pojok barat perempatan, hanya membiaskan sedikit cahaya.

Tapi gelap dinihari itu bukan penghalang bagi mereka untuk berjualan, karena sudah terbiasa. Sebagaimana pengakuan Sunaryo, “Saya sudah berjualan sejak perawan cilik. Dulu, saya nganterin dagangan ke Pasar Gamping, Pasar Kranggan, Pasar Niten. Sekarang, jualan di sini (perempatan) aja, karena sudah tua.”

Dagangan Sunaryo, Ibu 6 anak dan 15 cucu ini, tidaklah banyak dinihari itu. Hanya setengah karung kangkung yang diambilnya dari kebun milik sendiri. Begitu pula dengan Jira, berasal dari Dukuh Salakan, yang menjajakan 5 sisir pisang serta bayam. Dan Wagirah, 7 kelapa.

Embun masih terus berjatuhan, bulan sepenggal di langit mulai disaput awan, waktu sudah menunjukan pukul 02.00. Dari berbagai arah, bermunculan perempuan-perempuan lainnya membawa dagangan mereka dengan sepeda dan berjalan kaki. Dan dua orang numpak motor.

Lalu, di perempatan samping Balai Desa mereka menjajakan barang dangannya itu, yang merupakan hasil kebun sendiri, seperti bayam, kangkung, telo pendem, kelapa, kemangi, banturi, jagung.

Ada sekitar 10 orang perempuan berusia lanjut saat itu, mereka membuat semacam pasar tiban. Bertransaksi dalam gelap dan embun dinihari.

Menurut Suminah (40), pemilik warung kecil di pojok perempatan itu, aktivitas pasar tiban dinihari di samping Balai Desa Bangunjiwo sudah lama dimulai. Bahkan sebelum ia lahir, pasar tiban dinihari itu sudah ada.

“Mulai pukul 00.00 sampai pukul 05.00 mereka (pedagang kecil) sudah berdatangan dari berbagai dukuh di Bangunjiwo. Tapi itu tergantung cuaca juga. Kalau hujan ya ndak jualan,” terang Suminah yang juga membuka warungnya khusus malam sampai subuh saja. Siang hari tutup.

Suminah adalah anak Sunaryo, salah seorang pedagang kecil itu. Ia sudah akrab dengan kondisi dan suasana pasar tiban dinihari di perempatan samping Balai Desa Bangunjiwo itu. Suminah mengatakan, biasanya hasil kebun yang dijual kecil-kecilan di perempatan itu, akan dibeli oleh mereka yang akan memasarkannya kepada bakul sayur di pasar tradisional daerah Yogya. Seperti Pasar Gamping, Pasar Serangan, Pasar Kranggan, Pasar Prawirotaman dan Pasar Niten.

Jadi, pasar tiban dinihari tanpa los dan penerangan di perempatan samping Balai Desa Bagunjiwo itu semacam pasar transit. Petani-petani kecil itu mengambil hasil kebunnya, memasarkannya, yang kemudian diteruskan oleh pedagang lainnya ke pasar-pasar tradisional di Yogya.

“Saya berjualan sejak kecil, diajak orang tua,” ucap Slamet (58), usai menurunkan hasil kebunnya, jagung, kangkung, telo pendem dari atas motor bebek.

Slamet yang belum sempat tidur karena mengikuti Syawalan di pedukuhannya, tetap terlihat bersemangat. Kebetulan ia memarkir motornya di depan Balai Desa yang diterangi lampu neon, sehingga guratan wajahnya terlihat meski samar. Guratan wajahnya yang tua itu bukanlah guratan keluh kesah. Tapi guratan hidup yang bekerja. Dan terlihat sangan feminim tanpa slogan muluk-muluk di ruang ber-AC. Begitu nyata adanya. Begitu feminitas.

“Anak saya dua. Suami saya sudah pensiun dari Dinas PU. Saya bekerja untuk menambah keuangan keluarga,” ucap Slamet dengan polos.

Begitulah. Transaksi terus berlanjut. Bagi dagangannya yang sudah laku, berasak menuju rumah. Sementara bagi dagangannya yang belum laku, bersabar menunggu hingga batas waktu yang sudah ditentukan pukul 05.00. Dimana matahari muncul, pasar tiban dinihari itu usai, dan hari baru dimulai.

Namun yang jelas, mereka yang berjualan di perempatan kecil itu, adalah perempuan-perempuan perkasa, akar-akar yang melata dari tanah menghidupi kota. Siapa bilang orang Indonesia pemalas.

22 September 2010

Puisi

Pertemuan Senja

setelah pertemuan ini aku akan pergi,
memasuki angin ke dalam malam.
pertemuan kita hanya senja,
daun berguguran dalam percakapan.

sunyi bergetar di leher kita,
es mencair dalam pikiran.
lihat aku sebagaimana aku melihatmu,
jangan biarkan semua berlalu dengan mata berpaling.

apabila nafas kita menjauh, semakin jauh,
senja ini serupa daun jatuh.

6 September 2010

Manusia Utama



nagawan into, kenapa kita orang terusir dari kita punya gunung salju abadi,
kita orang sebut itu nemangkawi (anak panah putih). kita orang amung mee,
manusia utama! kita punya emas dalam nemangkawi, tapi tidak disimpan
dalam honai. ke mana kita punya emas pergi?

sejak magaboarat negel jombei-peibei jadi ertsberg jadi grasberg,
suara kasuari hilang dari kita punya telinga. sejak kulit bia diganti rupiah,
kita orang terusir dari lembah tsinga, lembah Hoeya, dan lembah noema.
kenapa kita orang terusir dari nemangkawi?

nagawan into, bila masa pembebasan itu tiba:
sehelai daun lebar turun di sebelah barat
terbang kembali laksana kuncup bunga ubi
tumbuh dan besar di tanah
muncul di kaki gunung...

4 September 2010

Esei

Kebebasan Publikasi, Tantangan Berbahaya

“Penyair muda sepertinya berpikir yang dibutuhkan adalah mesin tik dan beberapa potong kertas. Mereka tidak siap, mereka tidak memiliki persiapan sama sekali.”

Begitulah ucapan Charles Bukowski—dikutip dari Hot Water Music, 1995—penyair Beat Generation gelombang ke dua, yang terkenal karena vitalitasnya bertahan hidup dan peminum berat di masyarakat pinggiran. Sebelum memulai karirnya sebagai penyair, Bukowski bekerja dalam pekerjaan kasar dan jurnalis di Harlequin. Dia digambarkan oleh Jean Genet dan Jean-Paul Sartre sebagai penyair Amerika terbesar.

Setelah lulus dari Los Angeles High School, Bukowski belajar selama setahun di Los Angeles City College, mengambil kursus jurnalistik dan sastra. Dia meninggalkan rumah pada tahun 1941 –ayahnya telah membaca cerita-ceritanya dan melemparkan barang-barang miliknya ke halaman. Ia pernah bekerja di pom bensin, operator lift, sopir truk, buruh pabrik biskuit, dan di kantor pos. Pada usia tiga puluh lima dia mulai menulis puisi.
Melihat perjalanan hidup Bukowski, agaknya bisa membantah pameo antara aktor dan penyair yang ditulis oleh Boleslawski dalam buku Enam Pelajaran Pertama bagi Calon Aktor (terjemahan Asrul Sani)—aktor dan penyair datang ke sebuah pertunjukan teater, di depan gedung teater mereka melihat pengemis yang sangat menyedihkan, penyair berhasrat menuliskan puisi untuk menggambarkan pengemis itu, sedangkan si aktor tak perlu melakukan apa-apa karena ia ‘merasa’ sudah menjadi pengemis itu, atau dengan kata lain sindiran halus bahwa aktor memiliki empati ‘lebih’ daripada penyair. Benarkah klaim Boleslawski itu? Belum tentu. Sangat belum tentu.

Empati bisa digali dari pengalaman bersentuhan langsung dengan kehidupan, dan itu telah memberi ‘kekuatan’ pada puisi Bukowski. Dimana Bukowski mengaku, 93 persen puisinya adalah otobiografi. Puisinya sangat dipengaruhi oleh keadaan kota tempat tinggalnya. Selain itu, ia juga menulis cerita pendek dan novel.

Secara intrinsik dan ekstrinsik karya Bukowski juga bisa membantah apa yang ditulis oleh ‘manusia hotel’ Iwan Simatupang dalam novel Merahnya Merah: penulis yang tak pernah kena sengatan sinar matahari.

Bisakah spirit dan pergulatan Charles Bukowski ‘memasuki hidup' yang diretrospeksikannya dalam puisi itu, misalnya, ditemukan pada puisi generasi muda sekarang—yang barangkali adalah Poets Society yang datang dari masa depan—bahwa menulis puisi, khususnya otobiografi maupun liris, bukan sesuatu ‘seolah-olah’ atau khayalan semata, tapi berangkat dari empiris, tak terpisah dari kehidupan (lingkungan), dan tak cuma mengandalkan pada bakat alam. Apalagi, kecenderungan puisi generasi sekarang banyak bermain pada ranah otobiografi dan lirisme.
***

Publikasi yang terbuka luas sekarang ini (koran, majalah, buletin, buku, milis, web, blog, facebook, twitter) dan mulai runtuhnya pusat kekuasaan sastra yang kerjanya cuma membaptis kepenyairan seseorang secara arsesif, adalah sebuah kemenangan masa sekaligus tantangan yang berbahaya, yang dimiliki penyair muda!

Pada ruang cyber, dibandingkan media publikasi konvensional (cetak), puisi hadir di publik tidak lagi setelah melalui tangan yang lain, yang masing-masing pemilik tangan tersebut, tentu memiliki selera berbeda-beda.

Namun kebebasan itu, sesungguhnya meminta pertanggungjawaban lebih, agar puisi tidak sekadar kecanggihan bermain bahasa, mengindah-indahkan bahasa (bahasa itu sudah indah!) dan produksi teks dari mesin (komputer) semata. Hal ini juga menjangkiti beberapa penyair yang konon sudah senior. Kegenitan publikasi di media cetak pun cyber, kadang tak ubahnya seperti status di facebook dan twitter, berisi persoalan pribadi yang seolah-olah menyangkut hajat orang banyak.

Wilayah domestik, ruang pribadi, bilik dalam, yang tak menyangkut hajat orang banyak itu tanpa ‘diolah’ tapi tetap dipublikasikan, mengingatkan kita pada infoitament. Lebih mengejar sensasi yang banal. Adakah Selebritis Syndrom juga tengah merasuk dalam sastra kita?

Jika kritik pingsan, jurusan sastra Indonesia mandul, sudah sepatutnya penyair membikin perhitungan habis-habisan dengan puisinya, sebelum puisinya itu melangkah bergelanggang mata orang banyak, bertemu pembaca aktif maupun pasif. Sebagaimana dokter, penyair juga profesi yang menuntut keseriusan dan tanggungjawab agar tidak terjadi malpraktek terhadap karyanya.

Puisi adalah dunia yang menjadi, tulis Chairil Anwar. Bagaimana puisi bisa menjadi ‘dunia yang menjadi’? Inilah tantangan terberat bagi penyair, sesungguhnya. Bukan berapa sering dimuat di media. Lalu berharap dapat undangan resepsi sastra. Apalah guna ikut 'pesta satra' itu, jika cuma ibarat mentimun bungkuk yang masuk karung tapi tak masuk hitungan. Jadi tukuk tambah.

Dan apabila puisi menjadi ‘dunia yang menjadi’ itu, agaknya, kita bakal bertemu apa yang disampaikan Konfusius: “Tidak belajar sajak, tidak ada yang bisa dibicarakan.”

Li Po, Jalaludin Rumi, Matsuo Basho, William Shakespeare, Arthur Rimbaud, Rainer Maria Rilke, TS Eliot, Pablo Neruda, menyebut beberapa nama yang cukup familiar di publik sastra kita misalnya, ketika kita membaca puisi mereka, secara diam-diam puisi mereka menyusup ke dalam memori intim, membuat ingatan bersama. Pengalaman penyair, pengalaman pembaca juga.

Bahkan, puisi bisa menjadi spirit bagi zamannya. Allen Ginsberg, lewat puisinya, turut memberi warna pada gerakan Beat Generation di Amerika Serikat tahun 1950-an. Wiji Tukul, penyair cum aktivis asal Solo yang hingga sekarang tidak diketahui keberadaannya, puisinya “Hanya Ada Satu Kata: Lawan! “ Diteriakkan lantang dan jadi simbol perlawanan terhadap rezim Orde Baru oleh mahasiswa pergerakan, hingga runtuhnya rezim para jenderal itu pada tahun 1998.

Pun Chairil Anwar, yang memberi kontribusi terhadap perkembangan puisi modern dan bahasa Indonesia. Meski berusia pendek, ia hanya mempublikasikan sekitar 77 puisi saja, namun bukan kuantitas yang menjadi tolak ukur, melainkan kualitas. Toh, karya seni bukan seperti barang kerajinan yang berorientasi pasar semata (media).

Yang pasti, masa depan perpuisian Indonesia terletak di tangan penyair muda yang berani melawan ucapan Bukowski di awal tulisan ini. Tentu saja dengan “memiliki persiapan” dalam puisi yang mereka ciptakan. Dan karya bukan sekadar produksi teks dari mesin (komputer), tapi teks yang bersumber dari kehidupan.

4 Agustus 2010

Seribu Kunang-kunang di Mataram



Lampu-lampu kota di lembah Mataram itu tampak seperti kunang-kunang saat saya menatapnya, Rabu (28/7) malam, dari Bukit Patuk atau populer disebut Bukit Bintang. Tersebab lampu-lampu kota yang tampak berkelip-kelip indah dari ketinggian membuat bukit ini disebut Bukit Bintang.

Bukit Bintang terletak di bawah belik (mata air) di wilayah kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, belakangan ini menjadi objek wisata 'menebar pandang dari ketinggian' terutama di malam hari. Dari kota Yogya jaraknya sekitar 20 Km, menuju arah timur melintasi Jalan Wonosari, bakal ditemui tanjakan curam dengan tikungan tajam. Kawasan ini merupakan gerbang Kabupaten Gunungkidul.

Aih, tiba-tiba saya teringat pada Cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam. Cerpen berseting akhir tahun 1960-an itu, mengisahkan tentang Marno perantau asal Jawa di kota Manhattan. Marno mabuk bersama perempuan yang 'memeliharanya', Jane, di apartemen milik Jane. Dan mereka sama-sama kesepian, sama-sama mengalami kebosanan, tapi dalam soal yang beda.

Jane meracau tentang Tommy mantan suaminya, sedangkan Marno merindukan kampung halamannya. Sehingga ketika Marno melihat kelap-kelip lampu kota Manhattan dari kaca apartemen, ia teringat pada kunang-kunang di sawah di kampungnya pada malam hari. Sementara Jane, yang hidup dan dibesarkan di kota itu, belum pernah melihat kunang-kunang dan penasaran pada binatang bercahaya itu. Yeah, kisah pertemuan dua kultur yang berbeda dan sama-sama terperangkap dalam kesepian kaum urban.

Ah, kisah biasa tentang pengalaman dari penulis dunia ketiga yang terperangah pada lampu-lampu dan gedung American Dream. Mirip mahasiswa tingkat pertama dipukau film drama Hollywood. Lalu berharap mimpi basah...

Itulah sebabnya saya tidak sedang membayangkan diri saya seperti Marno. Lagipula tak ada Jane di samping saya. Tak ada apartemen. Lampu-lampu kota yang saya lihat itu bukanlah lampu-lampu kota Manhattan melainkan kota Yogya yang tumbuh di negeri Mataram. Maka, saya menyebut kelap-kelip lampu itu sebagai Seribu Kunang-kunang di Mataram.

“Kalau kita datang sore hari, kita bisa menyaksikan momen matahari tenggelam, keren bro!” celetuk Andika diikuti anggukan Iman. Dua sahabat itu menyadarkan saya bahwa saya tidak sendiri menikmati 'Seribu Kunang-kunang di Mataram'.

Dan malam itu pengunjung cukup ramai. Setidaknya di warung bambu tempat saya menebar pandang ke lembah Mataram itu dipenuhi pengunjung baik yang berombongan, pun yang mojok berduaan. Belum lagi di warung-warung lainnya. Ada sekitar 10 warung dengan konstruksi bambu di bibir jurang, sebagai tempat bersantai menikmati pesona malam sambil menikmati menu yang tersedia.

Andika benar juga. Seandainya kami datang sore hari, tentu kami bisa menyaksikan persalinan waktu di lembah Mataram dari ketinggian. Dimana matahari pelahan-lahan tenggelam, lampu-lampu kota bermunculan. Sebuah momen yang mempesona tentunya.

Lantaran asik menikmati pesona perpaduan antara malam dan cahaya buatan manusia di lembah, dua porsi nasi goreng magelangan dan tiga gelas kopi yang kami pesan jadi tak terasa lama. Namun, sebelum memesan makanan tersebut kami mesti menanyakan harganya terlebih dahulu, sebab di menu tak ada daftar harga. Kami tak mau dipalak dengan sopan. Usai makan, bayarnya kemahalan. Hal yang jamak terjadi di tempat wisata.

Malam meninggi. Langit cukup cerah, meski tak banyak bintang bermunculan. Apakah telah jatuh bintang itu ke lembah? Udara dingin perbukitan mulai terasa di kulit saya.

Sebentar lagi saya akan turun ke bawah, menemui kenyataan sesungguhnya bahwa seribu kunang-kunang yang saya lihat dari bukit bintang itu adalah lampu-lampu berebut ingin menerangi kota Yogya. Kadang lampu-lampu itu terasa sesak juga.

Saya teringat pada frasa 'kota seribu lampu merah' dalam Cerpen Radio Tua, Kota Tua karya Raudal Tanjung Banua. Agaknya, itulah yang akan saya temui dari Seribu Kunang-kunang di Mataram menjadi Kota Seribu Lampu Merah bila saya turun dari Bukit Bintang dan memasuki kota Yogya.

24 April 2010

poem

Repromosi Sebuah Kota

siang di kotaku ramah sekali
pohon pohon tumbuh melindungi rumah
kau bisa berjalan di bawah cahaya matahari yang disaring daun-daun
mendengar kicau burung
angin lembut menyentuh

siang di kotaku ramah sekali
tak ada kemacetan
orang orang tahu aturan
karena pemimpin bijak
rakyat taat pajak

datanglah ke kotaku
kau akan menemukan omong kosong yang indah ini
lebih banyak lagi

Yogyakarta, 2007

31 Januari 2010

poem

Lempuyangan, November 2008

semua akan berlalu, yang tersisa cuma kenangan
tapi apa itu kenangan?
getar tangan dalam tangan
getar mata dalam mata
jadi sepi yang bergaung
di stasiun tua ini
dan kereta rongsokan
yang akan membawaku pergi

jam berdentang
malam tinggal bayang
kota tak punya perasaan
bagi perpisahan

biarlah ciumanku di keningmu penghabisan
mengerti bagi air mata yang kita tahan
sebagai kekasih, memang, kita usai sudah
tapi cinta tetap ada
untuk apa
dan siapa saja

29 Januari 2010

puisi

Lunto Kloof, Cinta Pertama Yang Gagal Kuselamatkan
lalu ia menunjuk stasiun tua yang mati itu, keberangkatan
dan kepulangan yang tak lagi ada, dan sadar, kami pernah lugu
berciuman di sudut sekolah itu.
laila, lesung pipitmu yang bertahan, senja
mengembalikan ingatan kita pada cinta yang remaja, pada bagaimana
gugupnya aku menyentuh jemarimu pertama kali, di bangku taman gluck auf
yang kini tak ada. seperti orang rantai di kota ini, akhirnya semua pergi
menyisakan masa lampau yang hanya bisa dijangkau lewat memori. tetapi
di lembah ini, tubuhmu jadi lubang lubang tambang bekas yang ditinggalkan,
juga cinta pertama yang gagal kuselamatkan.

aku pandangi menara asap itu. ketika aku sentuh,
sungai mengalir dari bahunya.
waktu telah mengubah
bibir kita jadi milik yang lain. milik yang lain, laila.
aku kalungkan cindera mata di lehernya, syal pacar
dari jogja.
matamu gemetar, tanganku bergetar.
lunto kloof, lunto kloof, maafkan aku, laila.
ciuman pertama itu masih membekas
mustahil terhapus lekas

14 Januari 2010

cerpen

Kematian Yang Sangat Menyedihkan

setiap kali duduk di depan komputer kantor, saya suka menatap sejenak pada senyum gadis dalam poster di dinding, yang jaraknya tiga meter dari saya duduk. saya selalu memastikan, apakah senyum gadis dalam poster itu telah berubah? hemm...ternyata senyum gadis dalam poster itu masih seperti dulu, seperti pertama kali saya menatapnya.

senyum gadis itu dalam poster itu sering membantu saya menulis kalimat pertama berita, setelah saya menatapnya barang sejenak. inilah yang membuat ia menjadi cukup penting bagi saya.

saya tidak tahu dan juga tidak ingin bertanya siapa nama gadis yang tersenyum dalam poster itu. biarlah ia menjadi rahasia, seperti senyumnya itu. yang jelas, gadis dalam poster itu sudah ada sebelum saya bekerja sebagai 'pemulung berita' di surat kabar sebuah kota tua. karena gadis itu pernah menjadi model iklan sabun mandi di surat kabar tempat saya bekerja. begitulah.

suatu malam, saya harus menulis berita tentang kematian, sendiri di kantor. semua bahan sudah ada, berserakan di atas meja. tapi saya tidak bisa memulai kalimat pertama. sebab, kematian itu sangat menyedihkan. jauh lebih sedih dari kematian apa pun yang pernah saya jumpa.

bagaimana saya akan menceritakan tentang kematian yang sangat menyedihkan itu, sedang saya belum bisa menulis kalimat pertama? saya takut menulisnya asal-asalan. saya takut kalau kematian itu tak lagi menyedihkan. seperti kematian manusia pada tahun 1966. ah...

saya telah berulang-ulang menatap senyum gadis dalam poster itu, tapi belum juga bisa membantu sebagaimana biasanya.

saya pejamkan mata. saya membatin: "baiklah, ini terakhir kali saya menatap senyum gadis dalam poster itu. jika ia tak bisa membantu saya menulis kalimat pertama tentang kematian yang sangat menyedihkan itu, saya akan melupakannya. ia akan menjadi sesuatu yang biasa."

kemudian saya membuka mata, dan menatap senyum gadis dalam poster itu. senyum gadis dalam poster itu tampak makin manis, makin mistis. pelahan-lahan, saya merasakan tubuh saya melayang, naik dari kursi. saya terus melayang, melewati meja komputer. melayang menuju dinding, mendekat ke arah gadis dalam poster itu.

dan senyum gadis dalam poster itu mulai menyedot kepala saya. badan saya. kemaluan saya. paha saya. kaki saya. hingga lenyaplah saya ke dalam senyum gadis dalam poster, yang manis, yang mistis itu.

saya seperti terdampar di pulau kecil, pulau terpencil, yang hilang dalam peta. saya mencari jalan keluar, seperti mencari kalimat pertama untuk berita tentang kematian yang sangat menyedihkan itu, yang ingin saya bagikan kepada anda.


Yogyakarta, 2010