2 Desember 2011

Puisi


Sajak

cahaya musim hujan di lampu jalan. malam panas bersalin malam dingin.
kata-kata terus membocengi cuaca, melaju ke yang tak terduga.

aku teringat padamu, aku teringat...
lolong anjing impikan tulang dalam daging.



23 Oktober 2011

Puisi

Malam yang Berangin

malam yang berangin. akan aku ingat malam itu
sebagai yang berangin
lehermu dan pantai
suara ombak dan bau dupa
menyatu di udara.

malam itu aku meletakan kata-kataku di dalam pasir
seperti penyu menyimpan telurnya.
dan apabila aku terlalu tua untuk bermimpi
kata-kataku akan menetas menjadi sajak
mencarimu di dalam laut
di antara ganggang, bangkai kapal,
dan anggur yang terperangkap dalam botol tua
berlumut.

bila suatu hari sajakku tak lagi menyentuhmu
bila suatu hari sajakku membuatmu jemu--
seperti payudara dalam beha, tak henti
menyelundup dari satu gaun ke lain gaun--
lupakan aku, lupakanlah
meskipun dalam sajakku tersimpan
helai rambutmu yang lepas
di malam berangin itu.

tapi bila kau datang lagi ke dalam pelukanku
di bawah langit tak berbatas,
ah kamulah sajak sesungguhnya,
aku tulis dengan garis nasib tangan.
hingga hari berangin
tulangku
tulangmu
kaku
dingin
jadi karang
di pantai
lain.

25 Juli 2011

Esei

Sahabat yang baik, berikut ini ulasan buku puisi Manusia Utama (IBC 2011) oleh Damhuri Muhammad yang dimuat di rubrik Khazanah (hal 25) Pikiran Rakyat, Minggu, 24 Juli 2011. Selamat menikmati dunia puisi.

Ari-ari Puisi
Damhuri Muhammad*


Secara fisik, ari-ari tak lebih dari selaput pelindung janin semasa di rahim ibu. Ari-ari adalah pangkal dari segala macam obsesi, busur yang melesatkan anak panah harapan, doa, dan cita-cita. Selepas prosesi kelahiran yang melelahkan, bukankah banyak syarat-rukun yang mesti dipenuhi sebelum ari-ari dikuburkan? Bila menginginkan watak luhur yang disukai banyak orang, maka serakkan lah kembang tujuh-rupa dalam wadah ari-ari. Mendambakan kejeniusan yang pilih tanding? Sertakan pensil dan buku. Atau bilamana menginginkan jiwa petualang, bubuhkan pasir dari tujuh muara. Untuk syarat yang disebutkan terakhir, percaya atau tidak, bila sudah tiba saatnya, seorang anak akan melesat bagai pelor yang ditembakkan dari muncung senapan laras panjang. Pergi sejauh-sejauhnya, dan jangan harap ia bakal pulang. Ia petualang sejati, yang segera melupakan jalan pulang. Lupa kembali ke pangkal jalan.

Inilah panggilan penciptaan sajak bertajuk “Bangkinang” dalam antologi Manusia Utama (IBC 2011) karya terkini penyair muda Y. Thendra BP, pernah sekali/angin dini hari/menyusup lewat jendela bis/yang tak terkunci/menegur aku/menoleh pada tanah kelahiran itu/tapi tak tahu aku/di bawah pohon apa ibu/menanam ari-ariku/dan bis terus melaju.

Menurut hemat saya, perhatian utama sajak ini adalah ari-ari. Sejarah mula-mula, muasal paling purba dari sebuah identitas. Tiada satu pun teori yang dapat menakar sejauhmana signifikansi ketercapaian obsesi dan cita-cita itu, kelak di kemudian hari. Namun, pengharapan dan hasrat selalu saja hendak dilekatkan pada ari-ari, dari satu kelahiran ke kelahiran yang baru. Maka, sajak ini adalah sebuah ikhtiar penggalian kenangan yang nyaris hilang perihal dunia ari-ari, atau lebih jauh, sebuah pemancangan tanda bahwa di bawah "pohon yang entah di mana" itulah segala macam tarikh manusia bermula. Kecenderunga semacam inilah dalam bahasa filsuf Jacques Ranciere (2010) disebut petrification, upaya pembatuan kenangan, pemosilan sebuah peristiwa yang nyaris tertimbun oleh debu dan residu sejarah.

Sajak-sajak yang terbuhul dalam antologi Manusia Utama itu sebagian besar─bila tak dapat disebut dominan─bermula dari sejumlah peristiwa perjalanan, baik perjalanan spasial-temporal maupun mental-transendental. Tengoklah pula sajak bertajuk “Di Jembatan Siti Nurbaya,” yang menegaskan sebuah afirmasi betapa latennya pengaruh the power of imagination. Betapa tidak? Hingga esai ini dinukilkan, di belahan Indonesia manapun, bila ada peristiwa kawin-paksa, selalu saja muncul hasrat melawan yang direpresentasikan dengan ungkapan: “Ah, ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya!”

Pertanyaan saya, dalam ranah historiografi kita, kapan sesungguhnya kurun yang patut disebut zaman Siti Nurbaya itu? Sama sekal tidak bisa ditandai bukan? Inilah bukti paling absah dari upaya pemfosilan sebagaimana disinyalir Ranciere. Sedemikian besarnya pengaruh pembatuan itu, di Ranah Minang masa kini─ latar tempatan roman karya Marah Rusli itu─bahkan ada kuburan Siti Nurbaya (entah siapa yang berinisiatif menggali dan menuliskan efitap-nya), ada umat yang rutin berziarah ke sana, mendoakan keselamatan arwah Siti Nurbaya. Ada pula jembatan yang diberi nama “Siti Nurbaya”, yang kemudian menjadi asbab al-wurud sajak Y. Thendra B.P: siti, muara teramat senja/mengalir di bawah rambutmu/mengingat kasih menggenggam/untuk melepas. Sajak ini, lagi-lagi hendak membendakan sebuah kenangan yang bermuasal dari dunia bernama imajinasi, dunia khayali.

Dalam perjalanan yang lain, tak lupa Thendra menyinggahi kampung halaman, Minangkabau selepas megabencana, gempa yang tak hanya mengakibatkan korban manusia, tapi juga kemanusiaan, sebagaimana ternukil dalam sajak “Kepada Farits dan 30 September 2009.” Pada sajak itu, penyair tak sekadar singgah, lalu memotret semesta duka sebagaimana kerja seorang pewarta. Tidak! Subjek penyair berada dalam ketegangan antara penyelamat dan korban. Ia survivor, sekaligus korban. aku sanggup melupakan yang datang/tapi tak sanggup melupakan yang pergi. Rumah kalau mau rubuh rubuh lah, sawah-ladang amblas lah, namun masih mujur nyawa dapat terselamatkan. Bukankah selalu begitu kita mencari yang luhur dari setiap musibah yang datang tiba-tiba? Ada yang luhur dalam petaka. Inilah yang barangkali disebut Mikhail Bakhtin (1895-1975) dengan konsep “Karnaval.” Ada terang dalam gelap, ada riuh dalam sunyi. Dalam batas-batas tertentu, subjek pembaca bisa berpihak pada pemegang kuasa bencana, karena lantaran musibah yang telah menyebabkan kematian, yang tak pernah terpanggil untuk menengok kampung halaman akan datang, yang tercerai-berai bakal tersambung.

Lalu, di titik manakah tualang kepenyairan bakal berlabuh? Di dunia kepenyairan, bukan perjalanan lagi namanya bila gerak petualangan itu sudah berhenti. Namun, sajak yang hendak membendakan kenangan dari setiap perjalanan (Merak-Bakauheni, Tanjung Pinang, Papua, Jalan Lintas Sumatera, Bangkinang, dll) tentu bukan sekadar perjalanan spasial-temporal yang tak menyisakan memorable-line. Bila itu yang terjadi, maka sajak-sajak dalam antologi itu akan jatuh sebagai feature perjalanan belaka.

Selain itu, mengingat Thendra telah memaklumatkan jalan sajaknya sebagai jalan “yang bukan buat ke pesta” (April, Haiku, Chairil), maka riwayat perjalanannya tak lagi sekadar singgah dari kota ke kota, berlabuh dari pelabuhan ke pelabuhan, melainkan perantauan yang berangkat dari sebuah obsesi, pencapaian, tujuan, sebagaimana obsesi seorang ayah saat menguburkan ari-ari bayinya. Bila tidak, maka perjalanan tanpa haluan, tanpa tujuan, sesungguhnya lebih pantas disebut pelarian…

* Esais, penyuka sajak

18 Juli 2011

Puisi

Bunga Padi

engkaulah bunga padi,
tumbuh di ladang sepiku.
angin menyalakan malaimu,
di bawah langit tak berbatas
pikiran sari muncul dari lemma
dan palea yang terbuka,
hari menjadi adalah
bulir emas yang merunduk
kerna berisi di hatimu,

berisi di hatiku!

o, mekarnya mekar, mekarlah...
kulantunkan litani
di lembah sungai yangtze.

14 Juli 2011

Esei

Boleh dibilang, puisi merupakan genre sastra yang paling banyak ditulis sekarang ini di Negeri Rayuan Pulau Kelapa, baik oleh penulis sekadar maupun penulis sungguhan. Apalagi makin beragamnya media publikasi, dan semakin mudahnya akses untuk menjadikan puisi sebagai buku, baik antologi bersama maupun antologi tunggal.

Apakah ini menunjukan bahwa puisi sudah memasyarakat atau jangan-jangan karena puisi "dianggap" mudah ditulis karena tak butuh "mengetik" kata berjela-jela hingga ratusan halaman, sebagaimana kelakar Wina Bojonegoro saat kami bertemu di Surabaya (Mei, 2011):"menulis puisi itu yang dibutuhkan cuma kopi, rokok, kertas, dan pena. Beda dengan novel yang butuh penelitian"?

Barangkali kelakar Wina tersebut berlaku bagi dirinya sendiri.

Bagi saya, menulis puisi selain butuh penelitian, juga butuh "yang lain". Dan ketika puisi tersebut sudah dijadikan buku, bagi saya, ia harus bicara dan harus dibicarakan. Tentu saja ini bukan kerja yang mudah di tengah minimnya apresiasi secara teks. Saya mengucapkan terima kasih kepada mereka yang sudi mengapresiasi buku puisi saya "Manusia Utama" (IBC, April 2011) secara teks, dengan berbagai tanggapan dan bentuk ulasan. Dalam hal ini saya percaya, "Jika kita mau menghidupkan tradisi apresiasi puisi secara teks, ia akan hidup".

Nah, berikut ini tulisan Dwi Pranoto yang membahas buku puisi "Manusia Utama" dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Kelompok Tikungan di Warung Gubuk, Selasa (18/5) malam, di Jember. Saya bagikan ulang kepada sahabat yang hadir maupun tak sempat hadir dalam acara tersebut, agar peristiwa puisi (sastra) mesti dicatet mesti dapat tempat.



Membaca Thendra Berkaca pada Chairil
oleh Dwi Pranoto


Kutipan dua baris pernyataan Chairil Anwar, Aku suka pada mereka yang berani hidup / Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam yang termuat di lembar halaman setelah halaman penerbit – ini berarti sebelum kita berhadapan langsung dengan puisi-puisi dalam kumpulan puisi Manusia Utama (MU) – seolah memberi tahu puisi-puisi seperti apa yang bakal kita baca setelahnya. Benarlah, walaupun tak sepenuhnya, setidaknya pilihan diksi, irama, dan suasana sejumlah puisi dalam MU mengingatkan kita pada beberapa puisi si binatang jalang itu. Sebagaimana puisi-puisi Chairil yang disusun dari pilihan kata-kata yang lugas dan tandas dengan larik-larik pendek yang tajam, puisi-puisi seperti Solilokui, Bangkinang, Bila Kita Jadi Tua Bersama , Merak – Bakauheni yang terhimpun dalam MU juga demikian. Y. Thendra BP juga sering menggunakan istilah sehari-hari, kadang percakapan biasa, yang selanjutnya berubah menjadi alam imaji. Namun, jika Chairil menggabungkan percakapan sehari-hari dengan metafora, Thendra lebih banyak menggabungkan percakapan sehari-hari dengan sinekdoke. Daripada “menyembunyikan” makna lain dalam kalimat metafora, Thendra lebih memilih menyusun kalimat dari kata-kata yang punya bobot pembangun suasana guna membuat keseluruhan dari sebagian. Puisi Kepada N dimulai dengan tujuh baris yang menggunakan kata-kata dalam percakapan biasa namun mampu mengungkapkan suasana kerinduan dengan menggabungkannya bersama pilihan kata-kata yang menyusun kalimat sinekdoke; jam berdentang dan malam jadi bayang menggambarkan waktu berjalan muram disusul dengan matanya yang bulat, bibirnya yang manis – melukiskan seseorang (wanita) dengan menyebutkan sebagian anggota tubuhnya – dengan diantarai oleh sebuah pertanyaan yang menegaskan kerinduan akankah ia kembali datang seperti memperkenalkan kepada siapa ia merindu. Yaitu kepada seseorang yang bisa memberikan penerangan dan ketenangan; sebagaimana mata bulat yang benderang itu menyibak keremangan kabut dan bibir manis yang lembut meredam gemuruh suara pesawat dan kehadiran orang yang memiliki mata dan bibir demikian itu juga diharapkan bisa mencerahkan waktu yang berjalan muram “saat ini”. Jadi fungsi larik kalimat akankah ia kembali datang? itu bukan hanya menegaskan kerinduan, tapi sekaligus menghubungkan waktu kini dan waktu lalu yang tersimpan dalam ingatan. Pada bait kedua waktu yang berjalan muram itu kembali dinyatakan dengan mengulang baris pertama dan kedua pada bait pertama. Sementara fungsi akankah ia kembali datang? digantikan oleh bagaimana aku melupakan. Perasaan rindu semakin pekat mengental di bait kedua ini dengan ditandai oleh permainan pengulangan yang membuat waktu seolah membeku. Untuk bait terakhir yakni bait ketiga yang terdiri dari dua baris merupakan kesimpulan yang mengingatkan kita pada sejumlah puisi Chairil seperti Sia-sia dan Kawanku dan Aku yang diakhiri dengan kesimpulan yang tandas.

Berbeda dengan Chairil Anwar yang menolak diikat cinta, lebih memilih dengan sadar menjauhinya dan menjadi individu merdeka yang bebas menghisap habis nafsu badani meski harus diganjar perih, seperti diungkapkan dalam salah satu puisinya, Sia-sia. Thendra sebaliknya, ia ditinggalkan cinta. Sejumlah sajak bertema cinta dalam MU, seperti Lunto Kloof, Kepada N, Di Jembatan Siti Nurbaya, Lempuyangan, mengungkapkan nganga luka yang membuat sepi karena cinta yang menjauh-menjauh. Bahkan dalam puisi Di Jembatan Siti Nurbaya dan Tanpa Judul menjadi cinta yang platonis. Cinta menjadi nampak lebih agung ketika belaka dibayangkan seperti dituliskan dalam dua baris di bait terakhir dalam Di Jembatan Siti Nurbaya; tak dilahir bersatu /di batin bertaut jua; atau empat baris terakhir dalam Tanpa Judul; dan cukup bahagia/meski hanya bisa/mengakrabi alis matamu/dari jauh. Namun begitu ia juga mendendangkan cinta sederhana dalam Bila Kita Jadi Tua Bersama yang bisa dibandingkan cinta sederhananya Chairil dalam Di Taman. Tapi pada Thendra cinta sederhana itu tumbuh setelah nafsu badani padam.

Masa lalu yang gemilang dan kampung halaman yang menenangkan barangkali menjadi impian para penyair Indonesia yang tak pernah hapus sejak tahun 1920-an ketika kemoderenan masih menjadi pengalaman yang begitu belia. Demikian juga dengan Thendra, modernisme hari ini telah melemparkannya pada kebimbangan panjang untuk menemukan diri sendiri ditengah puing-puing identitas tradisional yang pecah di kota-kota besar Indonesia. Pulang menjadi suatu gagasan yang rawan ketika kampung halaman pun kini telah menghilang. Dalam puisi Bangkinang misalnya, kampung halaman tak lagi dikenali dengan penuh karena ia hanya memandangnya dari dalam bis yang laju. Kampung halaman memang menegurnya, tapi ia telah kehilangan sebagian dirinya di kampung halaman itu dan tak ada waktu lagi untuk mencari; tapi tak tahu aku/di bawah pohon apa ibu/menanam ari-ariku/dan bis terus laju. Pilihan kata “menegur” daripada “memanggil” di sini menjadi penting untuk menandai penyifatan sapaan kampung halaman. Sementara dalam Solilokui kepulangan menjadi sesuatu yang asing karena perubahan; lampu-lampu hotel/lampu-lampu reklame/ bikin asing pada kepulangan – . Bahkan dalam Ngai Oi Ngi dan Manusia Pergi pulang menjadi sesuatu yang mustahil. Dalam Disebabkan Humor kebiasaan lama menghormati leluhur pada akhirnya harus menyesuaikan diri dengan perubahan modernitas yang dilambangkan dengan mall jika ingin masih terus dilakukan. Tentu Disebabkan Humor merupakan puisi sindiran yang pahit, demikian juga dengan ironi sinis yang dimainkan dalam Sepatu dan Tuhan Impor Buat Kaki Dunia Ketiga yang diungkapkan dengan menyajikan kontras antara sepatu impor dan es cendol yang kemudian ditutup dengan buku pascakolonial yang seolah mengisyaratkan suatu kontradiksi yang tak tersembuhkan. Bagaimanapun, hal-hal di atas menggambarkan suatu pendirian yang berada di garis perbatasan yang mana sebelah kaki berada di masa lalu sementara sebelah lagi menjejak masa kini. Persis tak sama dengan Chairil yang meneriakkan kata putus dengan masa lalu dengan segala norma komunalnya dan memutuskan menjadi individu tanpa terikat dengan apapun. Tentu kita sama tahu kalau pendirian Chairil ini telah mendapat cibiran bertubi sebagai individu yang bertanah air Eropa, terutama oleh angkatan sesudah 40-an dengan Ajip Rosidi sebagai juru bicaranya.

Pada hari ini modernisme seolah menemukan dirinya yang “baru” setelah usainya perang dingin dan kapitalisme liberal muncul sebagai kekuatan dominan yang hampir tanpa tertahan lagi merangsek ke seluruh permukaan bumi (sebagian orang lebih menyebutnya sebagai masa pasca modern). Invasi agresif perusahaan-perusahaan multinasional untuk membuka pasar baru bukan hanya menyasar ruang-ruang fisik atau geografis. Lebih dari itu, mereka juga telah masuk jauh ke dalam “imajinasi” dan berupaya menduduki identitas komunal yang dipusakakan oleh masa lalu seperti simbol-simbol ikatan etnik dan sejenisnya. Hal yang membuat globalisme nampak sebagai pecahan-pecahan lokalitas yang bangkit kembali setelah masa tidur panjang dalam selubung uniformitas modernism lama. Namun, orientalisme baru ini menitikberatkan pembangkitan lokalitas pada diri individu daripada kerjasama komunal yang ditandai dengan tumbuh maraknya budaya life style. Artinya, munculnya simbol-simbol etnis bukan menandai suatu praktik budaya yang dilandasi oleh semangat etnisitas. Tapi lebih merupakan pilihan individu untuk menjalani hidup di bawah suatu panji-panji tertentu tanpa harus menerima konsekwensi-konsekwensi tertentu yang merupakan akibat dari pilihannya. Pengosongan biohistoriografi komunal nampaknya berupaya diisi oleh kaum “pemberontak” penentang keserakahan kapitalisme lanjut dengan politik. Maka kita kemudian bisa membaca puisi Manusia Utama sebagai ungkapan hilangnya kearifan lokal bersama pemiskinan material yang disebabkan oleh pengurasan sumber daya alam. Istilah-istilah lokal (saya duga dari Papua) yang banyak bertebaran di sekujur puisi Manusia Utama merupakan ungkapan simpati yang amat dalam pada apa yang terjadi disamping memberikan pengangkuan keberadaan identitas lokal.

Modernism atau pasca modernisme merupakan semacam mesin penghancur masa lalu. Mesin yang mengasingkan individu dari biohistoriografi komunalnya sendiri. Seperti yang terungkap dalam puisi Urban, bahwa hilangnya pohon dan udara yang sering diasosiasikan pada kehidupan tradisi etnis yang alami (damai) yang diganti oleh lambang-lambang modernitas yakni beton dan uang telah mencederai individu atau manusia yang dinyatakan sebagai membakar tangan atau merupakan unsur yang asing bagi tubuh hingga ditanggapi dengan menolak, terbakar.

Modernisme atau pasca modernisme atau masa kapitalisme lanjut bukan hanya telah merampas masa lalu, sekaligus juga menciptakan ketimpangan dalam relasi produksi yang mengakibatkan tak terpenuhinya kesejahteraan. Dalam puisi Manusia 10 Jam Sehari yang bertitimangsa 2011 tergambarkan bagaimana seorang buruh yang hidup dalam penghisapan majikan. Namun, yang agak ganjil adalah ketika kata “proletariat” yang dapat diasosiasikan pada perjuangan radikal (kiri) digabungkan dengan kata “bunga-bunga” yang dapat diasosiasikan pada suatu hal yang berhubungan dengan kelembutan, sebagaimana juga penggabungan “kupu-kupu” dengan “mata merah”. Apakah hal ini menyiratkan suatu jiwa pemberontakan yang tertahan ataukah jiwa pemberontakan yang coba dikendalikan radikalitasnya dengan membasuhkan suatu kelembutan padanya? Hal yang pasti adalah puisi-puisi yang dihimpun dalam Manusia Utama seperti hendak menerakan kebimbangan antara kehidupan individu yang bebas dengan kehidupan sosial yang menghendaki suatu perikatan, antara masa kini dan masa lalu, yang mana kontradiksi itu hidup berpenjelang masa depan yang tak pasti. Aku kira penyusunan 42 puisi dalam Manusia Utama yang tak mengindahkan pengelompokan tema dan urutan titi mangsa penulisannya mengisyaratkan hilangnya pembedaan ruang-ruang pribadi dan sosial. Melelehnya sekat-sekat ruang atau lebih tegas lagi hapusnya sekat-sekat ruang yang hendak menyepadani ruang-ruang maya yang diciptakan oleh pencapian tekhnologi media informasi. Tibanya suatu masa ketika reproduksi artistik makin mengandalkan tekhnik mimikri yang menggarap ulang karya-karya lama tanpa perasaan simpati yang rahasia pada karya-karya yang digarap ulang tersebut. Tak ada rangsang satiris pada puisi Retrospeksi Lagu Kanak-kanak yang menggarap ulang lagu Burung Kakak Tua, tak juga dalam Lagu Lama yang menggarap ulang pribahasa lama Bagai pungguk merindukan bulan, begitu juga dengan April, Haiku, Chairil. Semua penggarapan ulang ini hanya berlandas pada hasrat bermain-main. Setidaknya begitulah yang aku duga.

Chairil tak hadir sebagai simpati rahasia atau rangsang satiris dalam Manusia Utama, kecuali denyar-denyar stilistiknya yang itupun tak pekat benar.

24 Mei 2011

Apresiasi

Sabtu, 21 Mei 2011, jam 19.00, Beranda 57 bekerjasama dengan Teater Kappas SMA Pasundan 2 Tasikmalaya menggelar bedah buku puisi "Manusia Utama" (IBC, Mei 2011) karya penyair Yogyakarta, Y. Thendra BP. Bertempat di aula kampus SMA Pasundan 2 Tasikmalaya, acara ini dimeriahkan oleh pembacaan puisi, diskusi, dan bajigur party, dihadiri oleh para seniman Tasikmalaya dan kalangan pecinta sastra. Sarabunis Mubarok, penyair dan pemerhati sastrawati yang Aktif di Sanggar Sastra Tasik (SST)dan Komunitas Azan, menjadi pemantik diskusi malam itu. Berikut tulisan doi yang dijadikan pemantik diskusi dan dimuat di Radar Tasikmalaya, Minggu, 22 Mei 2011.

PUISI DAN TUSIRAN PERISTIWA

(Oleh Sarabunis Mubarok)

Setelah membaca antologi puisi ‘Manusia Utama’ karya Y. Thendra BP, saya mungkin tidak begitu kagum dengan bentuk-bentuk puisi yang ada di dalamnya. Secara teknik dan bentuk penulisan, puisi-puisi dalam antologi ini adalah sesuatu yang sangat umum ditulis oleh penyair-penyair mapan di Indonesia.

Namun lepas dari bentuk penulisannya, mau tak mau saya tetap harus memuji Thendra dalam hal kemampuannya mencatat peristiwa. Penyair dengan kesadaran yang baik mampu membebaskan peristiwa untuk berbicara tengtang realitasnya. Peristiwa-peristiwa tersebut berloncatan dalam dunia barunya, yaitu puisi. Ia bebas bergerak, menangis, tertawa, bergumam atau berteriak.

Tak mudah memeroleh kesadaran mengemas sebuah peristiwa untuk bisa berbicara realitasnya sendiri melalui puisi. Dan penyair memang semestinya tidak melulu harus mencampur banyak hal untuk membumbui suatu peristiwa supaya menjadi puisi.

Sebuah peristiwa yang ditusir si penyair ke dalam puisi dengan jarak yang telalu dalam, akan menyebabkan melimpahnya distrorsi kreativitas. Meskipun mungkin akan terasa sangat dramatis, namun sebagian realitas menjadi kabur atau seakan-akan dikaburkan. Dan hal seperti ini mennyebabkan puisi terjebak di lorong yang gelap. Kekuatan realitasnya menjadi sulit dinikmati, atau mungkin menjadi tak ternikmati.

Sebaliknya jika sebuah peristiwa ditusir penyair dalam jarak yang terlalu dekat, akan menyebabkan puisi kehilangan sudut pandang. Lalu puisi akan terasa sangat cair. Puisi menjadi terlalu apa adanya, dengan kretivitas yang apa adanya pula. Ketika realitas sebuah peristiwa begitu terang, puisi menjadi tak lebih dari sebuah catatan jurnalistik belaka.

Namun dalam antologi ini, penyair memiliki kehati-hatian yang baik. Thendra menempatkan peristiwa dalam puisi dengan jarak tusir yang terjaga. Tidak terlalu jauh sekaligus tak terlalu dekat dengan peristiwa yang ditusirnya. Sebuah kesadaran yang baik untuk menjaga puisi agar tidak kehilangan rasa realitasnya.

Secara auditif, puisi-pusi Thendra juga enak dibaca dan enak didengar. Selain ada banyak rima yang bermain cukup apik, pada banyak puisinya ia juga cermat membagun dialog yang memperkuat puisi itu sendiri.

Antologi ini diberi judul Manusia Utama, judul yang sama dengan salah satu puisi di dalamnya. Sebagai judul antologi, sangat menarik, puisinya pun asyik. Saya mencoba memahaminya, meski tidak mudah. Puisi ini mengajak pembaca untuk mencari literatur tentang Amungme, Nemangkawi, dan istilah lainnya supaya benar-benar bisa menikmatinya.

Nemangkawi adalah sebuah kata yang berasal dari salah satu bahasa dari tujuh suku pemilik tanah ulayat yang masuk dalam wilayah kontrak karya PT Freeport, di Kabupaten Mimika, Papua. Dan di sanalah hidup suku Amungme. Secara harafiah amungme terdiri dari dua kata yang memiliki makna berbeda yaitu "amung" yang artinya utama dan "mee" yang artinya manusia. Orang Amungme percaya bahwa mereka adalah keturunan pertama dari anak sulung bangsa manusia, mereka hidup disebelah utara dan selatan pegunungan tengah yang selalu diselimuti salju abadi yang dalam bahasa Amungme disebut nemangkawi (anak panah putih).

Tanpa mengenal arti dari kata-kata tersebut, membaca puisi ini mungkin akan mengerutkan dahi, meskipun secara keseluruhan masih bisa ditangkap suatu kegelisahan yang samar-samar terderngar.

Namun justru kata-kata berbahasa Papua itulah yang membuat puisi ini sangat khas. Meskipun saya hanya mendapatkan arti harfiah dari kata-kata tersebut, namun puisi ini mampu membangun imajinasi saya: Sekelompok suku yang tengah bersembahyang, bersudud dan memanjatkan doa keluh kesah kepada Tuhannya. Ini terjadi karena sebuah keadaan yang tak bisa dilepaskan dari sejarah Papua. Sebuah ketakberdayaan masyarakat ketika kekayaan alam mereka berpuluh tahun dirampok di depan mata oleh sekelompok kapitalis yang kejam dan serakah.

***

Selalu ada yang beda, atau Thendra sengaja membuatnya berbeda. Pada puisi-puisi lainnya tusiran realitasnya tergerus kejengkelannya penyairnya sendiri. Pada puisi yang berjudul Repromosi sebuah kota, Sepatu & Tuhan Impor buat Kaki Dunia ke Tiga, Urban, Disebabkan Humor dan puisi berjudul Braga, misalnya. Puisi-puisi tersebut terasa togmol, dan sebagian lainnya lebih terasa sebagai anekdot.

Thendra bertutur dengan sangat lancar. Namun pada beberapa puisi, penekanannya banyak disimpan pada bait akhir, semacam kesimpulan yang menyebabkan deskripsi yang didedahkan di bait-bait sebelumnya terasa hanya sebagai penyangga. Pada bait akhir puisi Merak-Bakauheni misalnya, gunung krakatau itu tampak tenang? / sesungguhnya tidak, seperti dirimu/ menyimpan larva dan duka cinta//

Antologi ini dibuka dengan sajak tentang peristiwa dan waktu. Sebuah peristiwa akhir tahun yang ditulis sangat apik. Ada tusiran realitas yang menafsiri waktu sebagai pertanda. ”aku akan menutup jendela, menemuimu/membuka jendela yang lain/di tubuhmu//”

Dan antologi ini ditutup dengan puisi berjudul Taman Bermain. Sebagai penutup, puisi ini seolah mengisyaratkan proses kreatif penyairnya.

di taman bermain / merendah angin pada bunga-bunga / dua kanak-kanak berkejaran dalam mata / dua kanak-kanak dalam diri bicara//

+ kita mau ke mana? / -ke mana saja asal ada tempat bermain ./ + hari sudah petang / - aku belum mau pulang.

Dalam puisi ini Thendra kembali memandang waktu hanya sebagai pertanda, bukan sebagai batas. Dalam kepenyairan, tak eloklah kiranya jika penyair menjadikan waktu membatasi kreativitasnya. Tak ada pensiun dalam kamus seorang penyair, kecuali sekedar menunggu ilham lahir. Karena seperti yang diungkapkan Thendra, puisi akan terus mengalir seperti angin dan bunga, bermain-main untuk menikmati kematian dan kelahiran yang nyata.

Mungkin demikianlah Y. Thendra BP. Ia selalu ingin pergi ke tempat bermain, mengasuh anak-anak yang tumbuh dalam dirinya, menyadarkan diri bahwa hari sudah petang, sekaligus menyadari belum saatnya untuk pulang..(*)

23 Mei 2011

Resensi

Manusia Utama: Puisi, Politik dan Sajak Cinta
Oleh Edy Firmansyah (Penyair cum Jurnalis)


Ketika memesan buku “Manusia Utama” karya Y. Thendra BP, sebuah buku kumpulan puisi yang dihimpun penulisnya mulai dari tahun 2006 sampai dengan 2011 saya membayangkan sebuah buku puisi gemuk, tebal yang berisi ratusan puisi. Namun ketika buku puisi tersebut sampai di tangan, ternyata saya keliru besar. Buku “Manusia Utama” itu hanya memuat kurang lebih 51 puisi saja.

Barangkali Thendra termasuk penyair yang mengutamakan kualitas sebuah karya daripada sekedar menyelam dalam kuantitas. Dalam artian, Thendra tak lagi risau dengan pertanyaan banyak penyair ‘senior’ yang selalu ribut soal kuantitas ketika muncul penyair baru yang masih muda belia: “sudah berapa banyak puisi yang kau tulis?” “Sudah berapa banyak puisimu yang dimuat di Koran nasional?” Sebaliknya dengan buku puisi tipis itu ia hendak menampik semua pertanyaan itu bahwa seorang penyair yang berhasil tidak ditentukan oleh seberapa banyak puisi dibuat dan diorbitkan, melainkan seberapa dalam puisi dibuat, dibongkar, digali, dirombak, direvisi untuk mampu menyentuh sisi terdalam kemanusiaan. Bukankah dengan menulis sekitar 70-an puisi Chairil Anwar mampu memberi warna baru pada khasanah sastra Indonesia? Itulah mengapa Thendra menulis dalam salah satu sajak pendeknya berjudul April, Haiku, Chairil (yang pernah saya dengar menjadi kredo-nya): aku melangkah/di jalan sajak—/bukan buat ke pesta.

Tentu saja bukan perkara gampang untuk memilih dan memilih kata ketika disusun menjadi puisi agar bisa menciptakan sebuah puisi yang menyentuh kemanusiaan. Karena bukan satu hal yang mudah seringkali tak sedikit penyair tersesat ketika membuat puisi. Alih-alih membuat puisi yang menyentuh, misalnya mengungkap kepedihan perempuan di pelacuran, tetapi kata yang dipilih kata-kata berat dan kadang kata yang tak lazim digunakan sehari-hari yang sengaja ia pungut dari dalam kamus besar bahasa Indonesia hanya untuk menunjukkan keunikan sajaknya. Akibatnya upaya penulis puisi yang hendak mengungkapkan kepedihan pelacur tak sampai pada pembaca. Malah yang terjadi justru pembaca tak bisa memahaminya.

Menurut Putu Oka Sukanta, salah satu penyair lekra terkemuka itu, puisi sebagai sebuah kumpulan kata, harus mampu mengorganisasi dirinya agar makna setiap kata dapat mengungkapkan/ mempresentasikan dirinya untuk dipahami oleh pembaca dan kemanusiaan. Bahkan walaupun puisi otobiografis sekalipun. Artinya, meski puisi merupakan hasil kreasi individu yang berdasarkan sudut pandang subyektif, puisi seharusnya bisa mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab penyair dan pembaca adalah manusia, yang terjaring saling menghidupi dengan manusia lainnya dalam berbagai kondisi sosial-ekonomi-politik yang melingkupinya dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan lain kata, pengalaman penyair adalah pengalaman pembaca juga.

Tentu saja untuk mencapai itu semua diperlukan kerja terus-menerus belajar terus menerus tanpa pamrih. Saya sendiri tak tahu bagaimana proses kreatif Thendra untuk mencipta puisi dalam Manusia Utama dan juga karya-karya yang lain. Tapi melalui puisi-puisi di dalam bukunya ini terasa sekali bagaimana Thendra berjibaku dengan kata-kata, dengan pemilihan diksi yang sederhana, memadukan dengan kepribadian penulisnya, bacaan-bacaan yang pernah ia konsumsi juga idelogi dirinya untuk mencipta dan membentuk sajak-sajaknya. Hasilnya adalah bukan hanya sajak-sajak yang berirama aliran keindahan yang menggetarkan, tetapi juga mampu mencipta arus tragis, ironi, dan kegetiran yang dalam. Salah satu contoh sajak Thendra yang cukup berhasil menerbarkan ironi menurut saya adalah sajak berjudul Repromosi sebuah kota:

Siang di kotaku ramah sekali/pohon pohon tumbuh melindungi rumah/kau bisa berjalan di bawah cahaya matahari/yang disaring daun-daun/mendengar kicau burung/angin lembut menyentuh//siang di kotaku ramah sekali/tak ada kemacetan/orang orang tahu aturan/karena pemimpin bijak/rakyat taat pajak//datanglah ke kotaku/kau akan menemukan omong kosong yang indah ini/lebih banyak lagi//


Dikemas dengan semangat humor dan kesannya main-main sebagaimana puisi-puisi mbeling yang sempat booming di era tahun 80-an itu. Tapi lewat puisi itu kita diajak untuk menyaksikan kebusukan sebuah rejim yang korup dan bebal. Dan rejim tersebut justru dibangun dan ‘dibesarkan’ dengan segala pencitraan dan opini-opini yang keluar dari mulut aparat dan pejabatnya penuh dengan kemunafikan. Artinya meski tak langsung sajak ini dengan selera humornya menyeret pembacanya pada pembacaan politik sebuah negara bernama Indonesia.

Tidak dalam sajak itu saja sebuah diksi yang secara tegas mengolok-olok rejim kekuasaan yang kini sedang berdiri ini—yang barangkali oleh kebanyakan penyair justru dihindari—digunakan. Dalam sajak Merak-Bakauheni misalnya, dengan cukup manis penulisnya mengolok-olok Negara metafora kapal tua: …kapal ini begitu lambat/congkak dan tua/seperti pemerintah/mengigau atas cahaya bawah laut/……

Apakah salah jika seorang penyair berpolitik dengan memilih ideologinya yang notabene menantang langsung rejim Negara yang bebal dan korup? Saya rasa tidak. Sebagaimana diungkapkan Putu Oka Sukanta di atas bahwa seorang penyair suka tidak suka adalah bagian kecil dari masyarakat sekitar dimana ia tinggal. Penyair adalah bagian dari masyarakat. Karena selain penyair terpengaruh oleh bacaan-bacaan yang pernah ia mamah dan tersimpan dalam otaknya, ia juga terpengaruh oleh kondisi sosial-ekonomi-politik masyarakatnya. Dan Thendra secara tegas memilih untuk tidak tercerabut dari akar masyarakatnya. Yakni masyarakat Indonesia pascakolonial yang miskin, lemah dan masih terus tertindas oleh pengelola Negara yang menghamba pada neoliberalisme yang menghisap itu. Itulah mengapa Thendra sempat menyindir penyair yang hanya bergelut dengan kata tapi buta dengan realitas sosial dalam salah satu bait sajaknya berjudul Solilokui: yang tidur dalam sajak: rabun senja!


Tapi Thendra juga tak mau ia tercerabut dari akar sastranya. Atau tepatnya tidak mau tercerabut dari akar sastra Indonesia. Sastra Indonesia adalah sastra lingua franca. Sastra yang dibentuk dari perpaduan sastra-sastra berbagai belahan dunia, dari ujung barat ke ujung timur yang Dari ujung selatan ke ujung utara. Bertumpang tindih dengan sastra lokal nusantara yang maha luas. Karenanya ia tak serampangan menulis puisi sekedar menggugat semata. Ia berjibaku betul untuk mampu melahirkan karya puisi yang berhasil yang—meminjam mukaddimah Lekra—tinggi mutu ideologinya juga tinggi mutu artistiknya.

Karena pergulatannya yang intens untuk menciptakan puisi yang berhasil itu, sengaja tidak sengaja, suka tidak suka seringkali pengaruh penyair-penyair yang pernah ia geluti karya-karyanya itu juga larut dalam puisinya. Dalam hal ini memang perlu kemahiran tersendiri dalam meracik puisi sehingga tidak kehilangan karakteristik puisinya sendiri. Dan saya yakin tidak ada penyair atau penulis yang mampu lepas dari pengaruh karya atau tulisan lain.

Saya sering mengibaratkan seorang penulis atau penyair dalam melahirkan karya itu seperti seorang ibu melahirkan. Jika seorang ibu menginginkan anaknya sehat, maka ia harus memakan makanan bergizi dan minuman bergizi. Karena makanan itulah yang menentukan bayi-nya lahir sehat dan montok. Ya, jika si ibu selama masa kehamilannya mengkonsumsi kentaki dan minumnya koka kola dan fanta, dijamin anaknya lahir invalid. Dalam hal ini ibulah yg menentukan makanan untuk janinnya. Sebagaimana karya, penulislah yang menentukan karya macam apa yang harus ia konsumsi untuk melahirkan karya yang “sehat”. Inilah apa yang disebut sebagai pembacaan selektif barangkali.

Dengan pergulatan yang inten dengan karya puisi penyair lain yang diramu dengan kreatifitas dan kecerdasannya Thendra membangun puisi-puisinya. Bergerak dari pengaruh Chairil Anwar, Charles Bukowsky, Jim Morrison, Subagio sastrowardoyo dan banyak lain, Thendra menciptakan puisi dengan ciri khasnya sendiri. Pengaruh sajak Chairil berjudul selamat tinggal, terutama pada bait awal sajak tersebut Misalnya, oleh Thendra diobrak-abrik menjadi haiku yang berbunyi: aku melangkah/di jalan sajak—/bukan buat ke pesta. Syair lagu Jim Morrison, vokalis The Dorrs berjudul “Light My Fire” yang fenomenal itu diramu ulang dalam sajak “Nyalakan Apiku” berkenaan dengan pengaruh itulah diksi-diksi politis dalam sajak-sajak thendra justru diramu dalam tema sajak-sajak cinta. Hasilnya bukan sekadar sajak cinta picisan, melainkan sajak cinta yang menggetarkan. Lunto Kloof, Cinta Pertama yang gagal diselamatkan yang pernah menjadi salah satu juara dalam lomba puisi cinta Tabloid Nyata beberapa tahun silam itu salah satu contohnya.

Sehingga pembaca puisi yang alergi dengan sajak-sajak lugas yang menggugat dan menantang secara langsung secara politik pada rejim represif semisal sajak-sajak Widji Thukul tak harus menutup mata untuk tidak membaca buku puisi ”Manusia Utama” ini. Karena mereka yang menyukai tema sajak cinta, kepedihan, harapan, kegembiraan, dan kenangan masa silam yang biasa dialami kebanyakan orang akan menemukannya lebih banyak dalam buku puisi ini.

12 April 2011

Release




Telah terbit buku puisi "Manusia Utama" karya Y. Thendra BP
yang menghimpun puisi doi dari 2006-2011.

Harga Rp 30 ribu + ongkos kirim (Luar Yogya).
Bisa dipesan lewat inbox fesbuk doi (Thendra Malako Sutan)
atau Hp 085263631682
Email: thendra1980@gmail.com

18 Maret 2011

Berbagi Kabar

Pengunjung Blog Langit-Puisi yang baik,
dalam waktu dekat ini akan terbit buku kumpulan buku puisi ke dua saya:

Manusia Utama

Dalam buku puisi terdapat sejumlah puisi saya dari tahun 2006 hingga 2011 yang pernah dimuat di sejumlah antologi komunal, media massa cetak, dan media online. Saya melakukan semacam memanggil anak-anak kreatif saya pulang untuk berkumpul bersama, setelah melakukan penyuntingan ulang di beberapa puisi tersebut.

Ada juga rasa haru, karena saya masih bersetia di jalan sajak hingga buku puisi Manusia Utama itu terbit. Tapi sesungguhnya, saya lebih terharu kepada pembaca blog ini yang sudi membaca puisi saya di sini.

Apalah puisi kalau hanya bertahan sebagai milik penyair semata. Puisi-Penyair-Pembaca adalah mata rantai yang tak bisa dipisahkan. Karena di sanalah kita bersua berbagi perkara hidup dalam teks. Apa pun maknanya.

Terima kasih :)

16 Januari 2011

Puisi

Kepada N

jam berdentang.
malam jadi bayang.
akankah ia kembali datang?
matanya yang bulat,
benderang dalam kabut bukit itu.
bibirnya yang manis,
lembut di bawah suara pesawat menderu.

jam berdentang.
malam jadi bayang.
bagaimana aku melupakan
kereta sore itu,
bis malam itu,
dan kami laju.
menyimpan tangan dalam tangan.
menyimpan mata dalam mata.
menyimpan kata dalam kata.

apa yang pernah kami sentuh bersama
menyentuh kami saat sendirian.

10 Januari 2011

Cerpen

Cinta Siti Nurbaya

HATTA, tersebutlah Datuk Maringgih pengusaha kaya dari Jakarta pulang kampung. Doi pulang dari rantau bukan tersebab rindu ingin melihat rumah gadangnya yang sudah hampir roboh dan pandam pakuburan kaumnya yang sudah bersemak. Tapi doi ingin bertemu dan melamar Siti Nurbaya.

Sejak melihat Siti Nurbaya jadi peran utama di Sinetron Cinta Siti, Datuk Maringgih jatuh hati. Mabuk kepayang. Sampai-sampai Datuk Maringgih acap kali mabuk beneran di tempat dugem hingga jackpot dan meracau, "Siti, ai lop yu, beib..."

Lantaran tak tahan lagi menahan perasaan, Datuk Maringgih menyuruh kaki tangannya--Pandeka Limo, Pandeka Ampek, dan Pandeka Tigo--mencari tahu siapa sebenarnya Siti Nurbaya itu.

Bergaya ala Densus 88, Pandeka Limo, Pandeka Ampek, dan Pandeka Tigo, akhirnya tahu siapa Siti Nurbaya itu. Sebenarnya, ini bukan pekerjaan susah. Sebab Siti Nurbaya sudah terkenal dan keberadaannya gampang diketahui. Tapi dasar cecunguk, lagak perlu diperbanyak untuk menyenangkan Si Bos.

Siti Nurbaya itu anak Bagindo Sulaiman, grosir kain di Tanah Abang--sama-sama berasal dari Padang dengan Datuk Maringgih.

Nah, seminggu menjelang Hari Raya Idul Fitri Bagindo Sulaiman pulang basamo ke Padang. Datuk Maringgih mudik pula.

Begitulah. Pada suatu siang yang berangin-angin, hari kedua Hari Raya, Datuk Maringgih bertandang ke Rumah Gadang Siti Nurbaya yang sudah berdinding beton, berlantai keramik, ber-AC, dan kamar mandi dalam--bershower pula.

Setelah meneguk sirup dan menguyah kacang tujin, berbasa-basi, bercerita tentang kesuksesannya yang membuat kagum Bagindo Sulaiman, Datuk Maringgih menyampaikan niatnya.

"Aku nak melamar Siti Nurbaya jadi biniku."

Bagindo Sulaiman tersenyum, mengangguk-anggukan kepala, dan ia berkata, "Bagaimana baiknya menurut Nurbaya sajalah."

Lalu Bagindo Sulaiman memanggil Siti Nurbaya yang sedang asyik ngetuit ucapan selamat lebaran di kamarnya. Saat Siti Nurbaya berada di ruang tamu, Bagindo Sulaiman menyampaikan niat Datuk Maringgih yang hendak meminangnya.

Sontak saja Siti Nurbaya kaget.

"Jangan, Datuk. Jangan..." ucap Siti Nurbaya gugup.

"Kenapa?"

Siti Nurbaya terdiam. Doi Melirik ayahnya. Bagindo Sulaiman tersenyum di samping istrinya yang juga tersenyum. Lalu doi menundukan kepala.

"Bagaimana, Nurbaya,  kau terimakah lamaranku?"

"Aku sudah punya pacar, Datuk."

Mendengar itu, Datuk Maringgih berdiri dari sofa. "Samsul Bahri maksud kau! Apa yang bisa kau harapkan dari sastrawan sekadar yang menggantungkan hidupnya di koran-koran minggu itu, hah?! Yang tulisannya cuma rintang-rintang bercinta dan tak jelas pula, hah?!"

"Tapi, Datuk..." Siti Nurbaya menundukan kepalanya makin dalam.

"Kurang apa aku ini, Nurbaya. Pintu tokoku berpuluh-puluh. Perusahaanku di mana-mana. Kalau perlu PH Sinetron Cinta Siti itu kubeli."

"Tapi, Datuk..."

"Tahukah kau, Nurbaya, pitih dolarku tersimpan di salah satu Bank di Swiss!"

"Apa?! Piti dolar?!" Siti Nurbaya mengangkat kepalanya.

Siti Nurbaya, Bagindo Sulaiman dan istrinya saling berpandang-pandangan. Mata mereka jadi hijau.

"Benarkah itu piti dolar, Datuk?"

"Yoi!" Datuk Maringgih tersenyum dan dadanya yang kerempeng itu membusung.

"Kalau begitu, cepat lamar aku, Datuk. Boleh ya, Pap. Boleh ya, Mam." Siti Nurbaya minta persetujuan dengan hati berbunga-bunga. Bagindo Sulaiman dan istrinya tersenyum. Mereka menganggukan kepala.

Datuk Maringgih tiba-tiba tertegun. Senyumnya jadi kecut. Dada kerempengnya makin kempes.

Begitu cepat dan mudah tidak seperti dalam roman favoritku Siti Nurbaya karangan Marah Rusli itu, batin Datuk Maringgih. Doi kembali duduk, terhenyak di sofa. Ruangan ber-AC itu dirasakannya begitu dingin, melebihi puncak Singgalang di malam tahun baru.

Dengan menggigil Datuk Maringgih berkata, "Dalam carito yang pernah aden baco, ndak ada tu Siti Nurbaya matre macam kau! Pandeka Limo, Pandeka Ampek, Pandeka Tigo, mari kita pulang!"

Datuk Maringgih beranjak dari ruang tamu rumah gadang beton, lantai keramik, dan ber-AC itu.

"Tunggu, Datuk!" Bagindo Sulaiman yang sedari tadi diam, angkat bicara.

"Jangan tinggalkan Siti, Datuk." Siti Nurbaya berusaha menahan.

Datuk Maringgih tak tertegah. Doi sudah melangkah diiringi Pandeka Limo, Pandeka Ampek dan Pandeka Tigo yang berkaca mata reben dan bersafari biru gelap. Naik mobil. Menuju Pasar Raya Padang.

Di Pasar Raya itu, Datuk Maringgih menumpahkan kekecewaannya pada berpiring-piring Sate Pariaman dan bermangkok-mangkok es tebak.