Lampu-lampu kota di lembah Mataram itu tampak seperti kunang-kunang saat saya menatapnya, Rabu (28/7) malam, dari Bukit Patuk atau populer disebut Bukit Bintang. Tersebab lampu-lampu kota yang tampak berkelip-kelip indah dari ketinggian membuat bukit ini disebut Bukit Bintang.
Bukit Bintang terletak di bawah belik (mata air) di wilayah kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, belakangan ini menjadi objek wisata 'menebar pandang dari ketinggian' terutama di malam hari. Dari kota Yogya jaraknya sekitar 20 Km, menuju arah timur melintasi Jalan Wonosari, bakal ditemui tanjakan curam dengan tikungan tajam. Kawasan ini merupakan gerbang Kabupaten Gunungkidul.
Aih, tiba-tiba saya teringat pada Cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam. Cerpen berseting akhir tahun 1960-an itu, mengisahkan tentang Marno perantau asal Jawa di kota Manhattan. Marno mabuk bersama perempuan yang 'memeliharanya', Jane, di apartemen milik Jane. Dan mereka sama-sama kesepian, sama-sama mengalami kebosanan, tapi dalam soal yang beda.
Jane meracau tentang Tommy mantan suaminya, sedangkan Marno merindukan kampung halamannya. Sehingga ketika Marno melihat kelap-kelip lampu kota Manhattan dari kaca apartemen, ia teringat pada kunang-kunang di sawah di kampungnya pada malam hari. Sementara Jane, yang hidup dan dibesarkan di kota itu, belum pernah melihat kunang-kunang dan penasaran pada binatang bercahaya itu. Yeah, kisah pertemuan dua kultur yang berbeda dan sama-sama terperangkap dalam kesepian kaum urban.
Ah, kisah biasa tentang pengalaman dari penulis dunia ketiga yang terperangah pada lampu-lampu dan gedung American Dream. Mirip mahasiswa tingkat pertama dipukau film drama Hollywood. Lalu berharap mimpi basah...
Itulah sebabnya saya tidak sedang membayangkan diri saya seperti Marno. Lagipula tak ada Jane di samping saya. Tak ada apartemen. Lampu-lampu kota yang saya lihat itu bukanlah lampu-lampu kota Manhattan melainkan kota Yogya yang tumbuh di negeri Mataram. Maka, saya menyebut kelap-kelip lampu itu sebagai Seribu Kunang-kunang di Mataram.
“Kalau kita datang sore hari, kita bisa menyaksikan momen matahari tenggelam, keren bro!” celetuk Andika diikuti anggukan Iman. Dua sahabat itu menyadarkan saya bahwa saya tidak sendiri menikmati 'Seribu Kunang-kunang di Mataram'.
Dan malam itu pengunjung cukup ramai. Setidaknya di warung bambu tempat saya menebar pandang ke lembah Mataram itu dipenuhi pengunjung baik yang berombongan, pun yang mojok berduaan. Belum lagi di warung-warung lainnya. Ada sekitar 10 warung dengan konstruksi bambu di bibir jurang, sebagai tempat bersantai menikmati pesona malam sambil menikmati menu yang tersedia.
Andika benar juga. Seandainya kami datang sore hari, tentu kami bisa menyaksikan persalinan waktu di lembah Mataram dari ketinggian. Dimana matahari pelahan-lahan tenggelam, lampu-lampu kota bermunculan. Sebuah momen yang mempesona tentunya.
Lantaran asik menikmati pesona perpaduan antara malam dan cahaya buatan manusia di lembah, dua porsi nasi goreng magelangan dan tiga gelas kopi yang kami pesan jadi tak terasa lama. Namun, sebelum memesan makanan tersebut kami mesti menanyakan harganya terlebih dahulu, sebab di menu tak ada daftar harga. Kami tak mau dipalak dengan sopan. Usai makan, bayarnya kemahalan. Hal yang jamak terjadi di tempat wisata.
Malam meninggi. Langit cukup cerah, meski tak banyak bintang bermunculan. Apakah telah jatuh bintang itu ke lembah? Udara dingin perbukitan mulai terasa di kulit saya.
Sebentar lagi saya akan turun ke bawah, menemui kenyataan sesungguhnya bahwa seribu kunang-kunang yang saya lihat dari bukit bintang itu adalah lampu-lampu berebut ingin menerangi kota Yogya. Kadang lampu-lampu itu terasa sesak juga.
Saya teringat pada frasa 'kota seribu lampu merah' dalam Cerpen Radio Tua, Kota Tua karya Raudal Tanjung Banua. Agaknya, itulah yang akan saya temui dari Seribu Kunang-kunang di Mataram menjadi Kota Seribu Lampu Merah bila saya turun dari Bukit Bintang dan memasuki kota Yogya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar