23 Juni 2008

solilokui

Tanah Lahir
O, bangkinang dan
kelok 9; hujan dan malam
turun pelan2…

Pengirim:
Raudal TB
Dikirim:
21:40:51
21/06/2008

SMS itu menyintakan saya. Membawa ingatan saya pada tanah lahir yang selalu saya tulis dalam biodata. Tanah lahir yang hanya sempat saya diami hingga berusia enam bulan—menurut cerita mama—sebab papa musti pindah tugas dari Yonif 132 Bima Sakti
Bangkinang ke Yonif 133 Yudha Sakti di Padang Panjang.

Kepindahan yang tergesa-gesa. Kepindahan yang membuat saya tidak memiliki memori intim dengannya.

Bangkinang--yeah tanah lahir--sesuatu yang asing karena melulu saya kunjungi lewat cerita dan biodata, pun hingga saya menulis ini.

Cuma sekali saya pernah melintasinya pada dinihari ketika hendak menuju Pekanbaru dari Padang Sibusuak, dengan bis. Waktu itu, saya tidak ingin tidur, saya ingin melihat tanah lahir saya meski lewat jendela bis saja.

Maka selepas Kelok Sembilan, saya mulai gelisah dan bertanya pada gadis yang duduk di samping saya, “Masih jauhkah Bangkinang?” Saya bertanya pada gadis satu kampung yang bekerja di Batam, yang setiap dari atau ke Padang Sibusuak lewat Bangkinang. Saya pikir, ia tahu kapan Bis yang kami tumpangi memasuki jalan yang melintasi Bangkinang.

Saya tidak akan menceritakan lebih banyak lagi, bagaimana perasaan saya ketika melewati ‘tanah lahir’ dengan bis itu pada dinihari yang turun dari langit desember 2004 itu. Biarlah hanya saya seorang yang tahu. Saya seorang. Dan semoga baik-baik saja.

Saya hanya ingin membalas SMS Raudal itu, yang pada saat itu ia sedang melintasi ‘tanah lahir’ saya (ia dalam perjalanan dari Pekanbaru menuju Padang). 


Beginilah balasan SMS saya esok malamnya pada dia, yang saya tulis ulang di sini:


Bangkinang

pernah sekali,
angin dinihari
menyusup lewat jendela bis
yang tak terkunci;
menegur aku,
menoleh pada tanah kelahiran itu.
tapi tak kutahu
di bawah pohon apa ibu
menanam ari-ariku.
dan bis terus laju.

Tidak ada komentar: