(bukan dunia luar pagar)”
Tiga tukang kaba di atas tiga level, tampak seperti tungku. Di tengahnya, para penari dengan rebana kecil memainkan tari Indang, serupa api yang sedang menyala. Ditingkahi dendang dan alat musik Minangkabau (Saluang, Bansi, Rabab, dan Talempong yang silih berganti). Tiga tukang kaba itu melantunkan kisah, sahut menyahut.
Kemudian tukang kaba dan penari berbaur menjadi tiga kelompok. Memainkan bentuk grouping, mereka saling berbantah, laiknya suara urang banyak. Satu kelompok (protagonis) memihak kisah “Siti Baheram”, Satu kelompok menolak (antagonis), satu kelompok lainnya (tetagonis) menengahi. Tiga kelompok itu adalah visualisasi tigo jerong yang merupakan istilah dalam tari Indang, juga mengacu pada filosofi Jerong Nan Tigo (alim ulama, ninik mamak, cerdik pandai). Sebelum selisih faham makin tajam, kelompok penengah mengajak untuk sebaiknya menyimak kisah. Akhirnya ‘kebenaran kisah’ dari Siti Baheram dikembalikan kepada penerima kaba (penonton).
Begitulah, awalan dari pementasan teater “Siti Baheram (Bukan Dunia Luar Pagar)”. Naskah lakon yang berangkat dari kaba (seni tradisi bertutur di Minang), yang ditafsir ulang oleh Raudal Tanjung Banua (penulis naskah) dan disutradarai oleh Efyuhardi S.Sn untuk ujian akhir penyutradaraan pasca sarjana ISI Surakarta. Di mata saya, awalan (Introduction) tersebut serupa tungku yang sedang memasak sebuah pertunjukan di panggung GedungTeater ISI Surakarta pada Jum’at, 29 Agustus 2008. pukul 20.00 wib.
Awalan yang rancak! Bagaimana tidak, bentuk seni tradisi bakaba yang selama ini berdiri sendiri dan terpisah, Rebab, Dendang, Saluang, dan Tari Indang, malam itu ditafsir ulang, disatukan dan dikolaborasikan dalam satu pertunjukan teater kolosal. Ada sesuatu yang ‘baru’ tanpa kehilangan yang ‘lama’. Efyuhardi S.Sn dan tim pertunjukan berhasil memahami konsep hukum ikat ‘sentak lepas’ Minang: adat dan tradisi (seni) bukan bersifat stagnan. Adat dan tradisi (seni) adalah buatan manusia yang bisa dikembangkan atau digubah sesuai zaman. Yang tak mungkin untuk digubah dan dibantah, itu bersifat hukum ikat mati—misalnya gempa bumi!
Selepas para tukang kaba memainkan perannya (exit stage), muncullah Buyung Juki (Rusmedi Agus) bersama sahabatnya, Buyung Gambuik (Toni Sri Rejeki). Mereka bersiasat, sebab sudah lama Buyung Juki memendam cinta pada Siti Baheram (Mariya Yulita Sari). Tetapi Ini bukan perkara mudah!
Siti Baheram adalah perempuan dan domain kekuasaan yang merupakan idealisasi perempuan Minang, dihadirkan sebagai wanita berbudi dan penuh pengabdian, rancak dan berharta, telah memiliki suami, yaitu Ajo Sidi (Tafsir Huda). Tetapi kehidupan rumah tangga Siti Baheram tidak bahagia. Ajo Sidi bukan suami yang bisa dijadikan seperti beringin di tengah kampung: akar tempat bergayut, batang tempat bersandar, daun tempat berteduh. Ajo Sidi adalah suami pelekat tangan (suka memukul), kerjanya cuma menguras harta Siti Baheram untuk memenuhi kegemarannya berjudi, mabuk-mabukan, dan bergendak dengan perempuan lain. Siksaan dari suami yang diterima Siti Baheram ditambah pula sikap keras mamaknya, Angku Kapalo (Edy Suisno), lengkaplah sansai Siti Baheram sebagai sosok korban egoisme patriarki.
Konflik dan siksaan yang diterima oleh Siti Baheram itu diketahui Buyung Juki. Lalu ia manfaatkan untuk memasukan cintanya. Gayung bersambut. Dalam kondisi jiwa yang rapuh, Siti Baheram menerima cinta Buyung Juki—meski dia tahu Buyung adalah sampah masyarakat, semaunya dan culas, tetapi sikap satria Buyung Juki meluluhkan hati Siti Baheram. Bersemilah cinta mereka (selingkuh?) dikitari persoalan-persoalan sosial yang terjadi. Hingga pada suatu malam, di jalan pulang yang kelam, dalam kondisi mabuk dan kalah judi, Buyung Juki melihat ada bayangan yang mengintainya, yang dia kira adalah penyamun. Maka disuruhnya Buyung Gambuik untuk menemui penyamun itu: “kalau dalam sepuluh tarikan nafas tak bisa kau selesaikan, aku yang akan turun tangan,” ucapnya pada sahabatnya itu.
Lebih dari sepuluh tarikan nafas, Buyung Gambuik tak muncul kembali di hadapannya. Ia cemas kalau telah terjadi sesuatu dengan sahabatnya. Bergegas ia menemui sosok yang dia kira penyamun itu. Tanpa pikir panjang, digoroknya leher sosok tersebut dengan parang. Buyung Gambuik yang berada di antara peristiwa itu, hanya bisa terperangah. Apa lacur, ternyata sosok itu adalah Siti Baheram.
Siti Baheram mati di tangan orang yang dicintainya. Buyung Juki membunuh orang yang dicintainya. Kematian yang tragis! Kematian yang amat disesali oleh Buyung Juki dan diratapi Buyung Gambuik. Kematian yang menghantarkan nyawa Buyung Juki ke tiang gantungan.
Sementara persoalan-persoalan sosial yang terjadi selama pertunjukan berdurasi satu setengah jam itu, tidak hadir sebagai bumbu dari kisah cinta Siti Baheram dan Buyung Juki. Namun menjadi bagian yang menghidupkan inti kisah.
Mengambil latar masa kolonial Belanda, penonton dapat melihat kekuasaan lebih ‘berbicara’ dibandingkan kebenaran. Di mana kaum kecil diposisikan sebagai kaum yang harus mengikuti kemauan penguasa. Misalnya dalam adegan perampasan makanan perempuan istri tukang beruk (Sandityas) dan anaknya (Nanik Indarti) oleh para petugas pajak (Ilham Setyawan, Husni wardana Hole, Ofy Nurhansyah). Meski istri tukang beruk berusaha melawan, apa daya, hukum rimba jua yang berlaku. Istri tukang beruk itu mati ditembak senapang petugas!
Begitu pula pada adegan di arena perjudian dadu. Bandar Judi (RA Yopie) yang seharusnya memiliki hak mengatur permainan, bisa diatur oleh petaruh (anak buah Ajo Sidi dan Buyung Juki). Kekuatan otot berbicara. Tetapi Bandar Judi yang mengedepankan kelicinan otak itu, bisa kembali mengambil alih permainan. Ia menangguk di air keruh, memanfaatkan pertikaian antara Ajo Sidi dan Buyung Juki.
Namun pertaruhan otak dan otot, peruntungan baik dan buruk di meja judi itu, akhirnya berkesudahan di tangan petugas. Atas nama hukum, Kepala Petugas (Roci Marciano) membubarkan perjudian itu dan merampas uang para penjudi dengan cara ‘terhormat’ala aparat.
Lagi-lagi kekuasan berbicara. Dan kekuasan yang berbicara itu makin terlihat pada adegan terakhir. Buyung Juki yang semestinya melewati proses pengadilan untuk menerima hukuman atas pembunuhan yang dilakukannya terhadap Siti Baheram, sesuai permintaan Angku Kapolo, harus dihukum gantung seketika. Tak ada pengadilan! Dan Kepala Petugas tak bisa membantah.
Begitulah. Persoalan-persoalan sosial yang ada dalam konflik cinta Siti Baheram, memberikan celah pada lahirnya pertanyaan baru: mungkinkah masih ada kejujuran yang membuat orang tidak merasa menjadi pahlawan bagi kelangsungan hari esok yang menjanjikan? Karena sesungguhnya tak ada kejahatan dalam hidup, yang ada adalah manusia tak jujur dan mementingkan diri sendiri. Di sinilah terbukti bahwa ‘kasus’ Siti Baheram bukan dunia luar pagar, sebab memiliki keterkaitan dengan banyak hal.
Menggali Tradisi, Meminang Nan Kini
Transformasi teks dari kaba ke dalam bentuk naskah lakon (panggung) oleh Raudal Tanjung Banua ini, memiliki struktur yang kuat, mengacu pada pengungkapan yang berimbang dan realistik. Dari segi penokohan, tak ada tokoh yang diposisikan sebagai hero dan Deus Ex Machina. Semua tokoh memiliki persoalan dan deritanya masing-masing. Begitu pula dengan ruang dan waktu, penonton tidak diajak untuk berada di tempat ‘antah barantah’ atau negeri imajiner, melainkan mengambil latar waktu masa lampau untuk berbicara tentang persoalan sekarang.
Memakai tata panggung minimalis-simbolik (Mata Emprit), ruang dan waktu dihidupkan lewat akting pemain dari adegan ke adegan. Hampir sebagian besar aktor dan aktris berperan dengan matang. Aktor dan aktris menjadi lewat pendekatan psikologis tokoh dan tidak terjebak dengan permainan tubuh yang akrobatik untuk mengejar kebanalan. Dengan kata lain, emosi tokoh yang diperankan aktor yang mencipta gerak. Sehingga kewajaran akting—yang biasa dipakai dalam permainan realis—hadir dengan baik. Hal ini terlihat dari bisnis akting tokoh Buyung Juki (Rusmedi Agus), Angku Kapalo (Edysuisno), Buyung Gambuik (Toni Sri Rejeki), Anak Buah Ajo Sidi (Jamal Abdul Naser) dan Anak tukang Beruk (Nanik Indarti).
Selama pertunjukan—terlepas dari awalan tukang kaba—seni tradisi yang hadir bukan hanya musik, kostum, dan tutur. Tetapi yang terlihat kuat pada pertunjukan malam itu adalah hadirnya permainan silek (silat) Minang, baik itu aliran silek langkah tigo maupun langkah ampek. Penguasaan langkah ampek silek Starlak terlihat dalam adegan perkelahian antara Buyung Juki (Rusmedi Agus) dengan Anak Buah Ajo Sidi. Buyung Juki (Rusmedi Agus) mampu memperagakan dengan baik pamenan silek Starlak itu.
Menghadirkan silek sebagai salah satu kebutuhan adegan dan akting aktor, merupakan pilihan yang tepat. Bagaimanapun, seni pertunjukan tradisi Minang banyak berakar dari Silek. Sebutlah misalnya Randai.
Boleh dibilang, pertunjukan teater Siti Baheram yang disutradarai Efyuhardi S.sn berhasil menggali seni tradisi; menafsir ulang, kemudian dihadirkan kembali ke dalam dramaturg teater moderen. Sehingga ‘kekinian’ terasa adanya. Kekinian yang bersumber dari yang lama. Seni tradisi yang juga hasil kreasi manusia itu, sekali lagi, sebagaimana hukum ikat sentak lepas, maka bisa digubah. Yang ada adalah penyesuaian dengan zaman. Dan kita tak perlu cemas kehilangan. Kecuali jika seni tradisi masih dipahami sebagai hukum ikat mati, seperti gempa bumi!