Kepada Fatris dan 30 September 2009
dari potret gempa sumatera barat
yang datang pada jam 5 sore itu
begitu tiba-tiba
yang pergi pada jam 5 sore itu
begitu tergesa-gesa
aku sanggup melupakan
yang datang
tapi tak sanggup melupakan
yang pergi
gadis kecil memeluk kucing hitam
di antara reruntuhan bangunan
dan air mata hitam
8 Oktober 2009
11 September 2009
poem
Solilokui
dingin bulan
gigil jalan
aku melangkah
rumah rumah tutup
kedai larut malam
pengendara motor tak dikenal
melintasi embun
yang jatuh dari bintang tak bernama
betapa lengang jam berdentang
di mata jaga
lampu lampu hotel
lampu lampu reklame
bikin asing pada kepulangan—
kekasih yang menyimpan ciuman:
lidah lembut dalam telinga
angin berhembus
sedikit suara tergambarkan
aku terus melangkah
ambang subuh
kau makin tertinggal jauh
yang tidur dalam sajak:
rabun senja!
aku terus melangkah
pada bengkolan ke tujuh
pagi baru tumbuh
dingin bulan
gigil jalan
aku melangkah
rumah rumah tutup
kedai larut malam
pengendara motor tak dikenal
melintasi embun
yang jatuh dari bintang tak bernama
betapa lengang jam berdentang
di mata jaga
lampu lampu hotel
lampu lampu reklame
bikin asing pada kepulangan—
kekasih yang menyimpan ciuman:
lidah lembut dalam telinga
angin berhembus
sedikit suara tergambarkan
aku terus melangkah
ambang subuh
kau makin tertinggal jauh
yang tidur dalam sajak:
rabun senja!
aku terus melangkah
pada bengkolan ke tujuh
pagi baru tumbuh
7 September 2009
Poem
Angin Panas
angin panas
angin panas yang menyeberangi laut
membawa bau tubuhmu
yang hutan terbakar itu
angin panas
angin panas yang membuat malam
kotaku jadi demam
karna lehermu menyimpan sungai
sungai yang melarungkan abu pohon-pohon
o, cintaku yang ditinggalkan burung-burung,
matamu mengeluarkan asap
jadi kata-kata sesak dalam sajak
sajakku yang berjalan sendirian
di jalan jalan kotaku yang malam
yang demam
angin panas
angin panas yang menyeberangi laut
membawa bau tubuhmu
yang hutan terbakar itu
angin panas
angin panas yang membuat malam
kotaku jadi demam
karna lehermu menyimpan sungai
sungai yang melarungkan abu pohon-pohon
o, cintaku yang ditinggalkan burung-burung,
matamu mengeluarkan asap
jadi kata-kata sesak dalam sajak
sajakku yang berjalan sendirian
di jalan jalan kotaku yang malam
yang demam
19 Agustus 2009
Event Sastra
Temu Sastrawan Indonesia II:
Sastra Indonesia Pascakolonial, 30 Juli-2 Agustus 2009
MENCARI IDENTITAS SASTRA INDONESIA
Sastra moderen Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perpanjangan dan politik kolonial Belanda dengan keberadaan Balai Pustaka-nya pasca lingua franca, bahasa Melayu menjadi bahasa administratif pemerintahan lewat pengajaran di sekolah. Keberadaan sastra moderen Indonesia sebagai sastra pascakolonial, tentu berbeda dengan sastra pascakolonial di negara-negara Dunia Ketiga lainnya. Masing-masing memiliki ciri khas dan problemnya sendiri. Sastra Indonesia berbeda dengan sastra Amerika Latin, sastra Afrika, atau sastra negara-negara Asia bekas jajahan Barat lainnya. Sebagai bekas jajahan Belanda misalnya, kita tak pernah meneruskan bahasa Belanda sebagai ekspresi (sastra) kita, berbeda dengan kalangan sastrawan hibrid India, yang menulis dalam bahasa bekas jajahannya (Inggris).
Lantas, apakah yang disebut dengan sastra Indonesia itu sastra yang yang berbahasa Indonesia, atau ditulis oleh orang Indonesia, ataukah sastra yang berisi segala sesuatu tentang Keindonesian? Bagaimana pula posisi sastra berbahasa daerah, atau sastra populer yang dalam sejarahnya juga bagian dari sastra alternatif? Persoalan tersebut merupakan garis besar yang diangkat dalam Temu Sastrawan Indonesia II di Pangkalpinang, Propinsi Bangka Belitung, pada 30 Juli-2 Agustus 2009. Dengan tema “Sastra Indonesia Pascakolonial”.
Pada diskusi sesi 1, Jum'at (31 Juli 2009), dengan tema “Merumuskan Kembali Sastra Indonesia: Definisi, Sejarah, Identitas” dengan pembicara Agus R. Sarjono, Saut Situmorang, Haryatmoko dan moderator Joni Ariadinata. Menurut Agus R Sarjono, Sastra Indonesia didominasi oleh gambaran rumah yang hilang, retak, hancur, atau tak tergapai. Maka hampir dapat disimpulkan bahwa selepas kolonialisme para sastrawan Indonesia sebagian besar tak berumah. Kajian atas pewacanaan lahirnya bangsa sebagaimana direpresentasikan dalam novel Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta Toer dan Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis, berakhir pada kesimpulan bahwa Indonesia adalah sebuah negeri tanpa rumah.
Saut Situmorang yang mengusung “Politik Kanon Dalam Sastra Indonesia: Beberapa Catatan” sebagai bagian persoalan dari definisi, sejarah, identitas sastra Indonesia, melihat adanya ketidakjujuran dalam peta sastra Indonesia. Kepentingan yang tidak lepas dari nilai “politik” suatu kelompok. Misalnya karya sastra yang dianggap sebagai Kanon tanpa melalui sebuah kritik sastra yang pantas.
“Pada umumnya politik kanonisasi sastra diyakini lebih banyak dipengaruhi oleh politik kekuasaan demi kepentingan ideologis, politis dan nilai-nilai ketimbang sekedar karena kedahsyatan artistik karya. Pada saat yang sama politik kanonisasi sastra juga membuktikan betapa naifnya, betapa ahistorisnya, betapa tidak membuminya, para sastrawan yang masih yakin bahwa teks sastra adalah segalanya, bahwa tidak ada apa-apa di luar teks sastra, apalagi yang bisa mempengaruhi eksistensinya, bahwa 'substansi' sastra adalah ukuran karya sastra, karena 'substansi' adalah 'estetika' sastra yang 'sublim', sastra yang menjadi itu,” ujarnya.
Apa yang disampaikan oleh tiga pembicara di atas bukanlah jawaban final dari permasalahan sastra Indonesia yang berlarat-larat dengan eksistensinya. Akan tetapi, memberikan ruang bagi pertanyaan-pertanyaan dalam perjalanan sastra Indonesia, dulu-sekarang-dan akan datang.
Begitu pula pada Diskusi Sesi II di hari yang sama. Mengambil tema “Kritik Sastra Indonesia Pascakolonial” dengan pembicara Dr. Syafrina Noorman, Yasraf Amir Piliang, Katrin Bandel, Zen Hae, dan moderator Willy Siswanto. Pertanyaan tentang identitas sastra Indonesia itu menukik pada persoalan 'keberadaan' kritik sastra yang kurang dari khazanah sastra Indonesia.
Yasraf Amir Piliang berpendapat, tugas kesusasteraan masa depan adalah membangun 'imajinasi' mandiri (self imagination), dengan meninggalkan 'imajinasi-imajinasi kolonial' atau imajinasi produksi 'sang lain', untuk mampu menghasilkan 'perbedaan' dan 'otentisitas', melalui sebuah sebuah proses 'menjadi diri sendiri' (becoming one-self). Dunia sastra diharapkan mampu membangun sebuah proses pertandaan(signification) yang melaluinya tanda-tanda budaya-budaya diperbedakan, makna-makna diproduksi, dan nilai-nilai dikembangkan. Sebuah proses 'resemiotasi' kebudayaan (cultural re-semiotizatian) melalui kekuatan sastra dapat diusulkan, dalam rangka pengkayaan dan penganekaragaman bentuk, makna dan nilai-nilai kebudayaan itu sendiri.
Pada hari ke dua, Sabtu (1 Agustus 2009), Diskusi Sesi III “Membaca Teks dan Gerakan Sastra Mutakhir: Mencari Subjek Pascakolonial” dengan pembicara Nenden Lilis Aisyah, Nurahayat Arif Permana, Zurmailis, Radhar Panca Dahana dan moderator Triyanto Triwikromo.
“Dalam perkembangan sastra kita pada era yang untuk sementara secara simplis saya sebut era reformasi ini, tema karya sastra cukup beragam. Namun, di antara tema-tema tersebut ada tema yang mendapat banyak sorotan. Tema yang dimaksud adalah tema mengenai femisme, dan tema seksualitas dan tubuh. Sorotan itu terjadi karena; pertama, radikal dan berani; kedua, karena dianggap ideologi barat,” ucap Nenden Lilis Aisyah.
Dikusi yang semestinya menarik—merujuk pada tema yang dihadirkan—terasa agak hambar. Selain pembicara yang kurang mampu menghidupkan diskusi, juga banyaknya kursi peserta yang kosong.
Sementara pada Diskusi Sesi IV, “Penerjemah Sastra Muktahir: Mencari Subjek Pascakolonial” dengan pembicara Anton Kurnia, Arif Bagus Prasetyo, John McGlym dan moderator Tia Setiadi.
Menurut Arif Bagus Prasetyo, penerjemahan adalah kegiatan yang amat kompleks. Bahasa itu sendiri sudah kompleks, tapi faktor-faktor yang terlibat dalam wacana manusia bahkan lebih kompleks. Tujuan terjemahan begitu beragam, dan pembaca karya terjemahan juga sangat beragam. Rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa penerjemahan, mengutip pakar studi terjemahan, I. Richards, barangkali jenis peristiwa paling kompleks yang dihasilkan dalam evolusi jagad raya.
“Betapa memprihatikan kondisi karya terjemahan kita secara umum. Di antara sejumlah karya terjemahan yang bisa dibilang baik, amat banyak karya terjemahan yang buruk. Menurut Alfons yang pernah menjadi Ketua Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI), para penerjamalah yang paling bertanggung jawab atas kualitas karya terjemahan mereka. Namun, ia pun mengakui adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seorang penerjemah, seperti situasi sosial ekonomi, akses terhadap refrensi, serta penghargaan orang terhadap penerjemah dan hasil karyanya,” tutur Anton Kurnia.
John McGlynn dari Yayasan Lontar menilai tentang usaha penerjemahan Sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris, memiliki beberapa hambatan, yaitu kualitas karya, ongkos penerbitan, sikap xenofobis, dan kurangnya visi pemerintah.
“Sebagaimana halnya dengan Indonesia yang mendapatkan hikmah dari pengetahuan mengenai kebudayaan lain, negara-negara lain dapat memperoleh manfaat dari ilmu yang berasal dari Indonesia—sebuah hal yang tidak akan terjadi kecuali orang Indonesia dapat mempromosikan diri secara aktif,” tukasnya.
Di mana Identitas Sastra Indonesia?
Selain Diskusi Sastra, TSI II 2009 yang dihadiri oleh pelaku sastra (Sastrawan dan Penikmat Sastra) dari berbagai wilayah yang ada di tanah air—yang setidaknya mewakili kantung sastra, baik muda mapun tua dalam proses kreatif—juga diisi dengan malam Apresiasi Sastra dan pertunjukan pembacaan karya sastra, peluncuran buku antologi sastra “Pedas Lada Pasir Kuarsa” (kumpulan puisi TSI II 2009) dan “Jalan Menikung ke Bukit Timah” (kumpulan cerpen TSI II 2009), Bazar Buku, dan Wisata Budaya.
Sudahkah identitas sastra Indonesia ditemukan? Terlalu naif jika dalam 4 hari untuk menagihnya. Peristiwa sastra di pulau Timah itu, barangkali bisa jadi 'modal' untuk menggali sastra Indonesia 'lebih' dan merangsang proses kreatif sastrawan. Di mana sastra Indonesia tidak sekadar selesai sebagai 'teks' semata dan tidak ada apa pun di luar 'teks' itu—hal ini bisa kita lihat dari penghargaan karya sastra yang ada, bahkan sekelas Nobel pun!--sebab omong kosong yang indah apabila sastra terbebas dari nilai di luar sastra itu sendiri. Sehingga ketika karya (sastra) selesai ditulis, pengarang cukup berleha-leha saja gara-gara salah kaprah memahami istilah, “pengarang sudah mati”.
Namun, bagaimana event sastra seperti Temu Sastrawan Indonesia itu tidak dijadikan sekedar sebuah pesta laiknya beberapa event sastra di Indonesia yang konon katanya bertaraf internasional. Bukan ajang 'bersolek' para sastrawan semata. Inilah tantangan bagi penyelenggara Temu Sastrawan Indonesia berikutnya 2010 di Kota Tanjungpinang, Propinsi Kepulauan Riau.
15 Agustus 2009
Poem
Ngai Oi Ngi
waktu yang singkat
menyusun ingatan yang panjang, mei lan
di belinyu, di belinyu
kita bertemu
ruko-ruko tutup pada jam 4 petang
dikepung bekas lubang-lubang tambang
yang ditinggalkan
aku menggenggam tanganmu lebih dalam
--tangan yang datang dari negeri hutan terbakar--
di benteng bongkap, pha kak liang
pantai penyusuk, atau di bawah bulan
ketika listrik padam
pada jam 9 malam
tetapi sepanjang jalan depati amir
angin mengembalikan tangan kita
jadi milik masing-masing
agar bisa menangkap senja
bangunan-bangunan tua
dari masa gemilang timah
hingga kesedihan
orang-orang hakka
dalam pembakaran taiseja
agar bisa merasakan
suara mereka yang hidup dan tak bisa pulang
lalu membangun kampung dalam dirinya
jauh lebih sunyi, jauh lebih sunyi
daripada sihir puisi
igauan pelayaran
yang tak pernah menyentuh lautan
Belinyu-Yogyakarta, Agustus 2009
waktu yang singkat
menyusun ingatan yang panjang, mei lan
di belinyu, di belinyu
kita bertemu
ruko-ruko tutup pada jam 4 petang
dikepung bekas lubang-lubang tambang
yang ditinggalkan
aku menggenggam tanganmu lebih dalam
--tangan yang datang dari negeri hutan terbakar--
di benteng bongkap, pha kak liang
pantai penyusuk, atau di bawah bulan
ketika listrik padam
pada jam 9 malam
tetapi sepanjang jalan depati amir
angin mengembalikan tangan kita
jadi milik masing-masing
agar bisa menangkap senja
bangunan-bangunan tua
dari masa gemilang timah
hingga kesedihan
orang-orang hakka
dalam pembakaran taiseja
agar bisa merasakan
suara mereka yang hidup dan tak bisa pulang
lalu membangun kampung dalam dirinya
jauh lebih sunyi, jauh lebih sunyi
daripada sihir puisi
igauan pelayaran
yang tak pernah menyentuh lautan
Belinyu-Yogyakarta, Agustus 2009
10 Agustus 2009
Catatan Perjalanan
Ke Belinyu, Melihat Kota Tua Timah
Sementara saya menampik tawaran mengunjungi Pantai Tanjung Bunga, Hutan Wisata TuaTunu, Kuburan Cina Sentosa, Katedral ST. Yosef, Kuburan Akek Bandang, Museum Timah Indonesia, Rumah Eks Residen, Perigi Pasem, Tugu Kemerdekaan, Kerhof, yang ditawarkan oleh dinas Pariwisata Bangka-Belitung lewat buklet bagi peserta Temu Sastrawan Indonesia II yang hendak melancong. Bukan karena tempat itu tidak menarik, tapi saya ingin sesuatu yang beda. Saya ingin mengunjungi tempat yang tersembunyi. Berdasarkan pengalaman saya sebelumnya, tempat seperti itu memiliki pesona tersendiri.
Gayung pun bersambut! Kebetulan Raudal Tanjung Banua, Nurwahida Idris, Tsabit, Kedung Darma Romansah, (Yogyakarta), Nur Zen Hae beserta anak istrinya (Jakarta), Risa Syukria (Siak), dan Dahlia (Palembang), hendak bertandang ke rumah Sunlie Thomas Alexander di Belinyu.
Bersama rombongan peserta Temu Sastrawan Indonesia II di Pangkalpinang (30 Juli-2 Agustus 2009) yang masih belum bergegas pulang ke daerah masing-masing meski event tahunan itu sudah usai, kami menumpangi bis Damri yang disediakan oleh dinas Pariwisata negeri Timah itu untuk mengunjungi Belinyu.
Selama perjalanan dari Pangkalpinang ke Belinyu, saya pergunakan melihat daerah yang dilintasi bis yang melaju dalam angin petang. Saya tertegun setiap kali melihat bekas-bekas lubang tambang timah yang ditinggalkan dan terbengkalai. Pohon-pohon pun tidak seramai di beberapa ruas Lintas Sumatera.
Duh, kegersangan yang menciptakan kesedihan. Tapi saya mesti melihatnya. Melihatnya sebagai pelancong yang hanya bisa bertanya: “kenapa?”, tanpa menemukan jawaban yang memuaskan. Sebab tidak ada guide dalam rombongan kami selama perjalanan di bis itu. Diam-diam, kami seperti bersepakat menjadi guide bagi diri kami sendiri. Seperti sengaja menciptakan pertanyaan-pertanyaan bagi diri kami dan dijawab oleh diri kami sendiri.
Tak terasa lebih kurang 3 jam, bis itu mengantarkan kami ke kota kecamatan Belinyu. Sebuah kota tua yang didirikan karena pertambangan timah. Kami disambut deretan bangunan-bangunan tua dan ruko-ruko yang sebagian besar tutup. Padahal baru pukul 5 sore. Lagi-lagi saya didera pertanyaan: “kenapa?”
Karena tidak tahan, saya pun bertanya kepada Sunlie: “Kenapa ruko-ruko di sini tutup?”
“Di sini orang-orang berdagang cuma sampai jam 4 petang,” jawab Sunlie. Lalu ia mengajak saya masuk ke rumahnya, menyusul yang lain.
Di depan pintu, saya disambut oleh Mama Sunlie yang ramah dan berumur sekitar 60-an. Ia menyapa saya dalam bahasa Hakka. Saya membalasnya dengan senyum, lantaran saya tidak faham bahasa Hakka.
“Mama saya tidak bisa ngomong dengan bahasa Indonesia,” ucap Sunlie.
Di Belinyu sekitar 30 persen penduduknya adalah Cina Hakka. Dalam sejarah Cina perantauan (Overseas Chinese) ke Asia Tenggara, setidaknya dikenal 5 kelompok besar yang datang dan menetap, yaitu Hokkian, Hakka, Tiochiu atau Hoklo, Kanton, dan Hailam.
Hokkian dan Tiochiu dikenal sebagai pedagang. Kanton sebagai pengrajin dan tukang kayu. Hakka sebagai pekerja tambang dan perkebunan. Dalam sejarah, Hakka adalah kelompok terakhir yang datang ke Indonesia. Mereka datang berombongan untuk dipekerjakan sebagai kuli tambang dan perkebunan. Kedatangan Hakka pertama adalah ke Mandor dan Montrado--pertambangan emas yang dikonsesi oleh Sultan Mempawah dan Sambas. Sekitar awal 1700, mereka didatangkan dalam jumlah besar melalui Serawak.
Ketika tambang timah di Bangka di buka sekitar pertengahan 1700, yang disusul kemudian di Belitung, beratus-ratus orang Hakka dikapalkan ke Bangka. Terus berlanjut hingga pertengahan tahun 1800. Rata-rata mereka didatangkan dari Meixien. Mereka datang tanpa membawa istri. Ketika kontrak habis hanya ada dua pilihan, kembali ke Cina atau menetap di sekitar lokasi tambang. Bagi mereka yang tidak pulang membuka permukiman di Bangka, seperti di Belinyu.
Putusan untuk menetap diikuti dengan mengambil wanita setempat sebagai istri. Arsitektur permukiman mereka telah berbaur dengan budaya setempat. Namun yang masih terlihat menonjol adalah banyaknya tapekong (tempat pemujaan besar kecil dalam permukiman itu). Berbagai perayaan besar dalam tradisi Cina masih mereka lakukan. Sembahyang Imlek masih dirayakan dengan ketat, seperti pantangan menyapu pada hari Imlek, saling memberi Angpau, perayaan Cengbeng atau Cingming (perayaan bersih kubur leluhur). Begitu pula dengan Cioko atau sembahyang rebut, masih dilakukan.
Yang tak kalah menarik, di Belinyu memiliki tradisi mengadakan pembakaran Taiseja. Dalam perayaan itu juga disertakan berbagai replika alat transportasi seperi kapal laut, kapal terbang, dan sebagainya. Menurut Sunlie, itu disediakan bagi arwah-arwah orang Cina yang hendak pulang ke negeri leluhur. Sayangnya, saya berkunjung ke Belinyu tidak pada saat perayaan itu berlangsung.
Meski begitu, jalan-jalan melewati rumah-rumah kuno beraksitektur campuran Melayu-Cina-Belanda, pedagang buah-buahan, martabak Bangka, Sate Madura, Warung Pecel Lele, Bakso Solo, Ampera Padang, Otak-otak Bakar, Mpek-mpek, di bawah cahaya bulan malam itu menciptakan nuansa eksotis.
Kapitan Bongkap, Benteng Kutopanji, Kelenteng Liang San Phak
Saya merasakan malam pertama di kota Belinyu dengan listrik yang mati hingga subuh. Sebagian jaringan Listrik dilayani PT Timah, karena PLN kekurangan jaringan. PLTU Mantung dekat pelabuhan Belinyu yang pernah dibilang terbesar di Asia Tenggara, sudah lama tidak berfungsi. Pun PLTD di Baturusa, setali tiga uang. Sama saja. PT Timah akhirnya menjadi pemasok listrik tanpa meteran, dengan sistem borongan. Tapi layanannya masih mengecewakan, listriknya sering padam.
“Bangun! Lihat ke bawah!” ujar Raudal membangunkan saya yang masih bergolek-golek di tikar.
Dari beranda lantai atas rumah Sunlie, saya melihat ke bawah. Ada bis-bis umum ngetem di depan rumah Sunlie. Bis-bis itu sangat antik. Bodinya terbuat dari kayu yang dilapisi seng. Ada tangga menuju bagasi berpagar besi di atap bis itu. Saya jadi ingat waktu kecil dulu, bis keluaran tahun 1970-an macam itu pernah saya tumpangi bersama papa dari Padang ke Bukittingi pada pertengahan tahun 1980-an.
“Sungguh kota tua yang masih menyimpan masa lalunya,” bisik saya pada pagi yang mulai menggeliat bersama pedagang-pedagang yang membuka pintu tokonya.
Pukul 10 pagi, saya beserta rombongan melancong ke luar kota dengan mobil rental Inova. Berdesakan memang, karena mobil itu dinaiki saya, Raudal Tanjung Banua, Nurwahida Idris, Tsabit, Kedung Dharma Romansah, Nur Zen Hae beserta anak istrinya, Risa Syukria, Dahlia, Sunlie Thomas Alexander dan tentu saja Pak sopir. Tapi suasana riang bikin yang sempit jadi lapang.
Menempuh jarak 2 kilometer dari pusat kota Belinyu, sampailah kami di Benteng Kutopanji atau Benteng Bongkap, yang terletak di kampung Kusam. Kekokohan sisa-sisa bangunan Benteng berwarna hitam keabuan—terbuat dari tanah liat yang dibakar—yang dibangun sekitar 1700 oleh Kapitan Bong atau Bong Khiung Fu, membuat saya terpesona. Meskipun yang saya jumpai sekarang cuma sisa-sisa dan kisah tentang Kapitan Bongkap, saudagar Cina yang kaya raya dan seorang pelarian politik.
Kami masuk ke dalam benteng, menemukan dua makam dengan arsitektur Cina di bagian paling belakang Benteng itu. Yang terbesar adalah makam Kapitan Bong bertahun 1700 dan dipugar pada tahun 1973, di belakangnya di atas tebing adalah makam pengawalnya. Namun itu adalah replika makam Kapitan Bong. Meski begitu tetap dihormati oleh masyarakat setempat. Sebenarnya, Kapitan itu meninggal di Malaysia dan Benteng Kutopanji jatuh ke tangan perompak Moro, Filipina.
Kemudian kami singgah ke Kelenteng Liang San Phak yang berdampingan dengan Benteng Kutopanji di sisi barat.
Kelenteng Liang San Phak, sebenarnya merupakan bagian dari Benteng Kutopanji yang juga didirikan oleh Kapitan Bong. Aroma Hio pun menyambut kami. Nur Zen Hae, Risa Syukria, Kedung Darma Romansah, dan Dahlia, bergantian mengadu peruntungan dan ramalan nasib dengan membakar Hio di depan patung Thai Pak Kong (Paman Besar) bernama Liang San Phak dan patung istrinya, yang dibawa langsung oleh Kapitan Bong dari negeri leluhurnya. Patung ini pada tanggal 15 bulan ketujuh penanggalan Cina, diarak mengelilingi kota Belinyu sebagai prosesi sembahyang rebut.
“Ini Klenteng Dewa Bumi atau Tapekong. Menurut agama Konghucu, Klenteng Tapekong ini untuk tempat bersembahyang, dan meminta agar banyak rejeki dan keselamatan,” ujar Fujianto alias Afu (35), salah seorang pengurus Klenteng.
Saya ingin bertanya lebih banyak lagi pada Afu yang ramah itu. Tapi waktu yang tidak memungkinkan, karena perjalanan mesti dilanjutkan.
Pha Kak Liang
Setelah melewati jalan tanah berdebu, dan sesekali bertemu pula dengan bekas tambang timah yang ditinggalkan, sampailah kami di gerbang utama Pha Kak Liang yang bernuansa Cina. Makin ke dalam, arsitektur Cina itu makin terasa. Seperti demarga, rumah peristirahatan, gazebo, semuanya berornamen negeri kungfu Panda.
Pha Kak Liang adalah sebuah objek wisata tirta yang dibangun di atas bekas tambang timah (kolong). Letaknya 10 Kilometer dari kota Belinyu.
Keheningan dan kedamaian begitu terasa di tepi telaga seluas 3,5 hektar yang ditumbuhi pohon cemara dan akasia. Pemiliknya adalah tiga orang etnis Cina bersaudara. Tempat tersebut merupakan villa peristirahatan bagi mereka, dibuka untuk umum. Sayangnya, kurang terawatnya Pha Kak Liang membuat objek wisata telaga berisi ribuan ikan emas yang hidup bebas itu tampak sedikit suram. Tapi bagi pecinta suasana sunyi, Pha Kak Liang memberikan itu. Semakin lama akan makin terasa sensasinya.
Pantai Penyusuk
“Lihat pohon-pohon yang memeluk batu itu!” kalimat Raudal yang puitis itu seperti memberi tahu bahwa kami telah memasuki gerbang pantai Penyusuk. Ya, di kiri-kanan jalan memasuki area pantai tampak beberapa batu besar yang dikelilingi pohon-pohon.
Hamparan pantai yang landai dan ditumbuhi batu-batu besar menyambut kami. Beberapa perahu nelayan tertambat. Ombaknya tenang karena di depannya ada pulau cukup besar--juga pulau kecil di sampingnya--dimana tegak menara suar yang tampak sebesar pohon nyiur dari tempat saya berdiri.
Amboi! Negeri rayuan pulau kelapa, alangkah eloknya.
Saya tidak sabaran ingin menceburkan diri, mandi-mandi di laut, jadi kanak-kanak riang kembali, hilang sejenak segan pada usia. Namun Risa Syukria meminta saya untuk menemaninya mengambil air wudhu. Inilah perkaranya, ternyata kamar mandi umum dikunci. Penjaganya entah kemana.
Memang pantai Penyusuk sepi, jauh dari pedagang yang mata duitan. Akhirnya, kami menemukan berbungkus-bungkus air minum tergeletak ditinggalkan pemiliknya di atas sebuah batu besar. Jadilah Risa salat. Saya pun mandi menceburkan diri ke laut menyusul yang lain, yang telah dulu bermain dengan air garam yang jinak itu. Tak lama berselang, Risa pun menyusul.
Cuma Kedung Darma Romansah dan Pak sopir yang tidak mau membasahi tubuhnya dengan air laut di pantai yang tenang itu. Entah kenapa. Setelah puas mandi-mandi. Main pasir pantai yang putih. Duduk-duduk dari satu batu ke lain batu. Rombongan sastrawan itu memutuskan untuk pulang.
Matahari sudah mulai mendekati ubun-ubun laut, beberapa jam lagi bakal angslup. Cuaca cerah. Tentu saja sunset akan terlihat sempurna di pantai barat ini. Apa hendak dikata, pertemuan matahari dan laut yang menciptakan cahaya emas itu, tak bisa saya saksikan.
Kami pun pulang dengan tubuh yang belum dibilas dari air laut karena penjaga kamar mandi umum itu tidak juga datang.
Sampai di jalan Depati Amir, saya dan Risa Syukria yang juga reporter TV Siak, memutuskan turun dari mobil. Kami ingin berjalan kaki menuju rumah Sunlie di jalan Sriwijaya yang jaraknya sekitar 500 meter dari tempat kami turun. Sementara yang lain terus pulang dengan mobil.
Kami turun dari mobil itu bukan karena ngambek, tapi ingin melihat lebih dekat rumah-rumah arsitektur Belanda yang dihuni pegawai timah di bawah gelimang cahaya senja. Ya, sepanjang jalan Depati Amir itu berjajar bangunan-bangunan lama. Sayangnya sebagian sudah tidak terawat lagi. Padahal bangunan-bangunan itu merupakan jejak langkah dari perjalanan kota timah itu.
Menurut Ibrahim (52), salah seorang karyawan pertambangan timah yang kami temui di salah satu rumah kuno itu, dulunya rumah-rumah di kawasan jalan Depati Amir itu adalah kawasan elit yang ditempati oleh pegawai teras atas pertambangan timah, dibangun pada tahun 1928.
Sejak menipisnya cadangan timah di Belinyu, rumah-rumah itu dihuni campur aduk antara karyawan biasa dan pegawai menengah. Bahkan sebagian rumah tidak dihuni lagi dalam kondisi mengenaskan, pintu dan jendela yang copot, dindingnya kumuh penuh coretan.
“Kota yang aneh. Tidak seperti kota-kota lain yang pernah saya datangi. Selama di sini, belum pernah saya lihat ABG nongkrong bersama menghabiskan petang. Bagaimana orang-orang hidup dalam kelengangan ini?” ucap Risa, dara rancak berdarah Minang, di jalan menuju ke rumah Sunlie, selepas jalan Depati Amir.
“Kota ini membuat Ngai Oi Ngi!” ujar saya memakai sekerat bahasa Hakka yang saya pelajari dari Sunlie.
“Apa itu Ngai Oi Ngi?” tanya Risa.
“Aku Mencintaimu!”
Sementara saya menampik tawaran mengunjungi Pantai Tanjung Bunga, Hutan Wisata TuaTunu, Kuburan Cina Sentosa, Katedral ST. Yosef, Kuburan Akek Bandang, Museum Timah Indonesia, Rumah Eks Residen, Perigi Pasem, Tugu Kemerdekaan, Kerhof, yang ditawarkan oleh dinas Pariwisata Bangka-Belitung lewat buklet bagi peserta Temu Sastrawan Indonesia II yang hendak melancong. Bukan karena tempat itu tidak menarik, tapi saya ingin sesuatu yang beda. Saya ingin mengunjungi tempat yang tersembunyi. Berdasarkan pengalaman saya sebelumnya, tempat seperti itu memiliki pesona tersendiri.
Gayung pun bersambut! Kebetulan Raudal Tanjung Banua, Nurwahida Idris, Tsabit, Kedung Darma Romansah, (Yogyakarta), Nur Zen Hae beserta anak istrinya (Jakarta), Risa Syukria (Siak), dan Dahlia (Palembang), hendak bertandang ke rumah Sunlie Thomas Alexander di Belinyu.
Bersama rombongan peserta Temu Sastrawan Indonesia II di Pangkalpinang (30 Juli-2 Agustus 2009) yang masih belum bergegas pulang ke daerah masing-masing meski event tahunan itu sudah usai, kami menumpangi bis Damri yang disediakan oleh dinas Pariwisata negeri Timah itu untuk mengunjungi Belinyu.
Selama perjalanan dari Pangkalpinang ke Belinyu, saya pergunakan melihat daerah yang dilintasi bis yang melaju dalam angin petang. Saya tertegun setiap kali melihat bekas-bekas lubang tambang timah yang ditinggalkan dan terbengkalai. Pohon-pohon pun tidak seramai di beberapa ruas Lintas Sumatera.
Duh, kegersangan yang menciptakan kesedihan. Tapi saya mesti melihatnya. Melihatnya sebagai pelancong yang hanya bisa bertanya: “kenapa?”, tanpa menemukan jawaban yang memuaskan. Sebab tidak ada guide dalam rombongan kami selama perjalanan di bis itu. Diam-diam, kami seperti bersepakat menjadi guide bagi diri kami sendiri. Seperti sengaja menciptakan pertanyaan-pertanyaan bagi diri kami dan dijawab oleh diri kami sendiri.
Tak terasa lebih kurang 3 jam, bis itu mengantarkan kami ke kota kecamatan Belinyu. Sebuah kota tua yang didirikan karena pertambangan timah. Kami disambut deretan bangunan-bangunan tua dan ruko-ruko yang sebagian besar tutup. Padahal baru pukul 5 sore. Lagi-lagi saya didera pertanyaan: “kenapa?”
Karena tidak tahan, saya pun bertanya kepada Sunlie: “Kenapa ruko-ruko di sini tutup?”
“Di sini orang-orang berdagang cuma sampai jam 4 petang,” jawab Sunlie. Lalu ia mengajak saya masuk ke rumahnya, menyusul yang lain.
Di depan pintu, saya disambut oleh Mama Sunlie yang ramah dan berumur sekitar 60-an. Ia menyapa saya dalam bahasa Hakka. Saya membalasnya dengan senyum, lantaran saya tidak faham bahasa Hakka.
“Mama saya tidak bisa ngomong dengan bahasa Indonesia,” ucap Sunlie.
Di Belinyu sekitar 30 persen penduduknya adalah Cina Hakka. Dalam sejarah Cina perantauan (Overseas Chinese) ke Asia Tenggara, setidaknya dikenal 5 kelompok besar yang datang dan menetap, yaitu Hokkian, Hakka, Tiochiu atau Hoklo, Kanton, dan Hailam.
Hokkian dan Tiochiu dikenal sebagai pedagang. Kanton sebagai pengrajin dan tukang kayu. Hakka sebagai pekerja tambang dan perkebunan. Dalam sejarah, Hakka adalah kelompok terakhir yang datang ke Indonesia. Mereka datang berombongan untuk dipekerjakan sebagai kuli tambang dan perkebunan. Kedatangan Hakka pertama adalah ke Mandor dan Montrado--pertambangan emas yang dikonsesi oleh Sultan Mempawah dan Sambas. Sekitar awal 1700, mereka didatangkan dalam jumlah besar melalui Serawak.
Ketika tambang timah di Bangka di buka sekitar pertengahan 1700, yang disusul kemudian di Belitung, beratus-ratus orang Hakka dikapalkan ke Bangka. Terus berlanjut hingga pertengahan tahun 1800. Rata-rata mereka didatangkan dari Meixien. Mereka datang tanpa membawa istri. Ketika kontrak habis hanya ada dua pilihan, kembali ke Cina atau menetap di sekitar lokasi tambang. Bagi mereka yang tidak pulang membuka permukiman di Bangka, seperti di Belinyu.
Putusan untuk menetap diikuti dengan mengambil wanita setempat sebagai istri. Arsitektur permukiman mereka telah berbaur dengan budaya setempat. Namun yang masih terlihat menonjol adalah banyaknya tapekong (tempat pemujaan besar kecil dalam permukiman itu). Berbagai perayaan besar dalam tradisi Cina masih mereka lakukan. Sembahyang Imlek masih dirayakan dengan ketat, seperti pantangan menyapu pada hari Imlek, saling memberi Angpau, perayaan Cengbeng atau Cingming (perayaan bersih kubur leluhur). Begitu pula dengan Cioko atau sembahyang rebut, masih dilakukan.
Yang tak kalah menarik, di Belinyu memiliki tradisi mengadakan pembakaran Taiseja. Dalam perayaan itu juga disertakan berbagai replika alat transportasi seperi kapal laut, kapal terbang, dan sebagainya. Menurut Sunlie, itu disediakan bagi arwah-arwah orang Cina yang hendak pulang ke negeri leluhur. Sayangnya, saya berkunjung ke Belinyu tidak pada saat perayaan itu berlangsung.
Meski begitu, jalan-jalan melewati rumah-rumah kuno beraksitektur campuran Melayu-Cina-Belanda, pedagang buah-buahan, martabak Bangka, Sate Madura, Warung Pecel Lele, Bakso Solo, Ampera Padang, Otak-otak Bakar, Mpek-mpek, di bawah cahaya bulan malam itu menciptakan nuansa eksotis.
Kapitan Bongkap, Benteng Kutopanji, Kelenteng Liang San Phak
Saya merasakan malam pertama di kota Belinyu dengan listrik yang mati hingga subuh. Sebagian jaringan Listrik dilayani PT Timah, karena PLN kekurangan jaringan. PLTU Mantung dekat pelabuhan Belinyu yang pernah dibilang terbesar di Asia Tenggara, sudah lama tidak berfungsi. Pun PLTD di Baturusa, setali tiga uang. Sama saja. PT Timah akhirnya menjadi pemasok listrik tanpa meteran, dengan sistem borongan. Tapi layanannya masih mengecewakan, listriknya sering padam.
“Bangun! Lihat ke bawah!” ujar Raudal membangunkan saya yang masih bergolek-golek di tikar.
Dari beranda lantai atas rumah Sunlie, saya melihat ke bawah. Ada bis-bis umum ngetem di depan rumah Sunlie. Bis-bis itu sangat antik. Bodinya terbuat dari kayu yang dilapisi seng. Ada tangga menuju bagasi berpagar besi di atap bis itu. Saya jadi ingat waktu kecil dulu, bis keluaran tahun 1970-an macam itu pernah saya tumpangi bersama papa dari Padang ke Bukittingi pada pertengahan tahun 1980-an.
“Sungguh kota tua yang masih menyimpan masa lalunya,” bisik saya pada pagi yang mulai menggeliat bersama pedagang-pedagang yang membuka pintu tokonya.
Pukul 10 pagi, saya beserta rombongan melancong ke luar kota dengan mobil rental Inova. Berdesakan memang, karena mobil itu dinaiki saya, Raudal Tanjung Banua, Nurwahida Idris, Tsabit, Kedung Dharma Romansah, Nur Zen Hae beserta anak istrinya, Risa Syukria, Dahlia, Sunlie Thomas Alexander dan tentu saja Pak sopir. Tapi suasana riang bikin yang sempit jadi lapang.
Menempuh jarak 2 kilometer dari pusat kota Belinyu, sampailah kami di Benteng Kutopanji atau Benteng Bongkap, yang terletak di kampung Kusam. Kekokohan sisa-sisa bangunan Benteng berwarna hitam keabuan—terbuat dari tanah liat yang dibakar—yang dibangun sekitar 1700 oleh Kapitan Bong atau Bong Khiung Fu, membuat saya terpesona. Meskipun yang saya jumpai sekarang cuma sisa-sisa dan kisah tentang Kapitan Bongkap, saudagar Cina yang kaya raya dan seorang pelarian politik.
Kami masuk ke dalam benteng, menemukan dua makam dengan arsitektur Cina di bagian paling belakang Benteng itu. Yang terbesar adalah makam Kapitan Bong bertahun 1700 dan dipugar pada tahun 1973, di belakangnya di atas tebing adalah makam pengawalnya. Namun itu adalah replika makam Kapitan Bong. Meski begitu tetap dihormati oleh masyarakat setempat. Sebenarnya, Kapitan itu meninggal di Malaysia dan Benteng Kutopanji jatuh ke tangan perompak Moro, Filipina.
Kemudian kami singgah ke Kelenteng Liang San Phak yang berdampingan dengan Benteng Kutopanji di sisi barat.
Kelenteng Liang San Phak, sebenarnya merupakan bagian dari Benteng Kutopanji yang juga didirikan oleh Kapitan Bong. Aroma Hio pun menyambut kami. Nur Zen Hae, Risa Syukria, Kedung Darma Romansah, dan Dahlia, bergantian mengadu peruntungan dan ramalan nasib dengan membakar Hio di depan patung Thai Pak Kong (Paman Besar) bernama Liang San Phak dan patung istrinya, yang dibawa langsung oleh Kapitan Bong dari negeri leluhurnya. Patung ini pada tanggal 15 bulan ketujuh penanggalan Cina, diarak mengelilingi kota Belinyu sebagai prosesi sembahyang rebut.
“Ini Klenteng Dewa Bumi atau Tapekong. Menurut agama Konghucu, Klenteng Tapekong ini untuk tempat bersembahyang, dan meminta agar banyak rejeki dan keselamatan,” ujar Fujianto alias Afu (35), salah seorang pengurus Klenteng.
Saya ingin bertanya lebih banyak lagi pada Afu yang ramah itu. Tapi waktu yang tidak memungkinkan, karena perjalanan mesti dilanjutkan.
Pha Kak Liang
Setelah melewati jalan tanah berdebu, dan sesekali bertemu pula dengan bekas tambang timah yang ditinggalkan, sampailah kami di gerbang utama Pha Kak Liang yang bernuansa Cina. Makin ke dalam, arsitektur Cina itu makin terasa. Seperti demarga, rumah peristirahatan, gazebo, semuanya berornamen negeri kungfu Panda.
Pha Kak Liang adalah sebuah objek wisata tirta yang dibangun di atas bekas tambang timah (kolong). Letaknya 10 Kilometer dari kota Belinyu.
Keheningan dan kedamaian begitu terasa di tepi telaga seluas 3,5 hektar yang ditumbuhi pohon cemara dan akasia. Pemiliknya adalah tiga orang etnis Cina bersaudara. Tempat tersebut merupakan villa peristirahatan bagi mereka, dibuka untuk umum. Sayangnya, kurang terawatnya Pha Kak Liang membuat objek wisata telaga berisi ribuan ikan emas yang hidup bebas itu tampak sedikit suram. Tapi bagi pecinta suasana sunyi, Pha Kak Liang memberikan itu. Semakin lama akan makin terasa sensasinya.
Pantai Penyusuk
“Lihat pohon-pohon yang memeluk batu itu!” kalimat Raudal yang puitis itu seperti memberi tahu bahwa kami telah memasuki gerbang pantai Penyusuk. Ya, di kiri-kanan jalan memasuki area pantai tampak beberapa batu besar yang dikelilingi pohon-pohon.
Hamparan pantai yang landai dan ditumbuhi batu-batu besar menyambut kami. Beberapa perahu nelayan tertambat. Ombaknya tenang karena di depannya ada pulau cukup besar--juga pulau kecil di sampingnya--dimana tegak menara suar yang tampak sebesar pohon nyiur dari tempat saya berdiri.
Amboi! Negeri rayuan pulau kelapa, alangkah eloknya.
Saya tidak sabaran ingin menceburkan diri, mandi-mandi di laut, jadi kanak-kanak riang kembali, hilang sejenak segan pada usia. Namun Risa Syukria meminta saya untuk menemaninya mengambil air wudhu. Inilah perkaranya, ternyata kamar mandi umum dikunci. Penjaganya entah kemana.
Memang pantai Penyusuk sepi, jauh dari pedagang yang mata duitan. Akhirnya, kami menemukan berbungkus-bungkus air minum tergeletak ditinggalkan pemiliknya di atas sebuah batu besar. Jadilah Risa salat. Saya pun mandi menceburkan diri ke laut menyusul yang lain, yang telah dulu bermain dengan air garam yang jinak itu. Tak lama berselang, Risa pun menyusul.
Cuma Kedung Darma Romansah dan Pak sopir yang tidak mau membasahi tubuhnya dengan air laut di pantai yang tenang itu. Entah kenapa. Setelah puas mandi-mandi. Main pasir pantai yang putih. Duduk-duduk dari satu batu ke lain batu. Rombongan sastrawan itu memutuskan untuk pulang.
Matahari sudah mulai mendekati ubun-ubun laut, beberapa jam lagi bakal angslup. Cuaca cerah. Tentu saja sunset akan terlihat sempurna di pantai barat ini. Apa hendak dikata, pertemuan matahari dan laut yang menciptakan cahaya emas itu, tak bisa saya saksikan.
Kami pun pulang dengan tubuh yang belum dibilas dari air laut karena penjaga kamar mandi umum itu tidak juga datang.
Sampai di jalan Depati Amir, saya dan Risa Syukria yang juga reporter TV Siak, memutuskan turun dari mobil. Kami ingin berjalan kaki menuju rumah Sunlie di jalan Sriwijaya yang jaraknya sekitar 500 meter dari tempat kami turun. Sementara yang lain terus pulang dengan mobil.
Kami turun dari mobil itu bukan karena ngambek, tapi ingin melihat lebih dekat rumah-rumah arsitektur Belanda yang dihuni pegawai timah di bawah gelimang cahaya senja. Ya, sepanjang jalan Depati Amir itu berjajar bangunan-bangunan lama. Sayangnya sebagian sudah tidak terawat lagi. Padahal bangunan-bangunan itu merupakan jejak langkah dari perjalanan kota timah itu.
Menurut Ibrahim (52), salah seorang karyawan pertambangan timah yang kami temui di salah satu rumah kuno itu, dulunya rumah-rumah di kawasan jalan Depati Amir itu adalah kawasan elit yang ditempati oleh pegawai teras atas pertambangan timah, dibangun pada tahun 1928.
Sejak menipisnya cadangan timah di Belinyu, rumah-rumah itu dihuni campur aduk antara karyawan biasa dan pegawai menengah. Bahkan sebagian rumah tidak dihuni lagi dalam kondisi mengenaskan, pintu dan jendela yang copot, dindingnya kumuh penuh coretan.
“Kota yang aneh. Tidak seperti kota-kota lain yang pernah saya datangi. Selama di sini, belum pernah saya lihat ABG nongkrong bersama menghabiskan petang. Bagaimana orang-orang hidup dalam kelengangan ini?” ucap Risa, dara rancak berdarah Minang, di jalan menuju ke rumah Sunlie, selepas jalan Depati Amir.
“Kota ini membuat Ngai Oi Ngi!” ujar saya memakai sekerat bahasa Hakka yang saya pelajari dari Sunlie.
“Apa itu Ngai Oi Ngi?” tanya Risa.
“Aku Mencintaimu!”
4 Juni 2009
poem
Bila Kita Jadi Tua Bersama
bila kita jadi tua bersama
dari kerut sudut matamu
dari uban kepalaku
berjatuhan masa lalu
kata kata renta
punya kita
akan membaginya
dengan manis
teramat manis
bila kita jadi tua bersama
hilang sudah birahi
pada tubuh
dan segala yang mendandaninya
pada saat-saat begitu, sayangku
kita cuma perlu kisah
sambil menunggu burung kakak tua
hinggap di jendela
bila kita jadi tua bersama
dari kerut sudut matamu
dari uban kepalaku
berjatuhan masa lalu
kata kata renta
punya kita
akan membaginya
dengan manis
teramat manis
bila kita jadi tua bersama
hilang sudah birahi
pada tubuh
dan segala yang mendandaninya
pada saat-saat begitu, sayangku
kita cuma perlu kisah
sambil menunggu burung kakak tua
hinggap di jendela
16 Mei 2009
Press release
Disinterprestasi Pendendang
dan Klaim Poliandri Sebagai Adat Minangkabau
dalam Pertunjukan Teater “3 Perempuan”
Pementasan Teater Sakata, “3 Perempuan” di Yogyakarta, Sabtu, 2 Mei 2009 lalu, menuai protes keras dari Forum Budaya Peduli Budaya Alam Minangkabau (F-PBAM) yang terdiri dari mahasiswa dan seniman asal Sumbar.
Hal ini dipicu oleh laporan di Harian Jogja (Senin, 4 Mei 2009), halaman 12 berjudul “Pentas 3 Perempuan: Angkat Konflik Perempuan di Rumah Gadang” yang menyatakan bahwa adat Minangkabau memperbolehkan perkawinan poliandri, satu perempuan menikah dengan banyak laki-laki.
Dari hasil diskusi beberapa kawan di F-PBAM, Syuhendri Dt. Siri Marajo (Ketua), Raudal Tanjung Banua (Sekretaris), Ivan Adilla, Y. Thendra BP dan Indrian Koto, tidak ada ditemukan adat Minangkabau memperbolehkan poliandri. Kalau pun ada Pendendang yang berganti suami selama menjalani profesinya, itu tidak bisa dijadikan pengklaiman sebagai adat Minangkabau. Itu cuma berupa laku personal—yang mungkin sebenarnya tidak diinginkan oleh Pendendang—dan tindakan itu juga bukan bentuk poliandri.
Lantas dari manakah munculnya pernyataan Poliandri sebagai Adat Minangkabau? Apakah hasil kesimpulan subyektif dari Reporter Harian Jogja atau tafsir individu Tya Setyawaty selaku Sutradara dan penggagas ide, serta teater Sakata sebagai sebuah kelompok?
Setelah menyimak kesaksian pertunjukan, membaca keterangan di buklet, pun pada diskusi yang berlangsung di Studio Teater Garasi; pernyataan Poliandri sebagai bagian adat di Minangkabau adalah tafsir individu (kelompok) dari Tya Setyawati.
Maka bersepakatlah F-PBAM untuk melakukan klarifikasi dan menggunakan hak jawab untuk membantah reportase dan pernyataan yang merugikan masyarakat Minangkabau tersebut kepada Harian Jogja.
Akan tetapi sebelum klarifikasi dan hak jawab F-PBAM dimuat (14/05/09), Enrico Alamo, Pimpinan Teater Sakata Padang Panjang, membuat pernyataan di suara pembaca Harian Jogja (13/05/09). Menurutnya, pernyataan poliandri itu bukan bersumber dari teater Sakata, bahkan teater Sakata merasa dirugikan oleh Harian Jogja, yang mengakibatkan terhambatnya proses “Pencairan Dana” dari sponsor! Surat pembaca ini dibalas langsung oleh Harian Jogja, bahwa reportase mereka bersumber dari teater Sakata itu sendiri.
Dalam kasus ini, Enrico sebagai pimpinan dari teater Sakata bukannya meminta maaf atas tindakan yang mereka lakukan, malah terkesan ingin ‘mencuci tangan’ dan lebih memusingkan kerugian kelompoknya—pencairan dana dari sponsor—daripada kerugian moral masyarakat Minangkabau yang diakibatkan oleh tafsir yang dangkal.
Seni Pesanan
Kasus pertunjukan “3 Perempuan” yang ditampilkan oleh kelompok Teater Sakata, bisa menjadi pelajaran bagi kita bersama, bagaimana proses kreatif penggarapan suatu seni pertunjukan yang (berhasrat) mengangkat khazanah etnis, lebih banyak mengedapankan sensasi yang dangkal. Tidak menyentuh substansinya!
Jika Saluang dan Dendang cuma dijadikan objek pelengkap (latar) dari sebuah ‘peristiwa teater’ yang disajikan, terlalu gegabah ‘mengklaim’ itu telah menjadi bentuk eksperimen ‘teater’ yang mengambil unsur seni etnis. Apalagi sampai munculnya pernyataan bahwa apa yang penyaji (teater Sakata) tampilkan adalah Adat yang disepakati oleh masyarakat komunal (Minangkabau).
Untuk itu, F-PABM mengimbau kepada Peneliti, Ilmuwan, Jurnalis, Budayawan, Seniman, dan siapa pun yang tertarik untuk mengangkat Adat Minangkabau, supaya lebih teliti dan mendalam melakukan sebuah studi kasus sebelum menampilkan di gelanggang mata orang banyak. Supaya tidak menghancurkan adat itu sendiri demi kepentingan sesaat individu atau kelompok yang terjebak dalam euforia banal, demi memenuhi misi liberalisme global yang ingin melenyapkan manusia dari identitas dan budayanya, salah satunya melalui “pesan sponsor” fanding asing.
Ketua F-PABM, Syuhendri Dt. Siri menegaskan tidak bermaksud menghambat proses kreatifitas siapa pun dari latar mana pun. Apa yang dilakukan F-PABM hanyalah sebuah bentuk kepedulian atas budaya Minangkabau supaya tidak sewenang-wenang disalah-tafsirkan.**
dan Klaim Poliandri Sebagai Adat Minangkabau
dalam Pertunjukan Teater “3 Perempuan”
Pementasan Teater Sakata, “3 Perempuan” di Yogyakarta, Sabtu, 2 Mei 2009 lalu, menuai protes keras dari Forum Budaya Peduli Budaya Alam Minangkabau (F-PBAM) yang terdiri dari mahasiswa dan seniman asal Sumbar.
Hal ini dipicu oleh laporan di Harian Jogja (Senin, 4 Mei 2009), halaman 12 berjudul “Pentas 3 Perempuan: Angkat Konflik Perempuan di Rumah Gadang” yang menyatakan bahwa adat Minangkabau memperbolehkan perkawinan poliandri, satu perempuan menikah dengan banyak laki-laki.
Dari hasil diskusi beberapa kawan di F-PBAM, Syuhendri Dt. Siri Marajo (Ketua), Raudal Tanjung Banua (Sekretaris), Ivan Adilla, Y. Thendra BP dan Indrian Koto, tidak ada ditemukan adat Minangkabau memperbolehkan poliandri. Kalau pun ada Pendendang yang berganti suami selama menjalani profesinya, itu tidak bisa dijadikan pengklaiman sebagai adat Minangkabau. Itu cuma berupa laku personal—yang mungkin sebenarnya tidak diinginkan oleh Pendendang—dan tindakan itu juga bukan bentuk poliandri.
Lantas dari manakah munculnya pernyataan Poliandri sebagai Adat Minangkabau? Apakah hasil kesimpulan subyektif dari Reporter Harian Jogja atau tafsir individu Tya Setyawaty selaku Sutradara dan penggagas ide, serta teater Sakata sebagai sebuah kelompok?
Setelah menyimak kesaksian pertunjukan, membaca keterangan di buklet, pun pada diskusi yang berlangsung di Studio Teater Garasi; pernyataan Poliandri sebagai bagian adat di Minangkabau adalah tafsir individu (kelompok) dari Tya Setyawati.
Maka bersepakatlah F-PBAM untuk melakukan klarifikasi dan menggunakan hak jawab untuk membantah reportase dan pernyataan yang merugikan masyarakat Minangkabau tersebut kepada Harian Jogja.
Akan tetapi sebelum klarifikasi dan hak jawab F-PBAM dimuat (14/05/09), Enrico Alamo, Pimpinan Teater Sakata Padang Panjang, membuat pernyataan di suara pembaca Harian Jogja (13/05/09). Menurutnya, pernyataan poliandri itu bukan bersumber dari teater Sakata, bahkan teater Sakata merasa dirugikan oleh Harian Jogja, yang mengakibatkan terhambatnya proses “Pencairan Dana” dari sponsor! Surat pembaca ini dibalas langsung oleh Harian Jogja, bahwa reportase mereka bersumber dari teater Sakata itu sendiri.
Dalam kasus ini, Enrico sebagai pimpinan dari teater Sakata bukannya meminta maaf atas tindakan yang mereka lakukan, malah terkesan ingin ‘mencuci tangan’ dan lebih memusingkan kerugian kelompoknya—pencairan dana dari sponsor—daripada kerugian moral masyarakat Minangkabau yang diakibatkan oleh tafsir yang dangkal.
Seni Pesanan
Kasus pertunjukan “3 Perempuan” yang ditampilkan oleh kelompok Teater Sakata, bisa menjadi pelajaran bagi kita bersama, bagaimana proses kreatif penggarapan suatu seni pertunjukan yang (berhasrat) mengangkat khazanah etnis, lebih banyak mengedapankan sensasi yang dangkal. Tidak menyentuh substansinya!
Jika Saluang dan Dendang cuma dijadikan objek pelengkap (latar) dari sebuah ‘peristiwa teater’ yang disajikan, terlalu gegabah ‘mengklaim’ itu telah menjadi bentuk eksperimen ‘teater’ yang mengambil unsur seni etnis. Apalagi sampai munculnya pernyataan bahwa apa yang penyaji (teater Sakata) tampilkan adalah Adat yang disepakati oleh masyarakat komunal (Minangkabau).
Untuk itu, F-PABM mengimbau kepada Peneliti, Ilmuwan, Jurnalis, Budayawan, Seniman, dan siapa pun yang tertarik untuk mengangkat Adat Minangkabau, supaya lebih teliti dan mendalam melakukan sebuah studi kasus sebelum menampilkan di gelanggang mata orang banyak. Supaya tidak menghancurkan adat itu sendiri demi kepentingan sesaat individu atau kelompok yang terjebak dalam euforia banal, demi memenuhi misi liberalisme global yang ingin melenyapkan manusia dari identitas dan budayanya, salah satunya melalui “pesan sponsor” fanding asing.
Ketua F-PABM, Syuhendri Dt. Siri menegaskan tidak bermaksud menghambat proses kreatifitas siapa pun dari latar mana pun. Apa yang dilakukan F-PABM hanyalah sebuah bentuk kepedulian atas budaya Minangkabau supaya tidak sewenang-wenang disalah-tafsirkan.**
Lampiran
PERNYATAAN SIKAP
FORUM PEDULI BUDAYA ALAM MINANGKABAU (F-PBAM)
Setelah membaca dan mencermati laporan pertunjukan Teater Sakata di Harian Jogja, Senin, 4 Mei 2009, halaman 12 berjudul “Pentas 3 Perempuan: Angkat Konflik Perempuan di Rumah Gadang”—ide dan sutradara Tya Setiawaty, Sabtu, 2 Mei 2009, bertempat di Studio Teater Garasi Yogyakarta—kami menemukan kejanggalan yang sangat fatal dalam paragraf pertama laporan tersebut, yakni pada kalimat: Apalagi, adat Minangkabau yang memperbolehkan perkawinan poliandri, satu perempuan menikah dengan banyak laki-laki. (dokumentasi terlampir)
Hal ini akan menjadi lebih bias lagi jika mencermati keterangan foto laporan dimaksud, berbunyi: SEMANGAT: Sang Ibu dan Sang anak dalam pentas 3 Perempuan mampu menyemangati perempuan untuk mempertahankan prinsip hidupnya. Jika tidak hati-hati, keterangan ini dapat menggiring asosiasi pembaca menghubungkan prinsip hidup itu dengan pernyataan keliru di dalam teks laporan. Terlebih yang ditonjolkan dari pentas dan laporan pementasan tersebut bukanlah perjuangan seorang perempuan Minangkabau mempertahankan eksistensi diri dan seni-budayanya (dalam hal ini saluang dan dendang), tetapi justru menonjolkan hal-hal yang dianggap sensasional, seperti seksualitas dan affair keluarga, yang sangat personal sifatnya dan tindakan semacam itu tidak memiliki hubungan apa pun dengan sistem adat alam Minangkabau yang hendak dipresentasikan.
Bertolak dari hal di atas, maka kami Forum Peduli Budaya Alam Minangkabau (F-PBAM) menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Merujuk pada Tambo (hukum adat yang menjadi pegangan masyarakat alam Minangkabau hingga saat ini), baik dari Laras Koto Piliang (Datuak Katamanggungan), Laras Bodi Caniago (Datuak Parpatih Nan Sabatang), maupun Laras Nan Panjang (Datuak Simaharjo Nan Banego-nego), tidak ada memuat perihal tentang adat Minangkabau yang memperbolehkan perkawinan poliandri.
2. Adat Alam Minangkabau disusun dari hasil kesepakatan bersama masyarakat Minangkabau, sebagaimana pepatah bulek aia dek pambuluah bulek kato dek mupakek (bulat air karena pembuluh bulat kata karena mufakat) dan tuah dek sakato cilako dek basilang (tuah karena sekata celaka karena berkonflik) dan kato daulu kato ditapati kato kudian kato dicari (kata pertama kata ditepati kata kemudian kata dicari). Baik itu yang berlaku di dalam: manitiak dari ateh (menitik dari atas) Laras Koto Piliang, mambusek dari bumi (membuncah dari bumi) Laras Bodi Caniago, maupun gabungan dari kedua laras tersebut (Laras Nan Panjang). Maka:
3. Adat Minangkabau yang memperbolehkan perkawinan poliandri, satu perempuan menikah dengan banyak laki-laki adalah tafsir dan pernyataan individu yang ke bawah tidak berakar, ke atas tidak berpucuk, di tengah digirik (digerogoti) kumbang dan tidak bisa dijadikan atau disebut sebagai adat Minangkabau yang menyangkut tatanan kehidupan masyarakat alam Minangkabau. Untuk itu:
4. Kepada Peneliti, Ilmuwan, Jurnalis, Budayawan, Seniman, dan siapa pun yang tertarik untuk mengangkat Adat Minangkabau, supaya lebih teliti dan mendalam melakukan sebuah studi kasus sebelum menampilkan di gelanggang mata orang banyak. Supaya tidak menghancurkan adat itu sendiri demi kepentingan sesaat individu atau kelompok yang terjebak dalam euforia banal, demi memenuhi misi liberalisme global yang ingin melenyapkan manusia dari identitas dan budayanya, salah satunya melalui “pesan sponsor” fanding asing.
5. Pernyataan ini kami buat bukan bermaksud untuk menghambat proses kreatifitas siapa pun, akan tetapi sebagai sebuah bentuk rasa memiliki dan mempertahankan budaya Minangkabau sebagai salah satu budaya Nusantara dari penghancuran gerakan liberalisme global yang telah membuat kita seperti ayam mati kelaparan di lumbung padi! Dengan niat semacam ini, kami ingin menekankan agar tidak ada pihak yang merasa “dizalimi” lalu mengeksploitasinya untuk keuntungan lebih lanjut—sebagaimana banyak menjadi motif atau modus operandi dalam gerakan liberalisme global!
Yogyakarta, 12 Mei 2009
Kami Forum Peduli Budaya Alam Minangkabau (F-PBAM):
1. Syuhendri Dt. Siri Marajo (Ketua)
2. Raudal Tanjung Banua (Sekretaris)
3. Ivan Adilla
4. Y. Thendra BP
5. Indrian Koto
16 Maret 2009
masih ada-ada saja :)
Puisi Saya Diambil Diam-diam
melanjutkan tulisan saya sebelumnya: PUISI SAYA DITIRU? yang dimuat di buku kumpulan puisi iyut firta "dongeng=dongeng tua" (baca di http://www.facebook.com/notes.php?id=594592097) . maka inilah hasil 'ngoyak maling':
(SMS dari Fadhila Ramadhona)
bknx menganggap
entg mslh ini. tp la
sdri bngung hrus
mlkukan apa. la
mrs g pnh ngrm
puisi itu ke kyt*. sjk
kul di bdg la sgt jrg
komnksi dg kyt
aplg pake puisi
sms.
(krn la agak kcwa
dg kyt aplg stlh acr
temu pnyair 5kota)
&la g pny bukt atw
alsn y kuat kl itu
bkn la y
ngrm. sdgkn jeks2
sms mu itu ada di
hp la.
Nb: mw mngrim
sms ini pd y
lain, kalmat y dlm
kurung jgn
difoward jg. jg nanti
mlah bkmbang
kmn2.
pengirim:
Dila
+62852636060XX
dikirim:
09:30:28
12.03.2009
*kyt= kuyut. panggilan buat iyut fitra.
kemudian selepas jum'atan iyut fitra menelpon saya (13maret2009). isinya lebih kurang menanyakan kasus ini, dan iyut bilang, bahwa bait puisi yang ditulis dalam tanda kurung itu, telah dia minta izin dulu sebelumnya kepada pemiliknya, dan pemiliknya mengijinkannya (sebagaimana pengakuan heru jp di houtsmix saya di blog saya:http://langit-puisi.blogspot.com/ yang namanya juga ditulis dalam puisi bermasalah itu).
beberapa saat kemudian iyut meng-SMS saya:
besok kyt
lounching buku tsb
di stsi
padangpanjang.
kalau ada waktu
datanglah. kyt
akan umumkan
bahwa puisi tsb
adalah karya
tendra dan bukan
karya dilla. apakah
tendra setuju?
pengirim:
Iyut Fitra
+62852747112XX
karena sudah acara lain, saya tidak bisa menghadiri undangan iyut tersebut. tetapi saya menghargai sikap iyut tersebut, yang tanpa saya hubungi, menghubungi saya.
Esoknya, iyut mengumumkan mengenai puisi bermaslah tersebut. ini saya ketahui dari sms romi zarman, yang saat itu menghadiri acara launching buku dongeng-dongeng masa tua di stsi padang panjang. sekali lagi saya menghargai sikap iyut.
akan tetapi hingga saat saya menulis catatan ini, Fadhila Ramadhona, belum juga mau melakukan 'pernyataan' kepada publik. entah karena malu, atawa pura-pura tidak mau tahu. itu masalah dia!
Pembaca yang baik dan tidak baik.
persoalan dari kasus ini, bukan sekedar curi-mencuri saja. namun bagaimana pragmatisme telah merasuki dunia sastra indonesia. pragmatisme yang merupakan antek-antek kapitalisme global. penghargaan terhadap sebuah karya sastra cuma OMONG KOSONG YANG INDAH! koncoisme dan birahisme sastra!
kalau pun saya pernah mengirim puisi tersebut kepada dila lewat sms, itu sama halnya dengan meng-tag teman di fb. silahkan baca dan komentari. tak ada tujuan apa2 selain proses kreatif. lagi pula, setiap kali saya mengirim puisi sms kepada teman, saya telah mengarsipkannya terlebih dahulu.
lalu kenapa kita menulis? kenapa kita menulis?
untuk kehidupankah atau popularitas?
inilah satu contoh kasus 'sastra sinetron'!
sastra pesta melulu!
haha....
melanjutkan tulisan saya sebelumnya: PUISI SAYA DITIRU? yang dimuat di buku kumpulan puisi iyut firta "dongeng=dongeng tua" (baca di http://www.facebook.com/no
(SMS dari Fadhila Ramadhona)
bknx menganggap
entg mslh ini. tp la
sdri bngung hrus
mlkukan apa. la
mrs g pnh ngrm
puisi itu ke kyt*. sjk
kul di bdg la sgt jrg
komnksi dg kyt
aplg pake puisi
sms.
(krn la agak kcwa
dg kyt aplg stlh acr
temu pnyair 5kota)
&la g pny bukt atw
alsn y kuat kl itu
bkn la y
ngrm. sdgkn jeks2
sms mu itu ada di
hp la.
Nb: mw mngrim
sms ini pd y
lain, kalmat y dlm
kurung jgn
difoward jg. jg nanti
mlah bkmbang
kmn2.
pengirim:
Dila
+62852636060XX
dikirim:
09:30:28
12.03.2009
*kyt= kuyut. panggilan buat iyut fitra.
kemudian selepas jum'atan iyut fitra menelpon saya (13maret2009). isinya lebih kurang menanyakan kasus ini, dan iyut bilang, bahwa bait puisi yang ditulis dalam tanda kurung itu, telah dia minta izin dulu sebelumnya kepada pemiliknya, dan pemiliknya mengijinkannya (sebagaimana pengakuan heru jp di houtsmix saya di blog saya:http://langit-puisi.blogsp
beberapa saat kemudian iyut meng-SMS saya:
besok kyt
lounching buku tsb
di stsi
padangpanjang.
kalau ada waktu
datanglah. kyt
akan umumkan
bahwa puisi tsb
adalah karya
tendra dan bukan
karya dilla. apakah
tendra setuju?
pengirim:
Iyut Fitra
+62852747112XX
karena sudah acara lain, saya tidak bisa menghadiri undangan iyut tersebut. tetapi saya menghargai sikap iyut tersebut, yang tanpa saya hubungi, menghubungi saya.
Esoknya, iyut mengumumkan mengenai puisi bermaslah tersebut. ini saya ketahui dari sms romi zarman, yang saat itu menghadiri acara launching buku dongeng-dongeng masa tua di stsi padang panjang. sekali lagi saya menghargai sikap iyut.
akan tetapi hingga saat saya menulis catatan ini, Fadhila Ramadhona, belum juga mau melakukan 'pernyataan' kepada publik. entah karena malu, atawa pura-pura tidak mau tahu. itu masalah dia!
Pembaca yang baik dan tidak baik.
persoalan dari kasus ini, bukan sekedar curi-mencuri saja. namun bagaimana pragmatisme telah merasuki dunia sastra indonesia. pragmatisme yang merupakan antek-antek kapitalisme global. penghargaan terhadap sebuah karya sastra cuma OMONG KOSONG YANG INDAH! koncoisme dan birahisme sastra!
kalau pun saya pernah mengirim puisi tersebut kepada dila lewat sms, itu sama halnya dengan meng-tag teman di fb. silahkan baca dan komentari. tak ada tujuan apa2 selain proses kreatif. lagi pula, setiap kali saya mengirim puisi sms kepada teman, saya telah mengarsipkannya terlebih dahulu.
lalu kenapa kita menulis? kenapa kita menulis?
untuk kehidupankah atau popularitas?
inilah satu contoh kasus 'sastra sinetron'!
sastra pesta melulu!
haha....
9 Maret 2009
ada-ada saja :)
Puisi Saya Ditiru?
parak siang, 9 maret 2009.
saya belum jua bisa memejam mata. saya ambil buku kumpulan puisi iyut fitra "dongeng-dongeng tua" pemberian dari raudal tanjung banua.
setelah bolak-balik halaman puisi iyut itu, sampai jua saya di halaman 128. dan ketika membaca satu bait yang berada dalam tanda kurung, tersintaklah saya. kiranya bait itu hampir serupa dengan puisi saya yang berjudul MANUSIA PERGI.
silahkan bandingkan bait puisi iyut fitra Pencari Yang kehilangan:
............
--fadhila ramadhona
(burung-burung melintas di bulan merah bara
melintas menuju sarang,
tapi aku yang bergegas, ke mana mesti pulang?
aku manusia pergi
berkali hati terbakar di langit malam)
............
payakumbuh, 2008
dengan puisi saya (manusia pergi):
seekor bangau melintas di langit petang
melintas menuju sarang
aku yang bergegas
ke mana musti pulang?
aku manusia pergi
menyimpan banyak lambaian
menahan ragam kenangan
puisi saya itu dibuat tahun 2007. saya memang tidak lagi memberi penanggalan pada puisi saya. dan puisi Manusia Pergi itu, saya publikasikan di blog saya http://langit-puisi.blogspot.com/2008/07/poem.html pada 3 juli 2008 dan dimuat di MINGGU PAGI NO 21TH 61 MINGGU IV AGUSTUS 2008.
apakah iyut membaca puisi saya? jika tidak, bisakah dua orang menulis puisi dengan beberapa larik yang sama tanpa membaca sebelumnya?
ataukah puisi itu, kiriman fadhila ramadhona ke pada iyut fitra. dan iyut menulis ulang dalam puisinya itu. sebab kalo dilihat secara utuh puisi iyut yang berjudul 'Pencari Yang kehilangan' sepertinya (menurut saya) adalah pengembangan dari sms kiriman atau puisi--di sana ada juga nama-nama: heru jp, dian hardiana, zelfeni wimra.
jika benar dugaan saya, bait puisi itu dikirim oleh fadhila ramadhona, dari manakah dia menemukan bait puisi yang dikirimnya kepada iyut? bisakah dua orang menulis puisi dengan beberapa larik yang sama tanpa membaca sebelumnya?
pembaca yang baik dan tidak baik. pemberitahuan ini saya kirimkan, apabila
pembaca yang baik dan tidak baik menemukan puisi saya (Manusia Pergi) dan bait puisi iyut (Pencari Yang Kehilangan), janganlah bingung. apalagi sampai saya dikira 'nyontek' bait puisi iyut itu.
sebab tak sudilah saya yang keren nih mencontek puisi orang dengan membabi-buta, tapi kalo terinspirasi atau melakukan intertekstual tentulah saya peranh jua melakukannya, hehe..
hehe...lagi deh
parak siang, 9 maret 2009.
saya belum jua bisa memejam mata. saya ambil buku kumpulan puisi iyut fitra "dongeng-dongeng tua" pemberian dari raudal tanjung banua.
setelah bolak-balik halaman puisi iyut itu, sampai jua saya di halaman 128. dan ketika membaca satu bait yang berada dalam tanda kurung, tersintaklah saya. kiranya bait itu hampir serupa dengan puisi saya yang berjudul MANUSIA PERGI.
silahkan bandingkan bait puisi iyut fitra Pencari Yang kehilangan:
............
--fadhila ramadhona
(burung-burung melintas di bulan merah bara
melintas menuju sarang,
tapi aku yang bergegas, ke mana mesti pulang?
aku manusia pergi
berkali hati terbakar di langit malam)
............
payakumbuh, 2008
dengan puisi saya (manusia pergi):
seekor bangau melintas di langit petang
melintas menuju sarang
aku yang bergegas
ke mana musti pulang?
aku manusia pergi
menyimpan banyak lambaian
menahan ragam kenangan
puisi saya itu dibuat tahun 2007. saya memang tidak lagi memberi penanggalan pada puisi saya. dan puisi Manusia Pergi itu, saya publikasikan di blog saya http://langit-puisi.blogsp
apakah iyut membaca puisi saya? jika tidak, bisakah dua orang menulis puisi dengan beberapa larik yang sama tanpa membaca sebelumnya?
ataukah puisi itu, kiriman fadhila ramadhona ke pada iyut fitra. dan iyut menulis ulang dalam puisinya itu. sebab kalo dilihat secara utuh puisi iyut yang berjudul 'Pencari Yang kehilangan' sepertinya (menurut saya) adalah pengembangan dari sms kiriman atau puisi--di sana ada juga nama-nama: heru jp, dian hardiana, zelfeni wimra.
jika benar dugaan saya, bait puisi itu dikirim oleh fadhila ramadhona, dari manakah dia menemukan bait puisi yang dikirimnya kepada iyut? bisakah dua orang menulis puisi dengan beberapa larik yang sama tanpa membaca sebelumnya?
pembaca yang baik dan tidak baik. pemberitahuan ini saya kirimkan, apabila
pembaca yang baik dan tidak baik menemukan puisi saya (Manusia Pergi) dan bait puisi iyut (Pencari Yang Kehilangan), janganlah bingung. apalagi sampai saya dikira 'nyontek' bait puisi iyut itu.
sebab tak sudilah saya yang keren nih mencontek puisi orang dengan membabi-buta, tapi kalo terinspirasi atau melakukan intertekstual tentulah saya peranh jua melakukannya, hehe..
hehe...lagi deh
1 Maret 2009
Info Buku
rumahlebah - ruangpuisi adalah majalah puisi tiga bulanan yang diterbitkan oleh Komunitas Rumah Lebah Yogyakarta bekerjasama dengan Framepublishing. Pada edisi perdana ini, majelis redaksi yang terdiri dari Raudal Tanjung Banua, Nur Wahida Idris, Frans Nadjira, Umbu Landu Paranggi dan Faisal Kamandobat telah memilih sejumlah puisi , esai, resensi buku dan puisi terjemahan untuk dimuat di edisi perdana rumahlebah - ruangpuisi.
Sebagaimana kita ketahui, Komunitas Rumah Lebah yang menerbitkan rumahlebah - ruang puisi, selama ini dikenal begitu aktif dalam mendorong kemajuan kehidupan sastra di tanah air melalui penerbitan Akar Indonesia. Rumahlebah - ruangpuisi adalah salah satunya yang sudah lama mejadi cita - cita mereka. Walau hanya terbit tiga kali dalam setahun, majalah puisi ini dipastikan bakal menjadi buruan para penggemar sastra dan puisi Indonesia. Karena itu Anda pun harap bergegas ke toko buku terdekat untuk membeli majalah puisi ini sebelum stoknya habis.
Dalam edisi perdana ini dimuat sejumlah karya: Ahmad Nurullah, Riki Dhamparan putra, Badruddin Emce, Y. Thendra BP, Sindu Putra, Syaifuddin Gani, Saut Situmorang, IOA Suwanti Sideman, Bode Riswandi (Puisi); Arie MP Tamba, Terry Eagleton, I. Fahmi Panimbang (Esei); Walt Whitman (Puisi Terjemahan); Aslan A. Abidin (Perbincangan).
4 Februari 2009
1 Februari 2009
Solilokui
Belajar Menulis Tentang Pohon
kesibukan saya yang berkesan saat ini bagi saya adalah melihat pohon. setiap hari, tanpa jadwal pasti, saya melihat pohon. maklum di kampung saya masih ada pohon. saya cukup senang. tapi saya juga cukup sedih. sebab banyak sekali pohon yang dulu ada, kini tak lagi ada. misalnya pohon jarak di halaman rumah mama saya.
setiap kali teringat pohon jarak itu, saya teringat nenek saya. nenek saya itu sudah mati. dan saya jarang menyanyikan lagu burung kakak tua. tapi cerita nenek saya tentang pohon jarak, tetap hidup dalam ingatan saya. kisah nenek, sewaktu zaman penjajahan jepang dulu, nenek kalau mandi sabunnya pakek buah pohon jarak dan kakek tetap mencintai nenek.
setiap kali teringat pohon jarak itu, saya teringat waktu kecil, saya kena sakit campak. mama mengambil daun pohon jarak itu, merendamnya di air. lalu daun pohon jarak yang sudah basah itu di letakan mama di tubuh saya yang diamuk campak.
sekarang di kampung saya sudah tumbuh pohon baru. kalau di malam hari, pohon itu mengeluarkan cahaya, warnanya merah. batang pohon itu terbuat dari besi, tidak berdaun, tidak berakar. pohon besi itu paling tinggi di kampung saya. sebenarnya, saya tidak suka dengan pohon besi itu. burung-burung dan monyet juga tidak suka. itulah sebabnya tidak ada burung-burung dan monyet membuat sarang di sana. tapi kalau pohon besi itu tak ada, saya tidak bisa berbagi kabar dengan teman-teman saya yang jauh dalam tempo sesingkat-singkatnya. dan pulsa di telpon genggam saya akan membusuk.
eh, burung-burung tidak butuh pulsa. monyet juga tidak butuh pulsa. tapi mengapa orang jual pulsa pakek monyet?! ternyata kecantikan luna maya kurang mampu untuk menjual pulsa, jadi butuh bantuan monyet, hehe...
begitulah, kesibukan saya yang berkesan bagi saya: melihat pohon!
dan kesibukan yang paling berkesan bagi saya adalah menanam pohon. setiap kali saya menanam pohon, saya merasa hidup masih ada.
mong-ngomong, kamu sekarang sibuk apa?
31 Januari 2009
Poem
Menyeberang Ke Pulau Pisang
ketika pasang surut
aku menyeberang
di pertemuan dua ombak yang tenang
anak anak karang dalam air
menata jalan ke pulau kecil
pulau terpencil
aku tinggalkan kisahmu, malin
yang membatu
dan bersitegang dengan camar
di pantai pulau besar
ke pulau kecil
pulau terpencil
ke sana, ke sana aku menuju
lepaskan kisah baru
bagi umang-umang si pengusung sarang
yang tak mengenal kata pulang
ketika pasang surut
aku menyeberang
di pertemuan dua ombak yang tenang
anak anak karang dalam air
menata jalan ke pulau kecil
pulau terpencil
aku tinggalkan kisahmu, malin
yang membatu
dan bersitegang dengan camar
di pantai pulau besar
ke pulau kecil
pulau terpencil
ke sana, ke sana aku menuju
lepaskan kisah baru
bagi umang-umang si pengusung sarang
yang tak mengenal kata pulang
Langganan:
Postingan (Atom)