18 Februari 2016

Jatah

Cerpen Y. Thendra BP

Ranting kering berderak.

Langkah Sutan tertegun. Darahnya tersirap. Bulu kuduknya tegak.

Ia mengambil nafas lebih dalam, mengembuskannya perlahan-lahan. Jantungnya masih berdetak kencang.

Ranting kering berderak kembali. Serangga diam. Daun-daun kaku.

Sutan pun sadar. Durian jatuh yang ia cari tak bakal bersua. Sudah jadi milik kaki yang menginjak ranting kering itu. Jatah Inyiak**.

Dengan gemetar, ia tinggalkan pangkal pohon durian. Suluh damar di tangannya bergoyang, menuju ke pondok.

Asap hitam getah damar yang terbakar itu membumbung, naik, menyatu dengan udara malam.

Pondok itu empat tiang betung. Setinggi dada orang dewasa. Batang seladia jadi rangka atap, menahan daun kelapa. Tak ada dinding. Hanya cukup berteduh untuk tiga orang dewasa. Memang dibangun untuk sementara. Semusim.

Bila buah durian di sekitar pondok habis, maka pondok itu tak terpakai lagi.

Ada delapan pohon durian di ladang itu. Dua batang yang berbuah lebat. Yang lainnya, tidak menjadi. Baru berputik disantung tupai. Baru berisi dijarah kera.

Untunglah dua pohon itu durian Tembaga. Datuknya durian. Kuning warnanya, tebal dan lembut dagingnya, manis aduhai rasanya.

Di dalam pondok Sutan duduk sendiri berkelumun kain sarung. Ia jinakan rasa takut, yakinkan diri: Inyiak hanya datang memakan durian barang sebuah, lalu pergi seperti biasa.

Kalau memang dirinya yang jadi jatah, tak perlu tanda ranting kering berderak. Inyiak langsung menerkam dari belakang, menampar kuduknya.

Bukankah dari jarak sekian kilometer Inyiak sudah mencium bau mangsanya.

Sebagai peladang upahan dan pencari rotan di rimba, Sutan bisa membaca tanda. Tahu adat hutan.

"Rejeki Inyiak durian yang jatuh tadi," bisik Sutan kepada unggun di muka pondok.

Kayu unggun itu sudah terbakar, jadi abu, arang, dan seonggok bara.

Dan bara yang masih menyala, seperti sepasang mata Inyiak yang mengintai di balik semak, sepelemparan kulit durian dari kuduk Sutan.

Cukup dua kali lompatan, Inyiak bisa menerkam tubuh kurus Sutan dari belakang.

Ladang di mana pohon durian itu tumbuh jauh dari pemukiman. Jangankan teriakan manusia, letusan senapang pun tak akan sampai membangunkan penduduk. Gemanya lekas diredam lebat hutan.

Di bawah bintang-bintang, di antara pepohonan, tak seorangpun menyaksikan perjalanannya menuju kematian.

Sutan mengusap-usap kuduknya. Inyiak menyeringai.

"Syukurlah.. tak ada pusar-pusar harimau di kudukku. Kalau punya, sudah lama aku dimakan Inyiak. Kalau mati sekarang, sudah untung malangku," bisik Sutan.

Tak lupa ia merapalkan mantra penolak bala.

Inyiak menggoyangkan ekornya. Cakarnya diasah-asahkan ke tanah.

Sutan menyapu pelupuh bambu dengan ujung jari tangan kanannya--alas yang langsung bertemu tanah. Lalu ia merebahkan diri. Telentang.

Kepala Sutan yang mulai beruban, merasakan pelupuh bambu yang dingin. Matanya menangkap cahaya bintang di sela-sela atap daun kelapa.

Inyiak kembali menyeringai. Taringnya begitu tajam. Ia menggerakan tubuhnya. Kakinya melangkah pelan-pelan.

Sutan menguap.

Inyiak melompat, meninggalkan semak, menjauh dari pondok.

Buum!!!

Durian jatuh menimpa rumput liar.
***

Kulit durian terkubak indah di atas tanah. Tidak lepas dari tampuknya. Ruang-ruang kosong, sisa isi yang dimakan. Jejak taring di kulit dalam yang lunak dan putih. Dan biji menumpuk di samping kulit.

"Bersih benar Inyiak makan durian. Tidak seperti kera. Tidak seperti manusia!" seru Sutan.

Sutan mengalihkan pandangnya kepada buah durian yang menggantung di pohon. Ia mengira-ngira berapa banyak yang masih ada.

"Paling seminggu lagi, tandas...," gumamnya.

Angin pagi kembali membangkitkan kicau burung yang semalam tidur dalam mimpi embun.

Sutan mengemasi durian hasil penungguannya. Separuh durian akan ia jual ke pasar Sawahlunto. Kebetulan hari ini Sabtu, hari pekan di sana.

Sutan akan menyusuri rel kereta api, melewati dua terowongan di perut bukit. Sekitar tujuh kilometer jaraknya dari kampungnya.

Kalau naik kereta api, mengurangi hasil penjualan durian. Lagi pula, ia sudah biasa berjalan jauh sambil membawa beban.

Separuh durian lagi jatah yang punya ladang, Rosidar.

Ladang itu tidak terurus. Semak belukar tumbuh menjalar, terlantar disebabkan oleh Masa Bergolak. Suaminya Rosidar, Kaharudin, ikut tentara PRRI bergerilya di rimba.

Sementara Rosidar tak bisa pula mengurus ladang. Ia sibuk menggalas garam dari pekan ke pekan.

Ketika Sutan memberi tahu Rosidar bahwa durian di ladangnya sudah jatuh, ia pun bilang sambil membenahi tengkuluk di kepalanya, "Sutan tunggulah durian itu. Kita bagi dua hasilnya."

Seekor tupai melompat-lompat di dahan pohon durian, mencari buah yang jadi jatahnya.

Langkah Sutan di jalan tanah kian menjauh dari ladang. Pundanya memikul empat ketiding penuh buah penungguan semalam.

2015

* Inyiak adalah panggilan kehormatan kepada Harimau Sumatera

12 Januari 2016

Nama

tulisan arang dapur di dinding papan umah gedoi:
“djangan lupa nama nurhayati”

tetapi aku belum pernah jumpa nurhayati.

apakah nurhayati lahir dari sungai merangin yang telah memberi nama pada kampung
di mana ia minta dikenang?

bayangan daun pandan berduri jatuh di sungai itu:
tak pernah hanyut,  tak pernah hanyut…

aku mengikat tali sepatuku. perjalanan dilanjutkan.
lambungku masih menyisakan perih dan angin basi
dari kampung yang lain.

baiklah, aku tak akan melupakan nama nurhayati,
sebagaimana aku juga tak akan melupakan bau kampung dengan aroma kayu manis,
dan jembatan kecil dari masa kolonial masih menyeberangkan orang orang.

Maret  2015

Kota Drama

- buat saut situmorang -

dua bayangan berpelukan
di gang kecil sesak papan
peringatan:
"jam belajar masyarakat"

pukul 5 sore.
pertunjukan itu berlangsung.
kantong plastik hitam melayang-layang
dimainkan angin.

pertunjukan itu berlangsung,
bagai tangan perpisahan melambai
di kaca jendela kereta,
basah sepasang mata bola.

dan seekor anjing tua
melolong lirih.

malam nanti
botol kosong berjatuhan lagi.


yogyakarta, desember 2014