24 Mei 2011

Apresiasi

Sabtu, 21 Mei 2011, jam 19.00, Beranda 57 bekerjasama dengan Teater Kappas SMA Pasundan 2 Tasikmalaya menggelar bedah buku puisi "Manusia Utama" (IBC, Mei 2011) karya penyair Yogyakarta, Y. Thendra BP. Bertempat di aula kampus SMA Pasundan 2 Tasikmalaya, acara ini dimeriahkan oleh pembacaan puisi, diskusi, dan bajigur party, dihadiri oleh para seniman Tasikmalaya dan kalangan pecinta sastra. Sarabunis Mubarok, penyair dan pemerhati sastrawati yang Aktif di Sanggar Sastra Tasik (SST)dan Komunitas Azan, menjadi pemantik diskusi malam itu. Berikut tulisan doi yang dijadikan pemantik diskusi dan dimuat di Radar Tasikmalaya, Minggu, 22 Mei 2011.

PUISI DAN TUSIRAN PERISTIWA

(Oleh Sarabunis Mubarok)

Setelah membaca antologi puisi ‘Manusia Utama’ karya Y. Thendra BP, saya mungkin tidak begitu kagum dengan bentuk-bentuk puisi yang ada di dalamnya. Secara teknik dan bentuk penulisan, puisi-puisi dalam antologi ini adalah sesuatu yang sangat umum ditulis oleh penyair-penyair mapan di Indonesia.

Namun lepas dari bentuk penulisannya, mau tak mau saya tetap harus memuji Thendra dalam hal kemampuannya mencatat peristiwa. Penyair dengan kesadaran yang baik mampu membebaskan peristiwa untuk berbicara tengtang realitasnya. Peristiwa-peristiwa tersebut berloncatan dalam dunia barunya, yaitu puisi. Ia bebas bergerak, menangis, tertawa, bergumam atau berteriak.

Tak mudah memeroleh kesadaran mengemas sebuah peristiwa untuk bisa berbicara realitasnya sendiri melalui puisi. Dan penyair memang semestinya tidak melulu harus mencampur banyak hal untuk membumbui suatu peristiwa supaya menjadi puisi.

Sebuah peristiwa yang ditusir si penyair ke dalam puisi dengan jarak yang telalu dalam, akan menyebabkan melimpahnya distrorsi kreativitas. Meskipun mungkin akan terasa sangat dramatis, namun sebagian realitas menjadi kabur atau seakan-akan dikaburkan. Dan hal seperti ini mennyebabkan puisi terjebak di lorong yang gelap. Kekuatan realitasnya menjadi sulit dinikmati, atau mungkin menjadi tak ternikmati.

Sebaliknya jika sebuah peristiwa ditusir penyair dalam jarak yang terlalu dekat, akan menyebabkan puisi kehilangan sudut pandang. Lalu puisi akan terasa sangat cair. Puisi menjadi terlalu apa adanya, dengan kretivitas yang apa adanya pula. Ketika realitas sebuah peristiwa begitu terang, puisi menjadi tak lebih dari sebuah catatan jurnalistik belaka.

Namun dalam antologi ini, penyair memiliki kehati-hatian yang baik. Thendra menempatkan peristiwa dalam puisi dengan jarak tusir yang terjaga. Tidak terlalu jauh sekaligus tak terlalu dekat dengan peristiwa yang ditusirnya. Sebuah kesadaran yang baik untuk menjaga puisi agar tidak kehilangan rasa realitasnya.

Secara auditif, puisi-pusi Thendra juga enak dibaca dan enak didengar. Selain ada banyak rima yang bermain cukup apik, pada banyak puisinya ia juga cermat membagun dialog yang memperkuat puisi itu sendiri.

Antologi ini diberi judul Manusia Utama, judul yang sama dengan salah satu puisi di dalamnya. Sebagai judul antologi, sangat menarik, puisinya pun asyik. Saya mencoba memahaminya, meski tidak mudah. Puisi ini mengajak pembaca untuk mencari literatur tentang Amungme, Nemangkawi, dan istilah lainnya supaya benar-benar bisa menikmatinya.

Nemangkawi adalah sebuah kata yang berasal dari salah satu bahasa dari tujuh suku pemilik tanah ulayat yang masuk dalam wilayah kontrak karya PT Freeport, di Kabupaten Mimika, Papua. Dan di sanalah hidup suku Amungme. Secara harafiah amungme terdiri dari dua kata yang memiliki makna berbeda yaitu "amung" yang artinya utama dan "mee" yang artinya manusia. Orang Amungme percaya bahwa mereka adalah keturunan pertama dari anak sulung bangsa manusia, mereka hidup disebelah utara dan selatan pegunungan tengah yang selalu diselimuti salju abadi yang dalam bahasa Amungme disebut nemangkawi (anak panah putih).

Tanpa mengenal arti dari kata-kata tersebut, membaca puisi ini mungkin akan mengerutkan dahi, meskipun secara keseluruhan masih bisa ditangkap suatu kegelisahan yang samar-samar terderngar.

Namun justru kata-kata berbahasa Papua itulah yang membuat puisi ini sangat khas. Meskipun saya hanya mendapatkan arti harfiah dari kata-kata tersebut, namun puisi ini mampu membangun imajinasi saya: Sekelompok suku yang tengah bersembahyang, bersudud dan memanjatkan doa keluh kesah kepada Tuhannya. Ini terjadi karena sebuah keadaan yang tak bisa dilepaskan dari sejarah Papua. Sebuah ketakberdayaan masyarakat ketika kekayaan alam mereka berpuluh tahun dirampok di depan mata oleh sekelompok kapitalis yang kejam dan serakah.

***

Selalu ada yang beda, atau Thendra sengaja membuatnya berbeda. Pada puisi-puisi lainnya tusiran realitasnya tergerus kejengkelannya penyairnya sendiri. Pada puisi yang berjudul Repromosi sebuah kota, Sepatu & Tuhan Impor buat Kaki Dunia ke Tiga, Urban, Disebabkan Humor dan puisi berjudul Braga, misalnya. Puisi-puisi tersebut terasa togmol, dan sebagian lainnya lebih terasa sebagai anekdot.

Thendra bertutur dengan sangat lancar. Namun pada beberapa puisi, penekanannya banyak disimpan pada bait akhir, semacam kesimpulan yang menyebabkan deskripsi yang didedahkan di bait-bait sebelumnya terasa hanya sebagai penyangga. Pada bait akhir puisi Merak-Bakauheni misalnya, gunung krakatau itu tampak tenang? / sesungguhnya tidak, seperti dirimu/ menyimpan larva dan duka cinta//

Antologi ini dibuka dengan sajak tentang peristiwa dan waktu. Sebuah peristiwa akhir tahun yang ditulis sangat apik. Ada tusiran realitas yang menafsiri waktu sebagai pertanda. ”aku akan menutup jendela, menemuimu/membuka jendela yang lain/di tubuhmu//”

Dan antologi ini ditutup dengan puisi berjudul Taman Bermain. Sebagai penutup, puisi ini seolah mengisyaratkan proses kreatif penyairnya.

di taman bermain / merendah angin pada bunga-bunga / dua kanak-kanak berkejaran dalam mata / dua kanak-kanak dalam diri bicara//

+ kita mau ke mana? / -ke mana saja asal ada tempat bermain ./ + hari sudah petang / - aku belum mau pulang.

Dalam puisi ini Thendra kembali memandang waktu hanya sebagai pertanda, bukan sebagai batas. Dalam kepenyairan, tak eloklah kiranya jika penyair menjadikan waktu membatasi kreativitasnya. Tak ada pensiun dalam kamus seorang penyair, kecuali sekedar menunggu ilham lahir. Karena seperti yang diungkapkan Thendra, puisi akan terus mengalir seperti angin dan bunga, bermain-main untuk menikmati kematian dan kelahiran yang nyata.

Mungkin demikianlah Y. Thendra BP. Ia selalu ingin pergi ke tempat bermain, mengasuh anak-anak yang tumbuh dalam dirinya, menyadarkan diri bahwa hari sudah petang, sekaligus menyadari belum saatnya untuk pulang..(*)

Tidak ada komentar: