Kepada N
jam berdentang.
malam jadi bayang.
akankah ia kembali datang?
matanya yang bulat,
benderang dalam kabut bukit itu.
bibirnya yang manis,
lembut di bawah suara pesawat menderu.
jam berdentang.
malam jadi bayang.
bagaimana aku melupakan
kereta sore itu,
bis malam itu,
dan kami laju.
menyimpan tangan dalam tangan.
menyimpan mata dalam mata.
menyimpan kata dalam kata.
apa yang pernah kami sentuh bersama
menyentuh kami saat sendirian.
16 Januari 2011
10 Januari 2011
Cerpen
Cinta Siti Nurbaya
HATTA, tersebutlah Datuk Maringgih pengusaha kaya dari Jakarta pulang kampung. Doi pulang dari rantau bukan tersebab rindu ingin melihat rumah gadangnya yang sudah hampir roboh dan pandam pakuburan kaumnya yang sudah bersemak. Tapi doi ingin bertemu dan melamar Siti Nurbaya.
Sejak melihat Siti Nurbaya jadi peran utama di Sinetron Cinta Siti, Datuk Maringgih jatuh hati. Mabuk kepayang. Sampai-sampai Datuk Maringgih acap kali mabuk beneran di tempat dugem hingga jackpot dan meracau, "Siti, ai lop yu, beib..."
Lantaran tak tahan lagi menahan perasaan, Datuk Maringgih menyuruh kaki tangannya--Pandeka Limo, Pandeka Ampek, dan Pandeka Tigo--mencari tahu siapa sebenarnya Siti Nurbaya itu.
Bergaya ala Densus 88, Pandeka Limo, Pandeka Ampek, dan Pandeka Tigo, akhirnya tahu siapa Siti Nurbaya itu. Sebenarnya, ini bukan pekerjaan susah. Sebab Siti Nurbaya sudah terkenal dan keberadaannya gampang diketahui. Tapi dasar cecunguk, lagak perlu diperbanyak untuk menyenangkan Si Bos.
Siti Nurbaya itu anak Bagindo Sulaiman, grosir kain di Tanah Abang--sama-sama berasal dari Padang dengan Datuk Maringgih.
Nah, seminggu menjelang Hari Raya Idul Fitri Bagindo Sulaiman pulang basamo ke Padang. Datuk Maringgih mudik pula.
Begitulah. Pada suatu siang yang berangin-angin, hari kedua Hari Raya, Datuk Maringgih bertandang ke Rumah Gadang Siti Nurbaya yang sudah berdinding beton, berlantai keramik, ber-AC, dan kamar mandi dalam--bershower pula.
Setelah meneguk sirup dan menguyah kacang tujin, berbasa-basi, bercerita tentang kesuksesannya yang membuat kagum Bagindo Sulaiman, Datuk Maringgih menyampaikan niatnya.
"Aku nak melamar Siti Nurbaya jadi biniku."
Bagindo Sulaiman tersenyum, mengangguk-anggukan kepala, dan ia berkata, "Bagaimana baiknya menurut Nurbaya sajalah."
Lalu Bagindo Sulaiman memanggil Siti Nurbaya yang sedang asyik ngetuit ucapan selamat lebaran di kamarnya. Saat Siti Nurbaya berada di ruang tamu, Bagindo Sulaiman menyampaikan niat Datuk Maringgih yang hendak meminangnya.
Sontak saja Siti Nurbaya kaget.
"Jangan, Datuk. Jangan..." ucap Siti Nurbaya gugup.
"Kenapa?"
Siti Nurbaya terdiam. Doi Melirik ayahnya. Bagindo Sulaiman tersenyum di samping istrinya yang juga tersenyum. Lalu doi menundukan kepala.
"Bagaimana, Nurbaya, kau terimakah lamaranku?"
"Aku sudah punya pacar, Datuk."
Mendengar itu, Datuk Maringgih berdiri dari sofa. "Samsul Bahri maksud kau! Apa yang bisa kau harapkan dari sastrawan sekadar yang menggantungkan hidupnya di koran-koran minggu itu, hah?! Yang tulisannya cuma rintang-rintang bercinta dan tak jelas pula, hah?!"
"Tapi, Datuk..." Siti Nurbaya menundukan kepalanya makin dalam.
"Kurang apa aku ini, Nurbaya. Pintu tokoku berpuluh-puluh. Perusahaanku di mana-mana. Kalau perlu PH Sinetron Cinta Siti itu kubeli."
"Tapi, Datuk..."
"Tahukah kau, Nurbaya, pitih dolarku tersimpan di salah satu Bank di Swiss!"
"Apa?! Piti dolar?!" Siti Nurbaya mengangkat kepalanya.
Siti Nurbaya, Bagindo Sulaiman dan istrinya saling berpandang-pandangan. Mata mereka jadi hijau.
"Benarkah itu piti dolar, Datuk?"
"Yoi!" Datuk Maringgih tersenyum dan dadanya yang kerempeng itu membusung.
"Kalau begitu, cepat lamar aku, Datuk. Boleh ya, Pap. Boleh ya, Mam." Siti Nurbaya minta persetujuan dengan hati berbunga-bunga. Bagindo Sulaiman dan istrinya tersenyum. Mereka menganggukan kepala.
Datuk Maringgih tiba-tiba tertegun. Senyumnya jadi kecut. Dada kerempengnya makin kempes.
Begitu cepat dan mudah tidak seperti dalam roman favoritku Siti Nurbaya karangan Marah Rusli itu, batin Datuk Maringgih. Doi kembali duduk, terhenyak di sofa. Ruangan ber-AC itu dirasakannya begitu dingin, melebihi puncak Singgalang di malam tahun baru.
Dengan menggigil Datuk Maringgih berkata, "Dalam carito yang pernah aden baco, ndak ada tu Siti Nurbaya matre macam kau! Pandeka Limo, Pandeka Ampek, Pandeka Tigo, mari kita pulang!"
Datuk Maringgih beranjak dari ruang tamu rumah gadang beton, lantai keramik, dan ber-AC itu.
"Tunggu, Datuk!" Bagindo Sulaiman yang sedari tadi diam, angkat bicara.
"Jangan tinggalkan Siti, Datuk." Siti Nurbaya berusaha menahan.
Datuk Maringgih tak tertegah. Doi sudah melangkah diiringi Pandeka Limo, Pandeka Ampek dan Pandeka Tigo yang berkaca mata reben dan bersafari biru gelap. Naik mobil. Menuju Pasar Raya Padang.
Di Pasar Raya itu, Datuk Maringgih menumpahkan kekecewaannya pada berpiring-piring Sate Pariaman dan bermangkok-mangkok es tebak.
HATTA, tersebutlah Datuk Maringgih pengusaha kaya dari Jakarta pulang kampung. Doi pulang dari rantau bukan tersebab rindu ingin melihat rumah gadangnya yang sudah hampir roboh dan pandam pakuburan kaumnya yang sudah bersemak. Tapi doi ingin bertemu dan melamar Siti Nurbaya.
Sejak melihat Siti Nurbaya jadi peran utama di Sinetron Cinta Siti, Datuk Maringgih jatuh hati. Mabuk kepayang. Sampai-sampai Datuk Maringgih acap kali mabuk beneran di tempat dugem hingga jackpot dan meracau, "Siti, ai lop yu, beib..."
Lantaran tak tahan lagi menahan perasaan, Datuk Maringgih menyuruh kaki tangannya--Pandeka Limo, Pandeka Ampek, dan Pandeka Tigo--mencari tahu siapa sebenarnya Siti Nurbaya itu.
Bergaya ala Densus 88, Pandeka Limo, Pandeka Ampek, dan Pandeka Tigo, akhirnya tahu siapa Siti Nurbaya itu. Sebenarnya, ini bukan pekerjaan susah. Sebab Siti Nurbaya sudah terkenal dan keberadaannya gampang diketahui. Tapi dasar cecunguk, lagak perlu diperbanyak untuk menyenangkan Si Bos.
Siti Nurbaya itu anak Bagindo Sulaiman, grosir kain di Tanah Abang--sama-sama berasal dari Padang dengan Datuk Maringgih.
Nah, seminggu menjelang Hari Raya Idul Fitri Bagindo Sulaiman pulang basamo ke Padang. Datuk Maringgih mudik pula.
Begitulah. Pada suatu siang yang berangin-angin, hari kedua Hari Raya, Datuk Maringgih bertandang ke Rumah Gadang Siti Nurbaya yang sudah berdinding beton, berlantai keramik, ber-AC, dan kamar mandi dalam--bershower pula.
