Manusia Utama: Puisi, Politik dan Sajak Cinta
Oleh Edy Firmansyah (Penyair cum Jurnalis)
Ketika memesan buku “Manusia Utama” karya Y. Thendra BP, sebuah buku kumpulan puisi yang dihimpun penulisnya mulai dari tahun 2006 sampai dengan 2011 saya membayangkan sebuah buku puisi gemuk, tebal yang berisi ratusan puisi. Namun ketika buku puisi tersebut sampai di tangan, ternyata saya keliru besar. Buku “Manusia Utama” itu hanya memuat kurang lebih 51 puisi saja.
Barangkali Thendra termasuk penyair yang mengutamakan kualitas sebuah karya daripada sekedar menyelam dalam kuantitas. Dalam artian, Thendra tak lagi risau dengan pertanyaan banyak penyair ‘senior’ yang selalu ribut soal kuantitas ketika muncul penyair baru yang masih muda belia: “sudah berapa banyak puisi yang kau tulis?” “Sudah berapa banyak puisimu yang dimuat di Koran nasional?” Sebaliknya dengan buku puisi tipis itu ia hendak menampik semua pertanyaan itu bahwa seorang penyair yang berhasil tidak ditentukan oleh seberapa banyak puisi dibuat dan diorbitkan, melainkan seberapa dalam puisi dibuat, dibongkar, digali, dirombak, direvisi untuk mampu menyentuh sisi terdalam kemanusiaan. Bukankah dengan menulis sekitar 70-an puisi Chairil Anwar mampu memberi warna baru pada khasanah sastra Indonesia? Itulah mengapa Thendra menulis dalam salah satu sajak pendeknya berjudul April, Haiku, Chairil (yang pernah saya dengar menjadi kredo-nya): aku melangkah/di jalan sajak—/bukan buat ke pesta.
Tentu saja bukan perkara gampang untuk memilih dan memilih kata ketika disusun menjadi puisi agar bisa menciptakan sebuah puisi yang menyentuh kemanusiaan. Karena bukan satu hal yang mudah seringkali tak sedikit penyair tersesat ketika membuat puisi. Alih-alih membuat puisi yang menyentuh, misalnya mengungkap kepedihan perempuan di pelacuran, tetapi kata yang dipilih kata-kata berat dan kadang kata yang tak lazim digunakan sehari-hari yang sengaja ia pungut dari dalam kamus besar bahasa Indonesia hanya untuk menunjukkan keunikan sajaknya. Akibatnya upaya penulis puisi yang hendak mengungkapkan kepedihan pelacur tak sampai pada pembaca. Malah yang terjadi justru pembaca tak bisa memahaminya.
Menurut Putu Oka Sukanta, salah satu penyair lekra terkemuka itu, puisi sebagai sebuah kumpulan kata, harus mampu mengorganisasi dirinya agar makna setiap kata dapat mengungkapkan/ mempresentasikan dirinya untuk dipahami oleh pembaca dan kemanusiaan. Bahkan walaupun puisi otobiografis sekalipun. Artinya, meski puisi merupakan hasil kreasi individu yang berdasarkan sudut pandang subyektif, puisi seharusnya bisa mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab penyair dan pembaca adalah manusia, yang terjaring saling menghidupi dengan manusia lainnya dalam berbagai kondisi sosial-ekonomi-politik yang melingkupinya dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan lain kata, pengalaman penyair adalah pengalaman pembaca juga.
Tentu saja untuk mencapai itu semua diperlukan kerja terus-menerus belajar terus menerus tanpa pamrih. Saya sendiri tak tahu bagaimana proses kreatif Thendra untuk mencipta puisi dalam Manusia Utama dan juga karya-karya yang lain. Tapi melalui puisi-puisi di dalam bukunya ini terasa sekali bagaimana Thendra berjibaku dengan kata-kata, dengan pemilihan diksi yang sederhana, memadukan dengan kepribadian penulisnya, bacaan-bacaan yang pernah ia konsumsi juga idelogi dirinya untuk mencipta dan membentuk sajak-sajaknya. Hasilnya adalah bukan hanya sajak-sajak yang berirama aliran keindahan yang menggetarkan, tetapi juga mampu mencipta arus tragis, ironi, dan kegetiran yang dalam. Salah satu contoh sajak Thendra yang cukup berhasil menerbarkan ironi menurut saya adalah sajak berjudul Repromosi sebuah kota:
Siang di kotaku ramah sekali/pohon pohon tumbuh melindungi rumah/kau bisa berjalan di bawah cahaya matahari/yang disaring daun-daun/mendengar kicau burung/angin lembut menyentuh//siang di kotaku ramah sekali/tak ada kemacetan/orang orang tahu aturan/karena pemimpin bijak/rakyat taat pajak//datanglah ke kotaku/kau akan menemukan omong kosong yang indah ini/lebih banyak lagi//
Dikemas dengan semangat humor dan kesannya main-main sebagaimana puisi-puisi mbeling yang sempat booming di era tahun 80-an itu. Tapi lewat puisi itu kita diajak untuk menyaksikan kebusukan sebuah rejim yang korup dan bebal. Dan rejim tersebut justru dibangun dan ‘dibesarkan’ dengan segala pencitraan dan opini-opini yang keluar dari mulut aparat dan pejabatnya penuh dengan kemunafikan. Artinya meski tak langsung sajak ini dengan selera humornya menyeret pembacanya pada pembacaan politik sebuah negara bernama Indonesia.
Tidak dalam sajak itu saja sebuah diksi yang secara tegas mengolok-olok rejim kekuasaan yang kini sedang berdiri ini—yang barangkali oleh kebanyakan penyair justru dihindari—digunakan. Dalam sajak Merak-Bakauheni misalnya, dengan cukup manis penulisnya mengolok-olok Negara metafora kapal tua: …kapal ini begitu lambat/congkak dan tua/seperti pemerintah/mengigau atas cahaya bawah laut/……
Apakah salah jika seorang penyair berpolitik dengan memilih ideologinya yang notabene menantang langsung rejim Negara yang bebal dan korup? Saya rasa tidak. Sebagaimana diungkapkan Putu Oka Sukanta di atas bahwa seorang penyair suka tidak suka adalah bagian kecil dari masyarakat sekitar dimana ia tinggal. Penyair adalah bagian dari masyarakat. Karena selain penyair terpengaruh oleh bacaan-bacaan yang pernah ia mamah dan tersimpan dalam otaknya, ia juga terpengaruh oleh kondisi sosial-ekonomi-politik masyarakatnya. Dan Thendra secara tegas memilih untuk tidak tercerabut dari akar masyarakatnya. Yakni masyarakat Indonesia pascakolonial yang miskin, lemah dan masih terus tertindas oleh pengelola Negara yang menghamba pada neoliberalisme yang menghisap itu. Itulah mengapa Thendra sempat menyindir penyair yang hanya bergelut dengan kata tapi buta dengan realitas sosial dalam salah satu bait sajaknya berjudul Solilokui: yang tidur dalam sajak: rabun senja!
Tapi Thendra juga tak mau ia tercerabut dari akar sastranya. Atau tepatnya tidak mau tercerabut dari akar sastra Indonesia. Sastra Indonesia adalah sastra lingua franca. Sastra yang dibentuk dari perpaduan sastra-sastra berbagai belahan dunia, dari ujung barat ke ujung timur yang Dari ujung selatan ke ujung utara. Bertumpang tindih dengan sastra lokal nusantara yang maha luas. Karenanya ia tak serampangan menulis puisi sekedar menggugat semata. Ia berjibaku betul untuk mampu melahirkan karya puisi yang berhasil yang—meminjam mukaddimah Lekra—tinggi mutu ideologinya juga tinggi mutu artistiknya.
Karena pergulatannya yang intens untuk menciptakan puisi yang berhasil itu, sengaja tidak sengaja, suka tidak suka seringkali pengaruh penyair-penyair yang pernah ia geluti karya-karyanya itu juga larut dalam puisinya. Dalam hal ini memang perlu kemahiran tersendiri dalam meracik puisi sehingga tidak kehilangan karakteristik puisinya sendiri. Dan saya yakin tidak ada penyair atau penulis yang mampu lepas dari pengaruh karya atau tulisan lain.
Saya sering mengibaratkan seorang penulis atau penyair dalam melahirkan karya itu seperti seorang ibu melahirkan. Jika seorang ibu menginginkan anaknya sehat, maka ia harus memakan makanan bergizi dan minuman bergizi. Karena makanan itulah yang menentukan bayi-nya lahir sehat dan montok. Ya, jika si ibu selama masa kehamilannya mengkonsumsi kentaki dan minumnya koka kola dan fanta, dijamin anaknya lahir invalid. Dalam hal ini ibulah yg menentukan makanan untuk janinnya. Sebagaimana karya, penulislah yang menentukan karya macam apa yang harus ia konsumsi untuk melahirkan karya yang “sehat”. Inilah apa yang disebut sebagai pembacaan selektif barangkali.
Dengan pergulatan yang inten dengan karya puisi penyair lain yang diramu dengan kreatifitas dan kecerdasannya Thendra membangun puisi-puisinya. Bergerak dari pengaruh Chairil Anwar, Charles Bukowsky, Jim Morrison, Subagio sastrowardoyo dan banyak lain, Thendra menciptakan puisi dengan ciri khasnya sendiri. Pengaruh sajak Chairil berjudul selamat tinggal, terutama pada bait awal sajak tersebut Misalnya, oleh Thendra diobrak-abrik menjadi haiku yang berbunyi: aku melangkah/di jalan sajak—/bukan buat ke pesta. Syair lagu Jim Morrison, vokalis The Dorrs berjudul “Light My Fire” yang fenomenal itu diramu ulang dalam sajak “Nyalakan Apiku” berkenaan dengan pengaruh itulah diksi-diksi politis dalam sajak-sajak thendra justru diramu dalam tema sajak-sajak cinta. Hasilnya bukan sekadar sajak cinta picisan, melainkan sajak cinta yang menggetarkan. Lunto Kloof, Cinta Pertama yang gagal diselamatkan yang pernah menjadi salah satu juara dalam lomba puisi cinta Tabloid Nyata beberapa tahun silam itu salah satu contohnya.
Sehingga pembaca puisi yang alergi dengan sajak-sajak lugas yang menggugat dan menantang secara langsung secara politik pada rejim represif semisal sajak-sajak Widji Thukul tak harus menutup mata untuk tidak membaca buku puisi ”Manusia Utama” ini. Karena mereka yang menyukai tema sajak cinta, kepedihan, harapan, kegembiraan, dan kenangan masa silam yang biasa dialami kebanyakan orang akan menemukannya lebih banyak dalam buku puisi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar