Ehem....
Mengapa menulis puisi? Aih, itu pertanyaan yang kerap mengambil bantal, selimut, dan kasur saya, yang membuat saya tidak bisa tidur, kehilangan mimpi semalaman, menemukan kenyataan bahwa pagi telah benderang, dan penanggalan baru dimulai lagi.
Saya jadi ingat waktu kecil dulu, tepatnya ketika masih sekolah TK di kota hujan Padang Panjang. Saya menyukai seorang cewek manis, teman satu sekolah. Tapi saya tidak tahu alasannya apa, selain dia itu manis. Sangat manis. Cilakanya, saya tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya--penyakit yang kadang masih menggerogoti saya sampai sekarang. Yang bisa saya lakukan pada saat itu, mengejar dia setiap pulang sekolah. Tentu saja dia lari. Saya mengejarnya. Dia lari. Hingga ia hilang dari jangkauan saya. Begitulah, berlangsung cukup lama.
Pada suatu hari--mengapa harus ada suatu hari?--di sekolah TK itu, saat jam bermain, dia memberikan sepotong kue bolu pada saya.
"ini untukmu," ucapnya dengan senyum kanak-kanaknya. Malu-malu saya terima sepotong kue bolu pemberiannya itu.
Sejak itu, setiap pulang sekolah saya tak lagi mengejarnya. Tapi setiap jam bermain, saya memberikan sebagian makanan saya kepadanya. Ia pun begitu.
Kami saling berbagi sebagian makanan masa kecil. Itu berlangsung cukup lama, sampai kami meninggalkan taman kanak-kanak. Dan saya tak tahu di mana dia sekarang.
Mungkin, menulis puisi bagi saya adalah menjaga dua kanak-kanak dalam diri saya agar tak hilang.
Yogyakarta, Juli 2007
Mengapa menulis puisi? Aih, itu pertanyaan yang kerap mengambil bantal, selimut, dan kasur saya, yang membuat saya tidak bisa tidur, kehilangan mimpi semalaman, menemukan kenyataan bahwa pagi telah benderang, dan penanggalan baru dimulai lagi.
Saya jadi ingat waktu kecil dulu, tepatnya ketika masih sekolah TK di kota hujan Padang Panjang. Saya menyukai seorang cewek manis, teman satu sekolah. Tapi saya tidak tahu alasannya apa, selain dia itu manis. Sangat manis. Cilakanya, saya tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya--penyakit yang kadang masih menggerogoti saya sampai sekarang. Yang bisa saya lakukan pada saat itu, mengejar dia setiap pulang sekolah. Tentu saja dia lari. Saya mengejarnya. Dia lari. Hingga ia hilang dari jangkauan saya. Begitulah, berlangsung cukup lama.
Pada suatu hari--mengapa harus ada suatu hari?--di sekolah TK itu, saat jam bermain, dia memberikan sepotong kue bolu pada saya.
"ini untukmu," ucapnya dengan senyum kanak-kanaknya. Malu-malu saya terima sepotong kue bolu pemberiannya itu.
Sejak itu, setiap pulang sekolah saya tak lagi mengejarnya. Tapi setiap jam bermain, saya memberikan sebagian makanan saya kepadanya. Ia pun begitu.
Kami saling berbagi sebagian makanan masa kecil. Itu berlangsung cukup lama, sampai kami meninggalkan taman kanak-kanak. Dan saya tak tahu di mana dia sekarang.
Mungkin, menulis puisi bagi saya adalah menjaga dua kanak-kanak dalam diri saya agar tak hilang.
Yogyakarta, Juli 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar