(Janin Cerita)
"Kali ini, saya pesan kopi dengan cangkir yang pernah mencium bibir perempuan itu.”
Pelayan itu menekan pena agak kuat di atas buku pesanan.
“Maksud tuan?!”
“Kopi dengan cangkir yang pernah mencium bibir seorang perempuan.”
“Hehe..Tuan ini suka bercanda. Semua cangkir di kafe ini ada bekas bibirnya. Tapi itu sudah dicuci bersih. Kami menjaga kebersihan tentunya.”
“Ah…bagaimana saya menceritakannya?” ucapnya pelan. Lalu ia menatap meja di pojok dekat pintu masuk.
Meja yang kini kosong itu membawa ingatannya pada suatu sore.
....
itulah bagian dari prosa yang sedang saya kerjakan. saya tidak tahu kapan akan selesai.
jika saya mati sebelum prosa itu selesai, sudikah anda melanjutkannya?
jika anda mati sebelum prosa itu selesai, rugikah anda?
jika prosa itu selesai dan kita masih hidup, saya akan menangis sepuas-puasnya!
barangkali ini bisa jadi info bagi teman-teman yang sering bertanya, "sibuk apa?"
yeah, itulah salah satu kesibukan saya. jadi janganlah menatap saya dengan sorot mata yang 'asing' itu, cintaku.
sungguh! saya sedang bekerja. bekerja dengan cara saya.
tapi kenapa masih "ada" yang menganggap saya tidak punya pekerjaan?
apa itu kerja, Tuan?
Tuhan!
27 Juni 2008
24 Juni 2008
23 Juni 2008
solilokui
Tanah Lahir
O, bangkinang dan
kelok 9; hujan dan malam
turun pelan2…
Pengirim:
Raudal TB
Dikirim:
21:40:51
21/06/2008
SMS itu menyintakan saya. Membawa ingatan saya pada tanah lahir yang selalu saya tulis dalam biodata. Tanah lahir yang hanya sempat saya diami hingga berusia enam bulan—menurut cerita mama—sebab papa musti pindah tugas dari Yonif 132 Bima Sakti
Bangkinang ke Yonif 133 Yudha Sakti di Padang Panjang.
Kepindahan yang tergesa-gesa. Kepindahan yang membuat saya tidak memiliki memori intim dengannya.
Bangkinang--yeah tanah lahir--sesuatu yang asing karena melulu saya kunjungi lewat cerita dan biodata, pun hingga saya menulis ini.
Cuma sekali saya pernah melintasinya pada dinihari ketika hendak menuju Pekanbaru dari Padang Sibusuak, dengan bis. Waktu itu, saya tidak ingin tidur, saya ingin melihat tanah lahir saya meski lewat jendela bis saja.
Maka selepas Kelok Sembilan, saya mulai gelisah dan bertanya pada gadis yang duduk di samping saya, “Masih jauhkah Bangkinang?” Saya bertanya pada gadis satu kampung yang bekerja di Batam, yang setiap dari atau ke Padang Sibusuak lewat Bangkinang. Saya pikir, ia tahu kapan Bis yang kami tumpangi memasuki jalan yang melintasi Bangkinang.
Saya tidak akan menceritakan lebih banyak lagi, bagaimana perasaan saya ketika melewati ‘tanah lahir’ dengan bis itu pada dinihari yang turun dari langit desember 2004 itu. Biarlah hanya saya seorang yang tahu. Saya seorang. Dan semoga baik-baik saja.
Saya hanya ingin membalas SMS Raudal itu, yang pada saat itu ia sedang melintasi ‘tanah lahir’ saya (ia dalam perjalanan dari Pekanbaru menuju Padang).
Beginilah balasan SMS saya esok malamnya pada dia, yang saya tulis ulang di sini:
Bangkinang
pernah sekali,
angin dinihari
menyusup lewat jendela bis
yang tak terkunci;
menegur aku,
menoleh pada tanah kelahiran itu.
tapi tak kutahu
di bawah pohon apa ibu
menanam ari-ariku.
dan bis terus laju.
O, bangkinang dan
kelok 9; hujan dan malam
turun pelan2…
Pengirim:
Raudal TB
Dikirim:
21:40:51
21/06/2008
SMS itu menyintakan saya. Membawa ingatan saya pada tanah lahir yang selalu saya tulis dalam biodata. Tanah lahir yang hanya sempat saya diami hingga berusia enam bulan—menurut cerita mama—sebab papa musti pindah tugas dari Yonif 132 Bima Sakti
Bangkinang ke Yonif 133 Yudha Sakti di Padang Panjang.
Kepindahan yang tergesa-gesa. Kepindahan yang membuat saya tidak memiliki memori intim dengannya.
Bangkinang--yeah tanah lahir--sesuatu yang asing karena melulu saya kunjungi lewat cerita dan biodata, pun hingga saya menulis ini.
Cuma sekali saya pernah melintasinya pada dinihari ketika hendak menuju Pekanbaru dari Padang Sibusuak, dengan bis. Waktu itu, saya tidak ingin tidur, saya ingin melihat tanah lahir saya meski lewat jendela bis saja.
Maka selepas Kelok Sembilan, saya mulai gelisah dan bertanya pada gadis yang duduk di samping saya, “Masih jauhkah Bangkinang?” Saya bertanya pada gadis satu kampung yang bekerja di Batam, yang setiap dari atau ke Padang Sibusuak lewat Bangkinang. Saya pikir, ia tahu kapan Bis yang kami tumpangi memasuki jalan yang melintasi Bangkinang.
Saya tidak akan menceritakan lebih banyak lagi, bagaimana perasaan saya ketika melewati ‘tanah lahir’ dengan bis itu pada dinihari yang turun dari langit desember 2004 itu. Biarlah hanya saya seorang yang tahu. Saya seorang. Dan semoga baik-baik saja.
Saya hanya ingin membalas SMS Raudal itu, yang pada saat itu ia sedang melintasi ‘tanah lahir’ saya (ia dalam perjalanan dari Pekanbaru menuju Padang).
Beginilah balasan SMS saya esok malamnya pada dia, yang saya tulis ulang di sini:
Bangkinang
pernah sekali,
angin dinihari
menyusup lewat jendela bis
yang tak terkunci;
menegur aku,
menoleh pada tanah kelahiran itu.
tapi tak kutahu
di bawah pohon apa ibu
menanam ari-ariku.
dan bis terus laju.
10 Juni 2008
refrensi
"penemuan" sebuah sajak cinta Chairil yang hilang oleh seorang Belanda, seperti yang dilaporkan oleh Burton Raffel dalam jurnal Indonesia Circle, No.66, tahun 1995.
Sajak yang berjudul "Berpisah dengan Mirat" itu dikatakan telah diambil oleh seorang bernama Wil van Yperen dari sebuah majalah berbahasa Indonesia yang "kalau nggak salah Gelanggang Pemuda, Jan. 47":
Berpisah Dengan Mirat
(Chairil Anwar)
Matahari tiba2 sudah tinggi, kami 5 x djalan lebih lekas dari
pada biasa. Djam yang menatap kami menggigil seperti
kena malaria rupanja Tiba disetasion ketjil ada lagi 2 a 3
djam untuk berhadapan
Kopi pait dan pendjual tua jang hormat ketawa sadja djadi
alasan untuk bitjara ketika kereta api bawa
aku madju bergerak, kulihat mukamu
terpaling Dan kau hilang..maka mulailah mesin dalam otakku
Mengeri meluar garis, terasa rasa hendak petjah
Penumpang2 lain djuga ikut dimakan njaladan kering oleh hawa sebaran diriku..kudengar setan datang
Sehabis itulah berdentam dari mulutku Godverd. buat ganti dosa.
Dengan membandingkan sajak di atas dengan sajak Chairil "Dalam Kereta", Burton Raffel mengambil kesimpulan bahwa sajak "Berpisah dengan Mirat" adalah memang benar karya Chairil karena "banyak irama tipikal Chairil ada pada sajak tersebut, dan juga imaji-imaji khasnya".
Persamaan irama dan imaji pada kedua sajak memang mendukung kesimpulan Burton Raffel tersebut, apalagi kalau kita perhatikan tahun edisi majalah dari mana sajak "Berpisah dengan Mirat" itu dicopy-ulang merupakan masa Chairil produktif menulis puisi.
1 Juni 2008
Perjalanan
dari atas kiri: iman romansyah, dwi rahariyoso, ashadi, imam s arizal, pinto anugerah, indrian koto, anda s, joko gesang santoso, yono, bernando J. sujibto, romi zarman, gw (hehehe), chairan hafzan yurma. (fotografer faiz).
pagi yang ceria di pelataran rumah (kontrakan) anak-anak kandang padati, padang, 3 mei 2008 (setelah acara temu penyair lima kota payakumbuh 27-29 april 2008), sebelum waktu dan jarak mengembalikan kami pada kesunyian masing-masing.
ingatlah sebisamu segala yang baik dan utangmu yang belum juga kau bayar, hehe..
nb: ira puspitaningsih, mutia sukma, esha tegar putra, edo birama putra, m fadli, ucok siregar, wawan, tak ada waktu dikodak, jadi bayangkan sajalah wajahnya :)
pagi yang ceria di pelataran rumah (kontrakan) anak-anak kandang padati, padang, 3 mei 2008 (setelah acara temu penyair lima kota payakumbuh 27-29 april 2008), sebelum waktu dan jarak mengembalikan kami pada kesunyian masing-masing.
ingatlah sebisamu segala yang baik dan utangmu yang belum juga kau bayar, hehe..
nb: ira puspitaningsih, mutia sukma, esha tegar putra, edo birama putra, m fadli, ucok siregar, wawan, tak ada waktu dikodak, jadi bayangkan sajalah wajahnya :)
Langganan:
Postingan (Atom)