Setelah meneguk sirup dan menguyah kacang tujin, berbasa-basi, bercerita tentang kesuksesannya yang membuat kagum Bagindo Sulaiman, Datuk Maringgih menyampaikan niatnya.
"Aku nak melamar Siti Nurbaya jadi biniku."
Bagindo Sulaiman tersenyum, mengangguk-anggukan kepala, dan ia berkata, "Bagaimana baiknya menurut Nurbaya sajalah."
Lalu Bagindo Sulaiman memanggil Siti Nurbaya yang sedang asyik ngetuit ucapan selamat lebaran di kamarnya. Saat Siti Nurbaya berada di ruang tamu, Bagindo Sulaiman menyampaikan niat Datuk Maringgih yang hendak meminangnya.
Sontak saja Siti Nurbaya kaget.
"Jangan, Datuk. Jangan..." ucap Siti Nurbaya gugup.
"Kenapa?"
Siti Nurbaya terdiam. Doi Melirik ayahnya. Bagindo Sulaiman tersenyum di samping istrinya yang juga tersenyum. Lalu doi menundukan kepala.
"Bagaimana, Nurbaya, kau terimakah lamaranku?"
"Aku sudah punya pacar, Datuk."
Mendengar itu, Datuk Maringgih berdiri dari sofa. "Samsul Bahri maksud kau! Apa yang bisa kau harapkan dari sastrawan sekadar yang menggantungkan hidupnya di koran-koran minggu itu, hah?! Yang tulisannya cuma rintang-rintang bercinta dan tak jelas pula, hah?!"
"Tapi, Datuk..." Siti Nurbaya menundukan kepalanya makin dalam.
"Kurang apa aku ini, Nurbaya. Pintu tokoku berpuluh-puluh. Perusahaanku di mana-mana. Kalau perlu PH Sinetron Cinta Siti itu kubeli."
"Tapi, Datuk..."
"Tahukah kau, Nurbaya, pitih dolarku tersimpan di salah satu Bank di Swiss!"
"Apa?! Piti dolar?!" Siti Nurbaya mengangkat kepalanya.
Siti Nurbaya, Bagindo Sulaiman dan istrinya saling berpandang-pandangan. Mata mereka jadi hijau.
"Benarkah itu piti dolar, Datuk?"
"Yoi!" Datuk Maringgih tersenyum dan dadanya yang kerempeng itu membusung.
"Kalau begitu, cepat lamar aku, Datuk. Boleh ya, Pap. Boleh ya, Mam." Siti Nurbaya minta persetujuan dengan hati berbunga-bunga. Bagindo Sulaiman dan istrinya tersenyum. Mereka menganggukan kepala.
Datuk Maringgih tiba-tiba tertegun. Senyumnya jadi kecut. Dada kerempengnya makin kempes.
Begitu cepat dan mudah tidak seperti dalam roman favoritku Siti Nurbaya karangan Marah Rusli itu, batin Datuk Maringgih. Doi kembali duduk, terhenyak di sofa. Ruangan ber-AC itu dirasakannya begitu dingin, melebihi puncak Singgalang di malam tahun baru.
Dengan menggigil Datuk Maringgih berkata, "Dalam carito yang pernah aden baco, ndak ada tu Siti Nurbaya matre macam kau! Pandeka Limo, Pandeka Ampek, Pandeka Tigo, mari kita pulang!"
Datuk Maringgih beranjak dari ruang tamu rumah gadang beton, lantai keramik, dan ber-AC itu.
"Tunggu, Datuk!" Bagindo Sulaiman yang sedari tadi diam, angkat bicara.
"Jangan tinggalkan Siti, Datuk." Siti Nurbaya berusaha menahan.
Datuk Maringgih tak tertegah. Doi sudah melangkah diiringi Pandeka Limo, Pandeka Ampek dan Pandeka Tigo yang berkaca mata reben dan bersafari biru gelap. Naik mobil. Menuju Pasar Raya Padang.
Di Pasar Raya itu, Datuk Maringgih menumpahkan kekecewaannya pada berpiring-piring Sate Pariaman dan bermangkok-mangkok es tebak.
Langganan:
Postingan (Atom)