Lempuyangan, November 2008
semua akan berlalu, yang tersisa cuma kenangan
tapi apa itu kenangan?
getar tangan dalam tangan
getar mata dalam mata
jadi sepi yang bergaung
di stasiun tua ini
dan kereta rongsokan
yang akan membawaku pergi
jam berdentang
malam tinggal bayang
kota tak punya perasaan
bagi perpisahan
biarlah ciumanku di keningmu penghabisan
mengerti bagi air mata yang kita tahan
sebagai kekasih, memang, kita usai sudah
tapi cinta tetap ada
untuk apa
dan siapa saja
31 Januari 2010
29 Januari 2010
puisi
Lunto Kloof, Cinta Pertama Yang Gagal Kuselamatkan
lalu ia menunjuk stasiun tua yang mati itu, keberangkatan
dan kepulangan yang tak lagi ada, dan sadar, kami pernah lugu
berciuman di sudut sekolah itu. laila, lesung pipitmu yang bertahan, senja
mengembalikan ingatan kita pada cinta yang remaja, pada bagaimana
gugupnya aku menyentuh jemarimu pertama kali, di bangku taman gluck auf
yang kini tak ada. seperti orang rantai di kota ini, akhirnya semua pergi
menyisakan masa lampau yang hanya bisa dijangkau lewat memori. tetapi
di lembah ini, tubuhmu jadi lubang lubang tambang bekas yang ditinggalkan,
juga cinta pertama yang gagal kuselamatkan.
aku pandangi menara asap itu. ketika aku sentuh,
sungai mengalir dari bahunya. waktu telah mengubah
bibir kita jadi milik yang lain. milik yang lain, laila.
aku kalungkan cindera mata di lehernya, syal pacar
dari jogja. matamu gemetar, tanganku bergetar.
lunto kloof, lunto kloof, maafkan aku, laila.
ciuman pertama itu masih membekas
mustahil terhapus lekas
lalu ia menunjuk stasiun tua yang mati itu, keberangkatan
dan kepulangan yang tak lagi ada, dan sadar, kami pernah lugu
berciuman di sudut sekolah itu. laila, lesung pipitmu yang bertahan, senja
mengembalikan ingatan kita pada cinta yang remaja, pada bagaimana
gugupnya aku menyentuh jemarimu pertama kali, di bangku taman gluck auf
yang kini tak ada. seperti orang rantai di kota ini, akhirnya semua pergi
menyisakan masa lampau yang hanya bisa dijangkau lewat memori. tetapi
di lembah ini, tubuhmu jadi lubang lubang tambang bekas yang ditinggalkan,
juga cinta pertama yang gagal kuselamatkan.
aku pandangi menara asap itu. ketika aku sentuh,
sungai mengalir dari bahunya. waktu telah mengubah
bibir kita jadi milik yang lain. milik yang lain, laila.
aku kalungkan cindera mata di lehernya, syal pacar
dari jogja. matamu gemetar, tanganku bergetar.
lunto kloof, lunto kloof, maafkan aku, laila.
ciuman pertama itu masih membekas
mustahil terhapus lekas
14 Januari 2010
cerpen
Kematian Yang Sangat Menyedihkan
setiap kali duduk di depan komputer kantor, saya suka menatap sejenak pada senyum gadis dalam poster di dinding, yang jaraknya tiga meter dari saya duduk. saya selalu memastikan, apakah senyum gadis dalam poster itu telah berubah? hemm...ternyata senyum gadis dalam poster itu masih seperti dulu, seperti pertama kali saya menatapnya.
senyum gadis itu dalam poster itu sering membantu saya menulis kalimat pertama berita, setelah saya menatapnya barang sejenak. inilah yang membuat ia menjadi cukup penting bagi saya.
saya tidak tahu dan juga tidak ingin bertanya siapa nama gadis yang tersenyum dalam poster itu. biarlah ia menjadi rahasia, seperti senyumnya itu. yang jelas, gadis dalam poster itu sudah ada sebelum saya bekerja sebagai 'pemulung berita' di surat kabar sebuah kota tua. karena gadis itu pernah menjadi model iklan sabun mandi di surat kabar tempat saya bekerja. begitulah.
suatu malam, saya harus menulis berita tentang kematian, sendiri di kantor. semua bahan sudah ada, berserakan di atas meja. tapi saya tidak bisa memulai kalimat pertama. sebab, kematian itu sangat menyedihkan. jauh lebih sedih dari kematian apa pun yang pernah saya jumpa.
bagaimana saya akan menceritakan tentang kematian yang sangat menyedihkan itu, sedang saya belum bisa menulis kalimat pertama? saya takut menulisnya asal-asalan. saya takut kalau kematian itu tak lagi menyedihkan. seperti kematian manusia pada tahun 1966. ah...
saya telah berulang-ulang menatap senyum gadis dalam poster itu, tapi belum juga bisa membantu sebagaimana biasanya.
saya pejamkan mata. saya membatin: "baiklah, ini terakhir kali saya menatap senyum gadis dalam poster itu. jika ia tak bisa membantu saya menulis kalimat pertama tentang kematian yang sangat menyedihkan itu, saya akan melupakannya. ia akan menjadi sesuatu yang biasa."
kemudian saya membuka mata, dan menatap senyum gadis dalam poster itu. senyum gadis dalam poster itu tampak makin manis, makin mistis. pelahan-lahan, saya merasakan tubuh saya melayang, naik dari kursi. saya terus melayang, melewati meja komputer. melayang menuju dinding, mendekat ke arah gadis dalam poster itu.
dan senyum gadis dalam poster itu mulai menyedot kepala saya. badan saya. kemaluan saya. paha saya. kaki saya. hingga lenyaplah saya ke dalam senyum gadis dalam poster, yang manis, yang mistis itu.
saya seperti terdampar di pulau kecil, pulau terpencil, yang hilang dalam peta. saya mencari jalan keluar, seperti mencari kalimat pertama untuk berita tentang kematian yang sangat menyedihkan itu, yang ingin saya bagikan kepada anda.
Yogyakarta, 2010
setiap kali duduk di depan komputer kantor, saya suka menatap sejenak pada senyum gadis dalam poster di dinding, yang jaraknya tiga meter dari saya duduk. saya selalu memastikan, apakah senyum gadis dalam poster itu telah berubah? hemm...ternyata senyum gadis dalam poster itu masih seperti dulu, seperti pertama kali saya menatapnya.
senyum gadis itu dalam poster itu sering membantu saya menulis kalimat pertama berita, setelah saya menatapnya barang sejenak. inilah yang membuat ia menjadi cukup penting bagi saya.
saya tidak tahu dan juga tidak ingin bertanya siapa nama gadis yang tersenyum dalam poster itu. biarlah ia menjadi rahasia, seperti senyumnya itu. yang jelas, gadis dalam poster itu sudah ada sebelum saya bekerja sebagai 'pemulung berita' di surat kabar sebuah kota tua. karena gadis itu pernah menjadi model iklan sabun mandi di surat kabar tempat saya bekerja. begitulah.
suatu malam, saya harus menulis berita tentang kematian, sendiri di kantor. semua bahan sudah ada, berserakan di atas meja. tapi saya tidak bisa memulai kalimat pertama. sebab, kematian itu sangat menyedihkan. jauh lebih sedih dari kematian apa pun yang pernah saya jumpa.
bagaimana saya akan menceritakan tentang kematian yang sangat menyedihkan itu, sedang saya belum bisa menulis kalimat pertama? saya takut menulisnya asal-asalan. saya takut kalau kematian itu tak lagi menyedihkan. seperti kematian manusia pada tahun 1966. ah...
saya telah berulang-ulang menatap senyum gadis dalam poster itu, tapi belum juga bisa membantu sebagaimana biasanya.
saya pejamkan mata. saya membatin: "baiklah, ini terakhir kali saya menatap senyum gadis dalam poster itu. jika ia tak bisa membantu saya menulis kalimat pertama tentang kematian yang sangat menyedihkan itu, saya akan melupakannya. ia akan menjadi sesuatu yang biasa."
kemudian saya membuka mata, dan menatap senyum gadis dalam poster itu. senyum gadis dalam poster itu tampak makin manis, makin mistis. pelahan-lahan, saya merasakan tubuh saya melayang, naik dari kursi. saya terus melayang, melewati meja komputer. melayang menuju dinding, mendekat ke arah gadis dalam poster itu.
dan senyum gadis dalam poster itu mulai menyedot kepala saya. badan saya. kemaluan saya. paha saya. kaki saya. hingga lenyaplah saya ke dalam senyum gadis dalam poster, yang manis, yang mistis itu.
saya seperti terdampar di pulau kecil, pulau terpencil, yang hilang dalam peta. saya mencari jalan keluar, seperti mencari kalimat pertama untuk berita tentang kematian yang sangat menyedihkan itu, yang ingin saya bagikan kepada anda.
Yogyakarta, 2010
Langganan:
Postingan (Atom)