14 Desember 2008

Poem

Kepada Puisi

bukan kenangan
mengentalkan rinduku padamu
tapi keheningan embun jatuh
dini hari berkabut
sepi memagut
pohon-pohon masa kecil yang lucu
angin sesekali mengirim deru

datang, datanglah
aku ingin mencintaimu
dalam banyak keindahan
--juga kepedihan--
yang tak terucapkan

di sini, di kelok loban ini
jauh dari kibasan lampu reklame
dan etalase

7 November 2008

Cerpen


Tumbal


Tabrakan bis AKAP ekonomi dengan mobil Kijang Inova itu—menyebabkan 10 orang penumpang meninggal dunia, sekian luka berat dan selebihnya luka ringan—diyakini masyarakat sekitarnya disebabkan oleh Genderuwo penunggu pohon Asam Jawa di pinggir jalan.

“Jalan itu memang ganas,” ucap Parno.

“Menurut Mbah Darmo, dulu jalan itu adalah istana makhluk halus. Sewaktu pembangunan jalan tidak ada yang minta izin. Tidak diselametin. Makanya pada saat tertentu penghuninya minta jatah,” sahut Gondes.

Kemudian obrolan di pos ronda itu berkembang, membahas makhluk halus dan kiat mengatasinya. Dari Wewe Gombel sampai Drakula. Kadang mengutip pendapat ahli memedi yang sering tampil di koran daerah.

Makin malam tambah ngawur. Membosankan.

Dengan alasan mau istirahat karena besok membuka bengkel tambal ban, aku meninggalkan pos ronda itu.

Begitulah. Seminggu sejak peristiwa tabrakan bis AKAP ekonomi dengan mobil Kijang Inova itu, kampungku dipenuhi mulut-mulut yang menyusun kisah tentang dunia lain. Selaras usia dan daya mulut.

Sementara korban tabrakan cuma mendapat porsi cerita sekedar. Seakan bumbu pelengkap. Tak ada yang membahas lebih nasib korban meninggal, ditinggalkan, terluka, dan cacat. Perhatian orang-orang kampungku tercurah pada Genderuwo.

Malah akan dilaksanakan upacara selamatan.

“Sesuai dengan anjuran Mbah Darmo—yang disampaikan melalui Kang Samin—kita harus melakukan ruwatan. Agar kampung kita kembali tentrem. Kita akan menanam kepala seekor kerbau di pinggir jalan yang telah berulang minta korban itu. Maka, diharapkan sumbangan warga semua, baik berupa materi maupun non materi. Mengenai kapan waktunya, marilah kita tunggu petunjuk dari Mbah Darmo,” ucap Pak Narto, pemuka kampung, di hadapan penduduk yang hadir dalam rembug kampung.

Riuhlah balai kampung. Tapi tak satu pun mulut berani membantah rencana selametan itu.

Jalan akan diselamatkan itu lengang. Daerah pesawangan. Jalan aspal mulus dan lurus sepanjang 100 meter. Tidak ada penduduk berumah di pinggirnya—atau sengaja dibiarkan tanpa rumah? Pohon-pohon dan semak perdu berebut tumbuh di sisi kiri dan kanan jalan. Dari pohon-pohon yang ada, pohon asam Jawa itu satu-satunya, tumbuh di tengah—bagian kiri pinggir jalan kalau kau melintas dari arah timur.

Di ujung barat jalan yang dibiarkan lengang terentang itu, barulah ada rumah, milik Mbah Darmo, penasehat supranatural kampung kami. Di sebelah rumah Mbah Darmo, terdapat bengkel tambal ban milik cucunya, Kang Samin. Kemudian disusul rumah penduduk lainnya. Sedang di ujung timur jalan, akan kau temui bangunan pertama, yaitu bengkel tambal ban milikku, bersebelahan dengan rumah makan Padang.

Sebenarnya, aku tidak sepakat dengan acara selametan itu.

Tabrakan itu, aku yakin bukan disebabkan Genderuwo.

Begini ceritanya:

Malam itu—malam Jum’at Kliwon—sekitar pukul sebelas. Aku yang biasanya ditemani Kirun, ini kali cuma sendiri. Aku memetik gitar; berlagu Gereja Tua di bengkel. Kirun nonton dangdut Koplo di kampung sebelah.

Pada saat-saat begitu, dari arah timur melaju kencang mobil Kijang Inova. Kira-kira 20 meter setelah melintasi bengkelku, mobil ban itu meletus, suaranya keras. Mengagetkan aku. Menghentikan kocokan gitarku. Juga lagu Gereja Tua yang akan memasuki reffren.

“Ban mobil itu meledak karena melindas paku!” Batinku.

Tak lama berselang, terdengar bunyi cicit rem mobil mengoyak-ngoyak sepi malam. Disusul kemudian bunyi benda bertubrukan. Keras sekali.

Selepas itu orang-orang kampung berdatangan, mencari sumber suara yang mengguncang malam.

Tepat di depan pohon Asam Jawa, Kijang Inova terbalik dengan posisi melintang dan badannya remuk. Sedang bis AKAP ekonomi rebah menimpa semak-semak di seberang. Kepalanya juga remuk, menghantam pohon Jati—barangkali pohon Jati itu menghentikan laju bis setelah tabrakan.

Begitulah.

Dan kemudian tersiar kabar kecelakaan itu disebabkan Genderuwo. Kabar itu dihembuskan pertama kali oleh Kang Samin di pos ronda. Katanya, petunjuk ini didapatkannya dari hasil terawang Mbah Darmo.

Entah bagaimana, lantas jadi keyakinan bersama.

Sementara Mbah Darmo hingga sekarang belum bisa ditemui. Menurut Kang Samin, Mbah Darmo sedang melakukan meditasi; mencari wangsit.

Tapi aku yakin, tabrakan itu disebabkan oleh paku! Paku yang sengaja ditebarkan di jalan. Membuat ban mobil Kijang Inova itu meletus. Sehingga supirnya hilang kendali.

Dan aku tahu siapa yang menebar paku itu!






23 Oktober 2008

Poem


Urban

orang-orang membongkar pohon
menanam beton
udara jadi uang logam
terbakar di tangan

13 Oktober 2008

Poem

Di Bawah Jam Gadang
- rz

selepas angin menghalau hujan
kau dengar ringkik kuda beban
dan lonceng jam berdentang
pada angka IIII petang—
seorang kusir tua tertidur dalam bendi
seorang turis memanggil taksi

aku rebahkan kepalaku yang mendadak sakit
di atas tas
di pinggir taman

hawa dingin mengetuk-ngetuk keningku
seakan dendang masa kecil yang memanggil
pada hari minggu kuturut ayah…
dalam nafas peniup saluang di jenjang empat puluh
dalam benteng fort de kock dalam ngarai sianok
dalam lubang jepang dalam piti oeri dalam musium
rumah gadang di kebun binatang
dalam…

ahk, kepalaku bertambah sakit
aku tak bisa mengingat seluruh masa lalu dengan baik
mataku seperti sarang semut hitam
langit bukittingi tampak buram
mulutku masih menyimpan bau
nasi kapau—
tapi aku harus menelan paracetamol

waktu pelahan mengabur
menuju yang tak terukur
di bawah jam gadang
aku jatuh tertidur

11 Oktober 2008

Poem


Kuta

bukan ombak yang menahanku
ketika malam makin jauh
tapi sebutir pasir
dan angin mendesir
lampu lampu hotel
membuat aku makin asing
dengan kepulangan

aku tak memiliki rumah
dan teman bicara
di pantai buta
cuma sebutir pasir
dan angin mendesir
bulan susut- hilang
ditelan laut hitam

semua pergi
semua pergi meninggalkanku
seperti botol bir kosong
cuma sebutir pasir
dan angin mendesir
bertahan di bibir

6 Oktober 2008

Poem

Loloan

sebelum ke tabanan, singgah lanan...

sungai membelah memberi nama
pada 80 hektar tanah
syarif tua, beri pula aku kisah
antara sayup azan dan aroma dupa
di hilir sungai gading
di bawah atap rumah panggung yang miring

kenapa orang harus terusir
dari negeri yang dicintainya
mengubah rasa asing pada tanah-air
jadi rindu
jadi batu

trengganu, trengganu
aku tak ingin murung
dalam diri kubangun kampung

Perjalanan


semakin banyak berjalan semakin banyak yang dilihat, hehe..








agaknya pepatah klasik itu berlaku juga. setidaknya dalam perjalanan saya dari jogja (22 september 2008)-bayuwangi (23-26 september) dalam rangka launching buku kumpulan cerpen iqbal baraas "pesta hujan di mata shinta" bersama raudal tanjung banua, nurwahida idris, indrian koto, mutia sukma. kemudian perjalanan itu berlanjut ke bali (26 september-5 oktober 2008).

nah ini ada sedikit oleh-oleh. beberapa peristiwa yang terekam dalam kamera.




bersama sutan sabit kalam banua di hotel asri. genteng, 23 september 2008

dramatisasi cerpen iqbal baraas "pendongeng abadi" bersama mutia sukma. bayuwangi, 24 september 2008.

foto bareng kawan-kawan bayuwangi seusai acara diskusi dan pertunjukan.



dramatisasi cerpen iqbal baraas "pendongeng abadi" bersama mutia sukma. genteng, 25 september 2008


menunggu bis menuju bali (mutia sukma, iqbal baraas, raudal tanjung banua, auda, gw, nurwahida idris, ahok). genteng, 26 september 2008


di kapal penyebrangan bersama nurwahida idris. ketapang gilimanuk, 26 september 2008


jalan-jalan di denpasar, mutia sukma, gw, muda wijaya. denpasar, 28 september 2008

di legian ada yang meledak diam-diam. 29 september 2008



di tugu bom bali bersama pranita dewi dan mutia sukma. 29 september 2008


kuta, 29 september 2008


sunset di kuta bersama indrian koto. 29 september 2008

malam di kuta bersama pranita dewi. 29 september 2008

semoga perjalanan ini menjadi puisi. oya, khusus untuk di loloan (kampung nurwahida idris) gambaran saya di sana telah menjadi puisi :) tunggu tanggal tayangnya!














24 September 2008

pertunjukan

Tradisi Yang Tak Diam: Pementasan Teater “Siti Baheram
(bukan dunia luar pagar)”



Tiga tukang kaba di atas tiga level, tampak seperti tungku. Di tengahnya, para penari dengan rebana kecil memainkan tari Indang, serupa api yang sedang menyala. Ditingkahi dendang dan alat musik Minangkabau (Saluang, Bansi, Rabab, dan Talempong yang silih berganti). Tiga tukang kaba itu melantunkan kisah, sahut menyahut.


Kemudian tukang kaba dan penari berbaur menjadi tiga kelompok. Memainkan bentuk grouping, mereka saling berbantah, laiknya suara urang banyak. Satu kelompok (protagonis) memihak kisah “Siti Baheram”, Satu kelompok menolak (antagonis), satu kelompok lainnya (tetagonis) menengahi. Tiga kelompok itu adalah visualisasi tigo jerong yang merupakan istilah dalam tari Indang, juga mengacu pada filosofi Jerong Nan Tigo (alim ulama, ninik mamak, cerdik pandai). Sebelum selisih faham makin tajam, kelompok penengah mengajak untuk sebaiknya menyimak kisah. Akhirnya ‘kebenaran kisah’ dari Siti Baheram dikembalikan kepada penerima kaba (penonton).

Begitulah, awalan dari pementasan teater “Siti Baheram (Bukan Dunia Luar Pagar)”. Naskah lakon yang berangkat dari kaba (seni tradisi bertutur di Minang), yang ditafsir ulang oleh Raudal Tanjung Banua (penulis naskah) dan disutradarai oleh Efyuhardi S.Sn untuk ujian akhir penyutradaraan pasca sarjana ISI Surakarta. Di mata saya, awalan (Introduction) tersebut serupa tungku yang sedang memasak sebuah pertunjukan di panggung GedungTeater ISI Surakarta pada Jum’at, 29 Agustus 2008. pukul 20.00 wib.

Awalan yang rancak! Bagaimana tidak, bentuk seni tradisi bakaba yang selama ini berdiri sendiri dan terpisah, Rebab, Dendang, Saluang, dan Tari Indang, malam itu ditafsir ulang, disatukan dan dikolaborasikan dalam satu pertunjukan teater kolosal. Ada sesuatu yang ‘baru’ tanpa kehilangan yang ‘lama’. Efyuhardi S.Sn dan tim pertunjukan berhasil memahami konsep hukum ikat ‘sentak lepas’ Minang: adat dan tradisi (seni) bukan bersifat stagnan. Adat dan tradisi (seni) adalah buatan manusia yang bisa dikembangkan atau digubah sesuai zaman. Yang tak mungkin untuk digubah dan dibantah, itu bersifat hukum ikat mati—misalnya gempa bumi!

Selepas para tukang kaba memainkan perannya (exit stage), muncullah Buyung Juki (Rusmedi Agus) bersama sahabatnya, Buyung Gambuik (Toni Sri Rejeki). Mereka bersiasat, sebab sudah lama Buyung Juki memendam cinta pada Siti Baheram (Mariya Yulita Sari). Tetapi Ini bukan perkara mudah!

Siti Baheram adalah perempuan dan domain kekuasaan yang merupakan idealisasi perempuan Minang, dihadirkan sebagai wanita berbudi dan penuh pengabdian, rancak dan berharta, telah memiliki suami, yaitu Ajo Sidi (Tafsir Huda). Tetapi kehidupan rumah tangga Siti Baheram tidak bahagia. Ajo Sidi bukan suami yang bisa dijadikan seperti beringin di tengah kampung: akar tempat bergayut, batang tempat bersandar, daun tempat berteduh. Ajo Sidi adalah suami pelekat tangan (suka memukul), kerjanya cuma menguras harta Siti Baheram untuk memenuhi kegemarannya berjudi, mabuk-mabukan, dan bergendak dengan perempuan lain. Siksaan dari suami yang diterima Siti Baheram ditambah pula sikap keras mamaknya, Angku Kapalo (Edy Suisno), lengkaplah sansai Siti Baheram sebagai sosok korban egoisme patriarki.

Konflik dan siksaan yang diterima oleh Siti Baheram itu diketahui Buyung Juki. Lalu ia manfaatkan untuk memasukan cintanya. Gayung bersambut. Dalam kondisi jiwa yang rapuh, Siti Baheram menerima cinta Buyung Juki—meski dia tahu Buyung adalah sampah masyarakat, semaunya dan culas, tetapi sikap satria Buyung Juki meluluhkan hati Siti Baheram. Bersemilah cinta mereka (selingkuh?) dikitari persoalan-persoalan sosial yang terjadi. Hingga pada suatu malam, di jalan pulang yang kelam, dalam kondisi mabuk dan kalah judi, Buyung Juki melihat ada bayangan yang mengintainya, yang dia kira adalah penyamun. Maka disuruhnya Buyung Gambuik untuk menemui penyamun itu: “kalau dalam sepuluh tarikan nafas tak bisa kau selesaikan, aku yang akan turun tangan,” ucapnya pada sahabatnya itu.

Lebih dari sepuluh tarikan nafas, Buyung Gambuik tak muncul kembali di hadapannya. Ia cemas kalau telah terjadi sesuatu dengan sahabatnya. Bergegas ia menemui sosok yang dia kira penyamun itu. Tanpa pikir panjang, digoroknya leher sosok tersebut dengan parang. Buyung Gambuik yang berada di antara peristiwa itu, hanya bisa terperangah. Apa lacur, ternyata sosok itu adalah Siti Baheram.

Siti Baheram mati di tangan orang yang dicintainya. Buyung Juki membunuh orang yang dicintainya. Kematian yang tragis! Kematian yang amat disesali oleh Buyung Juki dan diratapi Buyung Gambuik. Kematian yang menghantarkan nyawa Buyung Juki ke tiang gantungan.

Sementara persoalan-persoalan sosial yang terjadi selama pertunjukan berdurasi satu setengah jam itu, tidak hadir sebagai bumbu dari kisah cinta Siti Baheram dan Buyung Juki. Namun menjadi bagian yang menghidupkan inti kisah.

Mengambil latar masa kolonial Belanda, penonton dapat melihat kekuasaan lebih ‘berbicara’ dibandingkan kebenaran. Di mana kaum kecil diposisikan sebagai kaum yang harus mengikuti kemauan penguasa. Misalnya dalam adegan perampasan makanan perempuan istri tukang beruk (Sandityas) dan anaknya (Nanik Indarti) oleh para petugas pajak (Ilham Setyawan, Husni wardana Hole, Ofy Nurhansyah). Meski istri tukang beruk berusaha melawan, apa daya, hukum rimba jua yang berlaku. Istri tukang beruk itu mati ditembak senapang petugas!

Begitu pula pada adegan di arena perjudian dadu. Bandar Judi (RA Yopie) yang seharusnya memiliki hak mengatur permainan, bisa diatur oleh petaruh (anak buah Ajo Sidi dan Buyung Juki). Kekuatan otot berbicara. Tetapi Bandar Judi yang mengedepankan kelicinan otak itu, bisa kembali mengambil alih permainan. Ia menangguk di air keruh, memanfaatkan pertikaian antara Ajo Sidi dan Buyung Juki.

Namun pertaruhan otak dan otot, peruntungan baik dan buruk di meja judi itu, akhirnya berkesudahan di tangan petugas. Atas nama hukum, Kepala Petugas (Roci Marciano) membubarkan perjudian itu dan merampas uang para penjudi dengan cara ‘terhormat’ala aparat.

Lagi-lagi kekuasan berbicara. Dan kekuasan yang berbicara itu makin terlihat pada adegan terakhir. Buyung Juki yang semestinya melewati proses pengadilan untuk menerima hukuman atas pembunuhan yang dilakukannya terhadap Siti Baheram, sesuai permintaan Angku Kapolo, harus dihukum gantung seketika. Tak ada pengadilan! Dan Kepala Petugas tak bisa membantah.

Begitulah. Persoalan-persoalan sosial yang ada dalam konflik cinta Siti Baheram, memberikan celah pada lahirnya pertanyaan baru: mungkinkah masih ada kejujuran yang membuat orang tidak merasa menjadi pahlawan bagi kelangsungan hari esok yang menjanjikan? Karena sesungguhnya tak ada kejahatan dalam hidup, yang ada adalah manusia tak jujur dan mementingkan diri sendiri. Di sinilah terbukti bahwa ‘kasus’ Siti Baheram bukan dunia luar pagar, sebab memiliki keterkaitan dengan banyak hal.


Menggali Tradisi, Meminang Nan Kini

Transformasi teks dari kaba ke dalam bentuk naskah lakon (panggung) oleh Raudal Tanjung Banua ini, memiliki struktur yang kuat, mengacu pada pengungkapan yang berimbang dan realistik. Dari segi penokohan, tak ada tokoh yang diposisikan sebagai hero dan Deus Ex Machina. Semua tokoh memiliki persoalan dan deritanya masing-masing. Begitu pula dengan ruang dan waktu, penonton tidak diajak untuk berada di tempat ‘antah barantah’ atau negeri imajiner, melainkan mengambil latar waktu masa lampau untuk berbicara tentang persoalan sekarang.

Memakai tata panggung minimalis-simbolik (Mata Emprit), ruang dan waktu dihidupkan lewat akting pemain dari adegan ke adegan. Hampir sebagian besar aktor dan aktris berperan dengan matang. Aktor dan aktris menjadi lewat pendekatan psikologis tokoh dan tidak terjebak dengan permainan tubuh yang akrobatik untuk mengejar kebanalan. Dengan kata lain, emosi tokoh yang diperankan aktor yang mencipta gerak. Sehingga kewajaran akting—yang biasa dipakai dalam permainan realis—hadir dengan baik. Hal ini terlihat dari bisnis akting tokoh Buyung Juki (Rusmedi Agus), Angku Kapalo (Edysuisno), Buyung Gambuik (Toni Sri Rejeki), Anak Buah Ajo Sidi (Jamal Abdul Naser) dan Anak tukang Beruk (Nanik Indarti).

Selama pertunjukan—terlepas dari awalan tukang kaba—seni tradisi yang hadir bukan hanya musik, kostum, dan tutur. Tetapi yang terlihat kuat pada pertunjukan malam itu adalah hadirnya permainan silek (silat) Minang, baik itu aliran silek langkah tigo maupun langkah ampek. Penguasaan langkah ampek silek Starlak terlihat dalam adegan perkelahian antara Buyung Juki (Rusmedi Agus) dengan Anak Buah Ajo Sidi. Buyung Juki (Rusmedi Agus) mampu memperagakan dengan baik pamenan silek Starlak itu.

Menghadirkan silek sebagai salah satu kebutuhan adegan dan akting aktor, merupakan pilihan yang tepat. Bagaimanapun, seni pertunjukan tradisi Minang banyak berakar dari Silek. Sebutlah misalnya Randai.

Boleh dibilang, pertunjukan teater Siti Baheram yang disutradarai Efyuhardi S.sn berhasil menggali seni tradisi; menafsir ulang, kemudian dihadirkan kembali ke dalam dramaturg teater moderen. Sehingga ‘kekinian’ terasa adanya. Kekinian yang bersumber dari yang lama. Seni tradisi yang juga hasil kreasi manusia itu, sekali lagi, sebagaimana hukum ikat sentak lepas, maka bisa digubah. Yang ada adalah penyesuaian dengan zaman. Dan kita tak perlu cemas kehilangan. Kecuali jika seni tradisi masih dipahami sebagai hukum ikat mati, seperti gempa bumi!

Solo-Yogyakarta, Agustus-September 2008

22 September 2008

release

Anjangsana Budaya Sastrawan Yogyakarta
ke Banyuwangi dan Bali


Sejumlah sastrawan Yogyakarta akan mengadakan anjangsana budaya ke Banyuwangi dan Jembrana, Bali. Menurut koordinator perjalanan, Raudal Tanjung Banua, kunjungan ke Banyuwangi terkait dengan peluncuran buku kumpulan cerpen Iqbal Baraas, Pesta Hujan di Mata Shinta (Frame Publishing, 2008). Acara berupa diskusi, pertunjukan sastra, bazar buku dan buka bersama, akan berlangsung di dua tempat masing-masing di Pendopo Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, Jl. A. Yani, tgl. 24 September dan di Aula Balai Desa Gentengkulon, Kecamatan Genteng, 25 September 2008, mulai pkl. 14.00 WIB.

Acara di Banyuwangi diawali diskusi sastra bersama Hasnan Singodimayan (budayawan Using), Raudal Tanjung Banua dan Iqbal Baraas sendiri, moderator Fatah Yassin Noor. Setelah itu akan ada break buka bersama.

Malamnya, acara dilanjutkan dengan pentas sastra, di antaranya dramatisasi cerpen oleh Mutia Sukma dan Y. Thendra BP dari Yogyakarta; musikalisasi puisi dari Padepokan Gelar Tikar Banyuwangi, pagelaran tari kontemporer dari STKW Banyuwangi, monolog oleh Hendra (Malang) dan pentas teater Maha (Banyuwangi). Sedangkan pembicara diskusi di Genteng adalah Totok B. Santoso, Indrian Koto, dan Nur Wahida Idris. Acara yang terbuka untuk umum dan gratis itu, juga akan diramaikan bursa buku.

Selanjutnya, acara di Bali akan berlangsung di rumah panggung Nenek Sya’odah, Loloan Barat, Negara, tgl. 6 Oktober 2008 pkl. 19.30 WITA. Acara yang akan dihadiri penyair Umbu Landu Paranggi itu meliputi peluncuran buku puisi Nur Wahida Idris, Mata Air Akar Pohon, diskusi, pembacaan karya dan doa bersama untuk mengenang wafatnya Nenek Syaodah, tokoh cerita lisan Melayu dari Loloan, sebuah kampung diaspora di Bali Barat. Serta diagendakan pula peresmian taman bacaan dengan koleksi awal sumbangan buku dari penerbit Akar Indonesia, [sic], Frame Publishing dan Komunitas Rumahlebah Yogyakarta.*

17 September 2008

Poem

September

di kamar tumpangan, dalam kebebasan yang tertahan,
sebuah buku yang belum tuntas kubaca terjatuh
ketika senja menggores kaca jendela;
jam yang bersalin, dinding bertelur dingin.
ada suara di loteng mengusikku, sesamar aku;
mungkin malaikat atau hantu itu lagi menegurku
dengan isyarat yang ganjil, seperti serombongan ababil
tapi, mereka tidaklah lebih bahagia dari aku
di kamar tumpangan ini; aku, malaikat dan hantu
berbagi.

6 September 2008

Solilokui

Pemburu Kost

awal september ini, saya rajin mengetuk pintu atau membunyikan bel, ngucapin kulonuwun dari satu rumah ke lain rumah, dari gang ke gang, dari jalan ke jalan di jogja kota pelajar, budaya, wisata, pahlawan, never ending asia (hehe...apanya?).

percayalah, saya bukan sedang jadi salesmen yang menawarkan produk. tapi, manakala pemilik rumah yang saya temui itu menampakan wajahnya, saya akan bertanya:

"apa masih ada kamar kosong?"

hingga saya menulis solilokui ini, jawaban yang saya terima belum sesuai dengan apa yang saya harapkan. kamar kosong ada tapi harga tidak sesuai. harga sesuai, kamar tidak ada yang kosong, hehe...

--wow, kayak mahasiswa baru aja. padahal saya sudah sepuluh tahun di jogja lho--

apakah anda pikir saya sedang mengeluh? sory aja deh. emangnya hidup ini buat keluh kesah doang? ya enggak lagi...

sesungguhnya, saya sedang menikmati travelling dari satu rumah ke lain rumah, dari gang ke gang, dari jalan ke jalan di jogja kota pelajar, budaya, wisata, pahlawan, never ending asia (hehe....apanya?).

27 Agustus 2008

pers release


nah, ini dia berita foto pementasan: Jangan Rusak Hutan Kami (Save Our Forest) di amphi teater taman budaya yogyakarta, minggu, 24 agustus 2008


Yogyakarta, 25/8-Teater Anak. Kelompok Belajar Rejowinangun membawakan
pementasan teater anak dan remaja yang berjudul ''Save Our Forest/ jangan Rusak Hutan Kami'' di Amphi Theater Taman Budaya Yogyakarta, Minggu (24/8) malam. Teater yang disutradarai oleh Y. Thendra BP tersebut bercerita tentang suasana hutan yang riang berubah menjadi tumpukan sampah sejak kedatangan si monster sampah. FOTO ANTARA/Agung Supriyanto/ss/mes/08


sumber: http://www.antarafoto.com/dom/prevw/?id=1219632835

20 Agustus 2008

Agenda


Teater Anak Kelompok Belajar Rejowinangun ( KBR )
“Save Our Forest “ karya Y. Thendra BP “

Anak-anak Kelompok Belajar Rejowinangun adalah anak kampung yang berkumpul dan melakukan banyak hal bersama, belajar kesenian, menari, theater, menulis, pantomime dan sebagainya. Anggota Kelompok Belajar Rejowinangun biasanya datang dari teman-teman yang berstatus ekonomi rendah namun memiliki semangat juang untuk lebih maju yang tinggi. Dalam kegiatan sehari-hari kami adalah kelompok yang berdiri sendiri. Dan tidak ada penyokong dari luar. Tapi untuk event yang lebih besar ini kami dengan rendah hati ingin meminta bantuan kepada pihak luar.

Acara yang kami buat dalam rangka Hari Kemerdekaan dan Hari Anak Nasional ini bukan kegiatan yang melibatkan pihak luar untuk pertama kalinya. Sebelumnya pada Hari Anak Nasional 2006 kami pernah melakukan Pameran Expresi Anak yang berjalan denga meriah dan didatangi banyak pihak. Selain itu kami juga sering di undang mengisi kegiatan diluar misalnya FKY 2007, Temu Penyair 4 Kota 2007, Konfrensi Anak Cinta Lingkungan 2007 dll. Kamipun sering memenangkan perlombaan kesenian, juga beberapa karya kami dimuat di media massa. Pada tahun 2007 lalu Kelompok Belajar Rejowinangun juga mengantar pembina kami (Mutia Sukma) menjadi “ Pemuda Pelopor Seni dan Budaya “

Kelompok Belajar Rejowinangun juga direncanakan dapat menjadi ruang bersama dalam membahas persoalan yang dihadapi anak pada umumnya, dan mencari berbagai kemungkinan pemecahan. Kegelisahan yang dialami para anak tidak hanya pada masalah bentuk estetika, namun juga persoalan di luarnya. Sehingga dibutuhkan sebuah pembahasan dalam hal ini, agar kondisi anak di Indonesia dapat berkembang lebih baik lagi.

Tema kegiatan ini adalah mencintai lingkungan (dalam hal ini hutan) dan ikut andil menjaganya. Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 20 anak Kelompok Belajar Rejowinangun. Yang terus aktif melaksakan produksi pementasan ini.

Kelompok Belajar Rejowinangun (KBR) bermula dari kumpul-kumpul pada bocah jauh sebelum tahun 2005, barulah setelah peristiwa gempa yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya pada 27 Mei 2006 kelompok ini resmi diberi nama.

Adalah sekelompok anak-anak dan remaja yang tinggal di daerah Rejowinangun yang terletak dipinggir kota. Kegiatan yang dilakukan untuk anak-anak ini melingkupi kegiatan kesenian yang berbasis pendidikan, di antaranya; teater, musik puisi, pantomime, menggambar/melukis, keterampilan lainnya seperti pembuatan wayang karus, wayang mendong serta pembikinan madding dan perpustakaan.

Tentang kegiatan:

Pentas Teater Anak dan Remaja “Save Our Forest” (Jangan Rusak Hutan kami) merupakan naskah dari Y. Thendra BP dan disutradarainya sendiri dan dibantu oleh Ofi Nuhansyah sebagai astrada. Untuk pelaksanaan latihan dibantu oleh beberapa rekan aktivis teater dan dancer. Meskipun demikian, pada pelaksanaannya nanti tetaplah kedirian anak-anak itu yang hendaknya ditampilkan.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Kelompok Belajar Rejowinangun (KBR) bekerja sama dengan Mutiakoto Art Syndicate didukung oleh beberapa komunitas lainnya dibantu oleh mahasiswa ISI Yogyakarta, UNY dan UIN Sunan Kalijaga.

Untuk waktu penyelenggaraan pada bulah agustus ini adalah untuk merayakan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-63 dengan tema mencintai lingkungan dan Ayo Selamatkan Hutan. Diharapkan, pada hari kemerdekaan ini, kita semua, anak-anak dan orang tua mesti memperhatikan lingkungan dan mulai menjaga kelestraiannya. Mengingat banyaknya terjadi bencana yang diakibatkan oleh kerusakan ekosistem dan kerusakan lahan.

Selain itu, pembukaan juga akan diisi oleh beberapa kelompok dan komunitas anak di Yogyakarta.
Adapun waktu pertunjukannya adalah:

Hari/Tanggal : Minggu, 24 Agustus 2008
Tempat : Teater Terbuka (Ampi Teater) Taman Budaya Yogyakarta
Waktu : 19.00—selesai

Demikian pemberitahuan ini kami sampaikan. Terima kasih kami ucapkan atas kerja samanya dan terima kasih.

Salam bahagia,
Kelompok Belajar rejowinangun
Pimpinan Produksi


Mutia Sukma

6 Juli 2008

Poem

Ghetto

aku membuat tatto rumah di punggung senja
dengan pecahan kaca

senja terluka
rumah berdarah

rumah terluka
senja berdarah

3 Juli 2008

Poem

Manusia Pergi

seekor bangau melintas di langit petang
melintas menuju sarang
aku yang bergegas
ke mana musti pulang?

aku manusia pergi, sayang
menyimpan banyak lambaian
menahan ragam kenangan

27 Juni 2008

solilokui

(Janin Cerita)

"Kali ini, saya pesan kopi dengan cangkir yang pernah mencium bibir perempuan itu.”
Pelayan itu menekan pena agak kuat di atas buku pesanan.
“Maksud tuan?!”
“Kopi dengan cangkir yang pernah mencium bibir seorang perempuan.”
“Hehe..Tuan ini suka bercanda. Semua cangkir di kafe ini ada bekas bibirnya. Tapi itu sudah dicuci bersih. Kami menjaga kebersihan tentunya.”
“Ah…bagaimana saya menceritakannya?” ucapnya pelan. Lalu ia menatap meja di pojok dekat pintu masuk.

Meja yang kini kosong itu membawa ingatannya pada suatu sore.

....

itulah bagian dari prosa yang sedang saya kerjakan. saya tidak tahu kapan akan selesai.

jika saya mati sebelum prosa itu selesai, sudikah anda melanjutkannya?
jika anda mati sebelum prosa itu selesai, rugikah anda?
jika prosa itu selesai dan kita masih hidup, saya akan menangis sepuas-puasnya!

barangkali ini bisa jadi info bagi teman-teman yang sering bertanya, "sibuk apa?"
yeah, itulah salah satu kesibukan saya. jadi janganlah menatap saya dengan sorot mata yang 'asing' itu, cintaku.

sungguh! saya sedang bekerja. bekerja dengan cara saya.

tapi kenapa masih "ada" yang menganggap saya tidak punya pekerjaan?

apa itu kerja, Tuan?
Tuhan!

24 Juni 2008

23 Juni 2008

solilokui

Tanah Lahir
O, bangkinang dan
kelok 9; hujan dan malam
turun pelan2…

Pengirim:
Raudal TB
Dikirim:
21:40:51
21/06/2008

SMS itu menyintakan saya. Membawa ingatan saya pada tanah lahir yang selalu saya tulis dalam biodata. Tanah lahir yang hanya sempat saya diami hingga berusia enam bulan—menurut cerita mama—sebab papa musti pindah tugas dari Yonif 132 Bima Sakti
Bangkinang ke Yonif 133 Yudha Sakti di Padang Panjang.

Kepindahan yang tergesa-gesa. Kepindahan yang membuat saya tidak memiliki memori intim dengannya.

Bangkinang--yeah tanah lahir--sesuatu yang asing karena melulu saya kunjungi lewat cerita dan biodata, pun hingga saya menulis ini.

Cuma sekali saya pernah melintasinya pada dinihari ketika hendak menuju Pekanbaru dari Padang Sibusuak, dengan bis. Waktu itu, saya tidak ingin tidur, saya ingin melihat tanah lahir saya meski lewat jendela bis saja.

Maka selepas Kelok Sembilan, saya mulai gelisah dan bertanya pada gadis yang duduk di samping saya, “Masih jauhkah Bangkinang?” Saya bertanya pada gadis satu kampung yang bekerja di Batam, yang setiap dari atau ke Padang Sibusuak lewat Bangkinang. Saya pikir, ia tahu kapan Bis yang kami tumpangi memasuki jalan yang melintasi Bangkinang.

Saya tidak akan menceritakan lebih banyak lagi, bagaimana perasaan saya ketika melewati ‘tanah lahir’ dengan bis itu pada dinihari yang turun dari langit desember 2004 itu. Biarlah hanya saya seorang yang tahu. Saya seorang. Dan semoga baik-baik saja.

Saya hanya ingin membalas SMS Raudal itu, yang pada saat itu ia sedang melintasi ‘tanah lahir’ saya (ia dalam perjalanan dari Pekanbaru menuju Padang). 


Beginilah balasan SMS saya esok malamnya pada dia, yang saya tulis ulang di sini:


Bangkinang

pernah sekali,
angin dinihari
menyusup lewat jendela bis
yang tak terkunci;
menegur aku,
menoleh pada tanah kelahiran itu.
tapi tak kutahu
di bawah pohon apa ibu
menanam ari-ariku.
dan bis terus laju.

10 Juni 2008

refrensi

"penemuan" sebuah sajak cinta Chairil yang hilang oleh seorang Belanda, seperti yang dilaporkan oleh Burton Raffel dalam jurnal Indonesia Circle, No.66, tahun 1995.
Sajak yang berjudul "Berpisah dengan Mirat" itu dikatakan telah diambil oleh seorang bernama Wil van Yperen dari sebuah majalah berbahasa Indonesia yang "kalau nggak salah Gelanggang Pemuda, Jan. 47":


Berpisah Dengan Mirat
(Chairil Anwar)

Matahari tiba2 sudah tinggi, kami 5 x djalan lebih lekas dari
pada biasa. Djam yang menatap kami menggigil seperti
kena malaria rupanja Tiba disetasion ketjil ada lagi 2 a 3
djam untuk berhadapan

Kopi pait dan pendjual tua jang hormat ketawa sadja djadi
alasan untuk bitjara ketika kereta api bawa
aku madju bergerak, kulihat mukamu
terpaling Dan kau hilang..maka mulailah mesin dalam otakku

Mengeri meluar garis, terasa rasa hendak petjah
Penumpang2 lain djuga ikut dimakan njaladan kering oleh hawa sebaran diriku..kudengar setan datang
Sehabis itulah berdentam dari mulutku Godverd. buat ganti dosa.

Dengan membandingkan sajak di atas dengan sajak Chairil "Dalam Kereta", Burton Raffel mengambil kesimpulan bahwa sajak "Berpisah dengan Mirat" adalah memang benar karya Chairil karena "banyak irama tipikal Chairil ada pada sajak tersebut, dan juga imaji-imaji khasnya".
Persamaan irama dan imaji pada kedua sajak memang mendukung kesimpulan Burton Raffel tersebut, apalagi kalau kita perhatikan tahun edisi majalah dari mana sajak "Berpisah dengan Mirat" itu dicopy-ulang merupakan masa Chairil produktif menulis puisi.

1 Juni 2008

Perjalanan

dari atas kiri: iman romansyah, dwi rahariyoso, ashadi, imam s arizal, pinto anugerah, indrian koto, anda s, joko gesang santoso, yono, bernando J. sujibto, romi zarman, gw (hehehe), chairan hafzan yurma. (fotografer faiz).



pagi yang ceria di pelataran rumah (kontrakan) anak-anak kandang padati, padang, 3 mei 2008 (setelah acara temu penyair lima kota payakumbuh 27-29 april 2008), sebelum waktu dan jarak mengembalikan kami pada kesunyian masing-masing.



ingatlah sebisamu segala yang baik dan utangmu yang belum juga kau bayar, hehe..

nb: ira puspitaningsih, mutia sukma, esha tegar putra, edo birama putra, m fadli, ucok siregar, wawan, tak ada waktu dikodak, jadi bayangkan sajalah wajahnya :)

23 Mei 2008

Agenda Sastra

Datang Ya :)

Peluncuran Dua Buku terbitan penerbit [sic] Yogyakarta, yaitu "otobiografi" Saut Situmorang dan "Mata Air, Akar Pohon" Nur Wahida Idris, akan diluncurkan di Warung Nusantara (Koes Plus Mania), Jl. Bantul Dongkelan (Belakang BAJ), pada Selasa 27 Mei 2008, pukul 19.30 WIB-selesai.

Acara yang digelar secara gratis dan partisipatif ini akan diramaikan pembacaan puisi oleh kedua penyair dan undangan, di antaranya TS Pinang, Y Thendra BP, Mutia Sukma, Ni Komang Ira, Joni Ariadinata, Bambang Darto, dan Indrian Koto.

"Hadirin juga dipersilahkan ikut membacakan puisi kedua penyair, atau membacakan puisi sendiri, inilah yang dimaksud partisipatif, " kata Raudal Tanjung Banua, didampingi Mbak Trish pemilik Warung Nusantara. Dikatakan, selain untuk launching, kegiatan ini juga dimaksudkan memperingati 2 tahun peristiwa gempa Yogya. Sekaligus mengingatkan terjadi 2 kali kenaikan harga BBM dalam era pemerintahan SBY-JK, sebuah keputusan yang menyulitkan hidup masyarakat banyak.

Ditambahkan oleh Saut Situmorang, acara pembacaan puisi secara partisipatif di Warung Nusantara ini akan digelar secara reguler sebulan sekali, sebagai kelanjutan Live Poets Society yang pernah digagasnya. "Cuma, kalau selama ini bertempat di Kedai Kebun, sekarang pindah ke Warung Nusantara, formatnya sama seperti dulu," katanya. Disebutkan, dalam berapa kali penyelenggaraan, kegiatan Live Poets Society telah menghadirkan sejumlah penyair tamu serta sudah memiliki apresian tersendiri, terutama di kalangan anak-anak muda yang selalu siap berpartisipasi membawakan puisi-puisinya.

Untuk diketahui, buku puisi "otobiografi" sudah diluncurkan Saut Situmorang di berbagai kota di Pulau Jawa dan Bali, seperti Solo, Surabaya, Gresik, Malang, Kudus, Purwokerto, Tasikmalaya, Bandung dan Denpasar. Sedangkan "Mata Air, Akar Pohon" Nur Wahida Idris sudah diluncurkan di Padang dan Payakumbuh, dalam event Temu Penyair 5 Kota. Ke depan, terkait pembicaraan atau diskusi kedua buku puisi, akan diadakan acara khusus dengan melibatkan kritikus dan pemerhati sastra.

NB:untuk pertama kalinya Sutan Tsabit Kalam Banua rencananya akan membacakan dua puisinya yang ada di indriankoto. blogspot.com

10 Mei 2008

Puisi

10 Mei

ibu, datanglah ke pesta kecilku
usiaku bertambah hariku menipis
berapa lama lagi, ibu
aku memiliki cadangan waktu
bersalin baju
memotong kuku
sementara tangis pertamaku
yang memagut lehermu hari itu
masih saja rahasia
seperti bayang-bayang
pukul 12 siang

aku tidak menyalakan api di sumbu lilin
hanya untuk meniupnya hingga padam
tidak juga memotong kue dan
membagikan pada yang memberi ucapan
tapi datanglah, ibu
ke pesta kecilku
dalam rahimmu

12 April 2008

25 Maret 2008

Poem

Di Kota Wiji Tukul

kami orang baru,
tersesat di kota hanya satu kata yang hilang.
jalan datang dan pulang sama
asingnya dengan sinuwun gusti dan penunggang kuda
dalam billboard itu. tak ada peta di tangan kami,
orang orang yang ditanya memberi tanda dan arah berbeda,
seperti nasib hanya satu kata itu!
ada ragu tumbuh setiap bertemu simpang
atau jalan baru. tapi kami masih sempat berkelakar—
di atas motor pinjaman—jalan apa pun yang ditempuh
semoga bertemu hanya satu kata.

malam yang memboncengi gerimis, jatuh
di atas jejak satu kata yang tak terlacak.

1 Maret 2008

Perss release

sungguh. sebenarnya saya malas memposting yang satu ini. tapi setelah saya pikir, tak apalah, setidaknya ini merupakan tanda waktu, sesuatu yang pernah saya tempuh, dan lumayan bikin haru tapi gak nyampe tersedu-sedu, hehe...
keikutsertaan saya dalam sayembara puisi cinta nyata yang diadakan oleh tabloid nyata, hanya sebuah peristiwa kebetulan--mungkin karena hidup itu sendiri peristiwa kebetulan--koto memberi tahu saya ada lomba dan menyarankan untuk ikut (tengkyu koto dan sukma dan kiting). saya yang pemalas mengirim puisi ke media massa cetak apalagi ikut lomba, pada saat itu menerima tawaran tersebut, di samping hadiah yang lumayan untuk membayar hutang saya yang telah menumpuk, juga menjawab tantangan seorang kawan yang namanya kadang-kadang nongol di halaman koran minggu, dan pernah berkata dengan lantang pada saya: "buktikan dengan karya! kita cari tiga juri dan kita adu puisi kita!" (dengar kabar kawan tersebut ikut pula, tapi maaf, namanya tidak tercantum dalam daftar peserta yang berhak dapat uang, tentu saja setelah dipotong pajak buat pemerintah kita yang 'baik', hehe).
Nah beginilah nasib puisi saya, setelah bertarung dengan 6000 puisi (kata panitia, lho) karya macam-macam orang yang punya lagak macam-macam.
sekali lagi, ini bukan ajang pamer diri, ini hanya tanda waktu sebagaimana puisi yang ngos-ngosan dan enjoy saya tulis selama ini.
Sebagaimana larik puisi Mandan Chairi Anwar: Kerja Belum Selesai

1. Sajak buat Istri yang Buta dari Suaminya yang Tuli, M. Aan Mansyur, Makassar.
2. Lunto Kloof, Cinta Pertama yang Gagal Kuselamatkan, Y. Thendra BP, Yogyakarta.
3. Aku melihatmu Menanti di Depan Rumah, Ni Kadek Ayu Winastri, Kuta-Bali.
4. Kidung Perpisahan, Herry Trunajaya BS, Balikpapan Selatan.
5. Merah jambu Selendang Ibu, Thowaf Zuharon, Yogyakarta.
6. Pernikahan, M Anshor Sja’roni, Waru, Sidoarjo.

PERAIH KARYA TERPUJI

1. Dalam Sekental Kopi, Hamiddin, Sumenep-Madura.2. Dan Ini Cinta Tuhan, Lindung Ratwiawan, Malang.3. Kau Bagiku, Ala Roa, Yogyakarta.4. Requiem: Senyum Berkabung, Kukuh Yudha Karnanta, Surabaya.5. Aku Ingin Menjadi Tua, Rozakky, Bangkalan-Madura.6. Ibu, Aulia Muhammad, Semarang.7. Ziarah Cinta, Nurul Iva Yulia Imawan, Randudongkal-Pemalang.8. Sajak Berlayar, Surasono Rashar, Lumajang.9. Mawarilah Aku, S. Yoga, Ngawi.10. Sepucuk Rinduku Padamu, Nak, Suharyono, Pati.11. Pelukan, M. Aan Mansyur, Makassar.12. Malam Pinangan, M. Badri, Bogor.13. Tiga Soneta Cinta untuk Oneta, Ifull Azka Zulkifliy, Cirebon.14. Hutan Kepala, Joko Gesang Santoso, Sleman-Yogyakarta.15. Aku Perempuan Pelamarmu, Putri hati Ningsih, Laweyan-Sala.16. Bacakan Aku Satu Puisi Cinta, Pay Jarot Sujarwo, Pontianak.17. Cinta di Tanah Perang, Alimuddin, Darussalam-Aceh Besar.18. Bayi, Hariqo Wibawa Satria, Bukittinggi-Sumatera Barat.19. Uterus, Kedung Darma Romansha, Indramayu-Jabar.20. Komposisi Kau dan Aku, Indrayani Puspitasari, Surabaya.21. Petak Umpet, Didi Arisandi, Lampung.22. Dzikir Air, Gema Yudha, Bandung.

16 Februari 2008

Poem

Lintas Sumatera

baru sampai kota bumi
pedih itu sudah kutemui. rumah
rumah murung tepi jalan
di rembang petang, seperti
rumput kering menanti
kelahiran hujan.

hanya dari balik kaca, balik kaca
bis yang laju berpenumpang rindu,
sebagaimana smsmu, nafas hutan sakit
ladang sawit, sampai jua ke dada
jadi pebukaan puasa.

28 Januari 2008

Poem

Nanti Kampungku Jadi Kaleng Mentega

koto dan sukma. kalau nanti kalian jadi pengantin bulan
aku ingin hadir di pesta kalian. tapi
aku tidak tahu apa nasib waktu kemudian.
sekarang kita bikin sedikit angan-angan dalam ambulan:
kalau aku punya uang, kalian aku undang
di kampungku makan lemang, mendaki bukit silungkang.
apa kalian pernah melihat meditasi air di langit-langit ngalau?
ratusan tahun lamanya ia bertahan dalam sunyi hingga menyusun dirinya
jadi ornamen yang lebih indah dari bangunan apa pun orang
kota ciptakan. baiklah, nanti kita jalan-jalan ke sisawah.
memudik air di bawah cahaya matahari yang disaring daun daun,
mendengar suara batu agung (gerbang kampung); suara akar, tebing, tanah,
arus sungai; burung punai, babi hutan, harimau daun, ular, siamang, biawak, kucing air;
cindaku, sijundai, sibigau. apalagi ya? alamak!
angin ternyata menyimpan banyak suara tak tergambarkan
campur aduk dengan suara kesedihan
yang setengah mampus kita tuliskan.


sunlie, kiting, fahmi, mau ikut juga? ajaklah siapa saja
asal jangan kalian bawa pemerintah. aku takut nanti kampungku
jadi seperti kampung komang ira. nanti aku harus beli tiket masuk
untuk berkunjung ke negeri leluhurku sendiri.
nanti kampungku jadi kaleng mentega.