19 Agustus 2009

Event Sastra



Temu Sastrawan Indonesia II:
Sastra Indonesia Pascakolonial, 30 Juli-2 Agustus 2009

MENCARI IDENTITAS SASTRA INDONESIA


Sastra moderen Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perpanjangan dan politik kolonial Belanda dengan keberadaan Balai Pustaka-nya pasca lingua franca, bahasa Melayu menjadi bahasa administratif pemerintahan lewat pengajaran di sekolah. Keberadaan sastra moderen Indonesia sebagai sastra pascakolonial, tentu berbeda dengan sastra pascakolonial di negara-negara Dunia Ketiga lainnya. Masing-masing memiliki ciri khas dan problemnya sendiri. Sastra Indonesia berbeda dengan sastra Amerika Latin, sastra Afrika, atau sastra negara-negara Asia bekas jajahan Barat lainnya. Sebagai bekas jajahan Belanda misalnya, kita tak pernah meneruskan bahasa Belanda sebagai ekspresi (sastra) kita, berbeda dengan kalangan sastrawan hibrid India, yang menulis dalam bahasa bekas jajahannya (Inggris).

Lantas, apakah yang disebut dengan sastra Indonesia itu sastra yang yang berbahasa Indonesia, atau ditulis oleh orang Indonesia, ataukah sastra yang berisi segala sesuatu tentang Keindonesian? Bagaimana pula posisi sastra berbahasa daerah, atau sastra populer yang dalam sejarahnya juga bagian dari sastra alternatif? Persoalan tersebut merupakan garis besar yang diangkat dalam Temu Sastrawan Indonesia II di Pangkalpinang, Propinsi Bangka Belitung, pada 30 Juli-2 Agustus 2009. Dengan tema “Sastra Indonesia Pascakolonial”.

Pada diskusi sesi 1, Jum'at (31 Juli 2009), dengan tema “Merumuskan Kembali Sastra Indonesia: Definisi, Sejarah, Identitas” dengan pembicara Agus R. Sarjono, Saut Situmorang, Haryatmoko dan moderator Joni Ariadinata. Menurut Agus R Sarjono, Sastra Indonesia didominasi oleh gambaran rumah yang hilang, retak, hancur, atau tak tergapai. Maka hampir dapat disimpulkan bahwa selepas kolonialisme para sastrawan Indonesia sebagian besar tak berumah. Kajian atas pewacanaan lahirnya bangsa sebagaimana direpresentasikan dalam novel Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta Toer dan Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis, berakhir pada kesimpulan bahwa Indonesia adalah sebuah negeri tanpa rumah.

Saut Situmorang yang mengusung “Politik Kanon Dalam Sastra Indonesia: Beberapa Catatan” sebagai bagian persoalan dari definisi, sejarah, identitas sastra Indonesia, melihat adanya ketidakjujuran dalam peta sastra Indonesia. Kepentingan yang tidak lepas dari nilai “politik” suatu kelompok. Misalnya karya sastra yang dianggap sebagai Kanon tanpa melalui sebuah kritik sastra yang pantas.

“Pada umumnya politik kanonisasi sastra diyakini lebih banyak dipengaruhi oleh politik kekuasaan demi kepentingan ideologis, politis dan nilai-nilai ketimbang sekedar karena kedahsyatan artistik karya. Pada saat yang sama politik kanonisasi sastra juga membuktikan betapa naifnya, betapa ahistorisnya, betapa tidak membuminya, para sastrawan yang masih yakin bahwa teks sastra adalah segalanya, bahwa tidak ada apa-apa di luar teks sastra, apalagi yang bisa mempengaruhi eksistensinya, bahwa 'substansi' sastra adalah ukuran karya sastra, karena 'substansi' adalah 'estetika' sastra yang 'sublim', sastra yang menjadi itu,” ujarnya.

Apa yang disampaikan oleh tiga pembicara di atas bukanlah jawaban final dari permasalahan sastra Indonesia yang berlarat-larat dengan eksistensinya. Akan tetapi, memberikan ruang bagi pertanyaan-pertanyaan dalam perjalanan sastra Indonesia, dulu-sekarang-dan akan datang.

Begitu pula pada Diskusi Sesi II di hari yang sama. Mengambil tema “Kritik Sastra Indonesia Pascakolonial” dengan pembicara Dr. Syafrina Noorman, Yasraf Amir Piliang, Katrin Bandel, Zen Hae, dan moderator Willy Siswanto. Pertanyaan tentang identitas sastra Indonesia itu menukik pada persoalan 'keberadaan' kritik sastra yang kurang dari khazanah sastra Indonesia.

Yasraf Amir Piliang berpendapat, tugas kesusasteraan masa depan adalah membangun 'imajinasi' mandiri (self imagination), dengan meninggalkan 'imajinasi-imajinasi kolonial' atau imajinasi produksi 'sang lain', untuk mampu menghasilkan 'perbedaan' dan 'otentisitas', melalui sebuah sebuah proses 'menjadi diri sendiri' (becoming one-self). Dunia sastra diharapkan mampu membangun sebuah proses pertandaan(signification) yang melaluinya tanda-tanda budaya-budaya diperbedakan, makna-makna diproduksi, dan nilai-nilai dikembangkan. Sebuah proses 'resemiotasi' kebudayaan (cultural re-semiotizatian) melalui kekuatan sastra dapat diusulkan, dalam rangka pengkayaan dan penganekaragaman bentuk, makna dan nilai-nilai kebudayaan itu sendiri.

Pada hari ke dua, Sabtu (1 Agustus 2009), Diskusi Sesi III “Membaca Teks dan Gerakan Sastra Mutakhir: Mencari Subjek Pascakolonial” dengan pembicara Nenden Lilis Aisyah, Nurahayat Arif Permana, Zurmailis, Radhar Panca Dahana dan moderator Triyanto Triwikromo.

“Dalam perkembangan sastra kita pada era yang untuk sementara secara simplis saya sebut era reformasi ini, tema karya sastra cukup beragam. Namun, di antara tema-tema tersebut ada tema yang mendapat banyak sorotan. Tema yang dimaksud adalah tema mengenai femisme, dan tema seksualitas dan tubuh. Sorotan itu terjadi karena; pertama, radikal dan berani; kedua, karena dianggap ideologi barat,” ucap Nenden Lilis Aisyah.

Dikusi yang semestinya menarik—merujuk pada tema yang dihadirkan—terasa agak hambar. Selain pembicara yang kurang mampu menghidupkan diskusi, juga banyaknya kursi peserta yang kosong.

Sementara pada Diskusi Sesi IV, “Penerjemah Sastra Muktahir: Mencari Subjek Pascakolonial” dengan pembicara Anton Kurnia, Arif Bagus Prasetyo, John McGlym dan moderator Tia Setiadi.

Menurut Arif Bagus Prasetyo, penerjemahan adalah kegiatan yang amat kompleks. Bahasa itu sendiri sudah kompleks, tapi faktor-faktor yang terlibat dalam wacana manusia bahkan lebih kompleks. Tujuan terjemahan begitu beragam, dan pembaca karya terjemahan juga sangat beragam. Rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa penerjemahan, mengutip pakar studi terjemahan, I. Richards, barangkali jenis peristiwa paling kompleks yang dihasilkan dalam evolusi jagad raya.

“Betapa memprihatikan kondisi karya terjemahan kita secara umum. Di antara sejumlah karya terjemahan yang bisa dibilang baik, amat banyak karya terjemahan yang buruk. Menurut Alfons yang pernah menjadi Ketua Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI), para penerjamalah yang paling bertanggung jawab atas kualitas karya terjemahan mereka. Namun, ia pun mengakui adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seorang penerjemah, seperti situasi sosial ekonomi, akses terhadap refrensi, serta penghargaan orang terhadap penerjemah dan hasil karyanya,” tutur Anton Kurnia.

John McGlynn dari Yayasan Lontar menilai tentang usaha penerjemahan Sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris, memiliki beberapa hambatan, yaitu kualitas karya, ongkos penerbitan, sikap xenofobis, dan kurangnya visi pemerintah.

“Sebagaimana halnya dengan Indonesia yang mendapatkan hikmah dari pengetahuan mengenai kebudayaan lain, negara-negara lain dapat memperoleh manfaat dari ilmu yang berasal dari Indonesia—sebuah hal yang tidak akan terjadi kecuali orang Indonesia dapat mempromosikan diri secara aktif,” tukasnya.

Di mana Identitas Sastra Indonesia?


Selain Diskusi Sastra, TSI II 2009 yang dihadiri oleh pelaku sastra (Sastrawan dan Penikmat Sastra) dari berbagai wilayah yang ada di tanah air—yang setidaknya mewakili kantung sastra, baik muda mapun tua dalam proses kreatif—juga diisi dengan malam Apresiasi Sastra dan pertunjukan pembacaan karya sastra, peluncuran buku antologi sastra “Pedas Lada Pasir Kuarsa” (kumpulan puisi TSI II 2009) dan “Jalan Menikung ke Bukit Timah” (kumpulan cerpen TSI II 2009), Bazar Buku, dan Wisata Budaya.

Sudahkah identitas sastra Indonesia ditemukan? Terlalu naif jika dalam 4 hari untuk menagihnya. Peristiwa sastra di pulau Timah itu, barangkali bisa jadi 'modal' untuk menggali sastra Indonesia 'lebih' dan merangsang proses kreatif sastrawan. Di mana sastra Indonesia tidak sekadar selesai sebagai 'teks' semata dan tidak ada apa pun di luar 'teks' itu—hal ini bisa kita lihat dari penghargaan karya sastra yang ada, bahkan sekelas Nobel pun!--sebab omong kosong yang indah apabila sastra terbebas dari nilai di luar sastra itu sendiri. Sehingga ketika karya (sastra) selesai ditulis, pengarang cukup berleha-leha saja gara-gara salah kaprah memahami istilah, “pengarang sudah mati”.

Namun, bagaimana event sastra seperti Temu Sastrawan Indonesia itu tidak dijadikan sekedar sebuah pesta laiknya beberapa event sastra di Indonesia yang konon katanya bertaraf internasional. Bukan ajang 'bersolek' para sastrawan semata. Inilah tantangan bagi penyelenggara Temu Sastrawan Indonesia berikutnya 2010 di Kota Tanjungpinang, Propinsi Kepulauan Riau.

15 Agustus 2009

Poem

Ngai Oi Ngi


waktu yang singkat
menyusun ingatan yang panjang, mei lan
di belinyu, di belinyu
kita bertemu
ruko-ruko tutup pada jam 4 petang
dikepung bekas lubang-lubang tambang
yang ditinggalkan

aku menggenggam tanganmu lebih dalam
--tangan yang datang dari negeri hutan terbakar--
di benteng bongkap, pha kak liang
pantai penyusuk, atau di bawah bulan
ketika listrik padam
pada jam 9 malam

tetapi sepanjang jalan depati amir
angin mengembalikan tangan kita
jadi milik masing-masing
agar bisa menangkap senja
bangunan-bangunan tua
dari masa gemilang timah
hingga kesedihan
orang-orang hakka
dalam pembakaran taiseja

agar bisa merasakan
suara mereka yang hidup dan tak bisa pulang
lalu membangun kampung dalam dirinya
jauh lebih sunyi, jauh lebih sunyi
daripada sihir puisi
igauan pelayaran
yang tak pernah menyentuh lautan

Belinyu-Yogyakarta, Agustus 2009

10 Agustus 2009

Catatan Perjalanan

Ke Belinyu,  Melihat Kota Tua Timah





Sementara saya menampik tawaran mengunjungi Pantai Tanjung Bunga, Hutan Wisata TuaTunu, Kuburan Cina Sentosa, Katedral ST. Yosef, Kuburan Akek Bandang, Museum Timah Indonesia, Rumah Eks Residen, Perigi Pasem, Tugu Kemerdekaan, Kerhof, yang ditawarkan oleh dinas Pariwisata Bangka-Belitung lewat buklet bagi peserta Temu Sastrawan Indonesia II yang hendak melancong. Bukan karena tempat itu tidak menarik, tapi saya ingin sesuatu yang beda. Saya ingin mengunjungi tempat yang tersembunyi. Berdasarkan pengalaman saya sebelumnya, tempat seperti itu memiliki pesona tersendiri.

Gayung pun bersambut! Kebetulan Raudal Tanjung Banua, Nurwahida Idris, Tsabit, Kedung Darma Romansah, (Yogyakarta), Nur Zen Hae beserta anak istrinya (Jakarta), Risa Syukria (Siak), dan Dahlia (Palembang), hendak bertandang ke rumah Sunlie Thomas Alexander di Belinyu.

Bersama rombongan peserta Temu Sastrawan Indonesia II di Pangkalpinang (30 Juli-2 Agustus 2009) yang masih belum bergegas pulang ke daerah masing-masing meski event tahunan itu sudah usai, kami menumpangi bis Damri yang disediakan oleh dinas Pariwisata negeri Timah itu untuk mengunjungi Belinyu.

Selama perjalanan dari Pangkalpinang ke Belinyu, saya pergunakan melihat daerah yang dilintasi bis yang melaju dalam angin petang. Saya tertegun setiap kali melihat bekas-bekas lubang tambang timah yang ditinggalkan dan terbengkalai. Pohon-pohon pun tidak seramai di beberapa ruas Lintas Sumatera.

Duh, kegersangan yang menciptakan kesedihan. Tapi saya mesti melihatnya. Melihatnya sebagai pelancong yang hanya bisa bertanya: “kenapa?”, tanpa menemukan jawaban yang memuaskan. Sebab tidak ada guide dalam rombongan kami selama perjalanan di bis itu. Diam-diam, kami seperti bersepakat menjadi guide bagi diri kami sendiri. Seperti sengaja menciptakan pertanyaan-pertanyaan bagi diri kami dan dijawab oleh diri kami sendiri.

Tak terasa lebih kurang 3 jam, bis itu mengantarkan kami ke kota kecamatan Belinyu. Sebuah kota tua yang didirikan karena pertambangan timah. Kami disambut deretan bangunan-bangunan tua dan ruko-ruko yang sebagian besar tutup. Padahal baru pukul 5 sore. Lagi-lagi saya didera pertanyaan: “kenapa?”
Karena tidak tahan, saya pun bertanya kepada Sunlie: “Kenapa ruko-ruko di sini tutup?”

“Di sini orang-orang berdagang cuma sampai jam 4 petang,” jawab Sunlie. Lalu ia mengajak saya masuk ke rumahnya, menyusul yang lain.

Di depan pintu, saya disambut oleh Mama Sunlie yang ramah dan berumur sekitar 60-an. Ia menyapa saya dalam bahasa Hakka. Saya membalasnya dengan senyum, lantaran saya tidak faham bahasa Hakka.

“Mama saya tidak bisa ngomong dengan bahasa Indonesia,” ucap Sunlie.

Di Belinyu sekitar 30 persen penduduknya adalah Cina Hakka. Dalam sejarah Cina perantauan (Overseas Chinese) ke Asia Tenggara, setidaknya dikenal 5 kelompok besar yang datang dan menetap, yaitu Hokkian, Hakka, Tiochiu atau Hoklo, Kanton, dan Hailam.

Hokkian dan Tiochiu dikenal sebagai pedagang. Kanton sebagai pengrajin dan tukang kayu. Hakka sebagai pekerja tambang dan perkebunan. Dalam sejarah, Hakka adalah kelompok terakhir yang datang ke Indonesia. Mereka datang berombongan untuk dipekerjakan sebagai kuli tambang dan perkebunan. Kedatangan Hakka pertama adalah ke Mandor dan Montrado--pertambangan emas yang dikonsesi oleh Sultan Mempawah dan Sambas. Sekitar awal 1700, mereka didatangkan dalam jumlah besar melalui Serawak.

Ketika tambang timah di Bangka di buka sekitar pertengahan 1700, yang disusul kemudian di Belitung, beratus-ratus orang Hakka dikapalkan ke Bangka. Terus berlanjut hingga pertengahan tahun 1800. Rata-rata mereka didatangkan dari Meixien. Mereka datang tanpa membawa istri. Ketika kontrak habis hanya ada dua pilihan, kembali ke Cina atau menetap di sekitar lokasi tambang. Bagi mereka yang tidak pulang membuka permukiman di Bangka, seperti di Belinyu.

Putusan untuk menetap diikuti dengan mengambil wanita setempat sebagai istri. Arsitektur permukiman mereka telah berbaur dengan budaya setempat. Namun yang masih terlihat menonjol adalah banyaknya tapekong (tempat pemujaan besar kecil dalam permukiman itu). Berbagai perayaan besar dalam tradisi Cina masih mereka lakukan. Sembahyang Imlek masih dirayakan dengan ketat, seperti pantangan menyapu pada hari Imlek, saling memberi Angpau, perayaan Cengbeng atau Cingming (perayaan bersih kubur leluhur). Begitu pula dengan Cioko atau sembahyang rebut, masih dilakukan.


Yang tak kalah menarik, di Belinyu memiliki tradisi mengadakan pembakaran Taiseja. Dalam perayaan itu juga disertakan berbagai replika alat transportasi seperi kapal laut, kapal terbang, dan sebagainya. Menurut Sunlie, itu disediakan bagi arwah-arwah orang Cina yang hendak pulang ke negeri leluhur. Sayangnya, saya berkunjung ke Belinyu tidak pada saat perayaan itu berlangsung.

Meski begitu, jalan-jalan melewati rumah-rumah kuno beraksitektur campuran Melayu-Cina-Belanda, pedagang buah-buahan, martabak Bangka, Sate Madura, Warung Pecel Lele, Bakso Solo, Ampera Padang, Otak-otak Bakar, Mpek-mpek, di bawah cahaya bulan malam itu menciptakan nuansa eksotis.

Kapitan Bongkap, Benteng Kutopanji, Kelenteng Liang San Phak




Saya merasakan malam pertama di kota Belinyu dengan listrik yang mati hingga subuh. Sebagian jaringan Listrik dilayani PT Timah, karena PLN kekurangan jaringan. PLTU Mantung dekat pelabuhan Belinyu yang pernah dibilang terbesar di Asia Tenggara, sudah lama tidak berfungsi. Pun PLTD di Baturusa, setali tiga uang. Sama saja. PT Timah akhirnya menjadi pemasok listrik tanpa meteran, dengan sistem borongan. Tapi layanannya masih mengecewakan, listriknya sering padam.

“Bangun! Lihat ke bawah!” ujar Raudal membangunkan saya yang masih bergolek-golek di tikar.

Dari beranda lantai atas rumah Sunlie, saya melihat ke bawah. Ada bis-bis umum ngetem di depan rumah Sunlie. Bis-bis itu sangat antik. Bodinya terbuat dari kayu yang dilapisi seng. Ada tangga menuju bagasi berpagar besi di atap bis itu. Saya jadi ingat waktu kecil dulu, bis keluaran tahun 1970-an macam itu pernah saya tumpangi bersama papa dari Padang ke Bukittingi pada pertengahan tahun 1980-an.

“Sungguh kota tua yang masih menyimpan masa lalunya,” bisik saya pada pagi yang mulai menggeliat bersama pedagang-pedagang yang membuka pintu tokonya.

Pukul 10 pagi, saya beserta rombongan melancong ke luar kota dengan mobil rental Inova. Berdesakan memang, karena mobil itu dinaiki saya, Raudal Tanjung Banua, Nurwahida Idris, Tsabit, Kedung Dharma Romansah, Nur Zen Hae beserta anak istrinya, Risa Syukria, Dahlia, Sunlie Thomas Alexander dan tentu saja Pak sopir. Tapi suasana riang bikin yang sempit jadi lapang.

Menempuh jarak 2 kilometer dari pusat kota Belinyu, sampailah kami di Benteng Kutopanji atau Benteng Bongkap, yang terletak di kampung Kusam. Kekokohan sisa-sisa bangunan Benteng berwarna hitam keabuan—terbuat dari tanah liat yang dibakar—yang dibangun sekitar 1700 oleh Kapitan Bong atau Bong Khiung Fu, membuat saya terpesona. Meskipun yang saya jumpai sekarang cuma sisa-sisa dan kisah tentang Kapitan Bongkap, saudagar Cina yang kaya raya dan seorang pelarian politik.

Kami masuk ke dalam benteng, menemukan dua makam dengan arsitektur Cina di bagian paling belakang Benteng itu. Yang terbesar adalah makam Kapitan Bong bertahun 1700 dan dipugar pada tahun 1973, di belakangnya di atas tebing adalah makam pengawalnya. Namun itu adalah replika makam Kapitan Bong. Meski begitu tetap dihormati oleh masyarakat setempat. Sebenarnya, Kapitan itu meninggal di Malaysia dan Benteng Kutopanji jatuh ke tangan perompak Moro, Filipina.

Kemudian kami singgah ke Kelenteng Liang San Phak yang berdampingan dengan Benteng Kutopanji di sisi barat.

Kelenteng Liang San Phak, sebenarnya merupakan bagian dari Benteng Kutopanji yang juga didirikan oleh Kapitan Bong. Aroma Hio pun menyambut kami. Nur Zen Hae, Risa Syukria, Kedung Darma Romansah, dan Dahlia, bergantian mengadu peruntungan dan ramalan nasib dengan membakar Hio di depan patung Thai Pak Kong (Paman Besar) bernama Liang San Phak dan patung istrinya, yang dibawa langsung oleh Kapitan Bong dari negeri leluhurnya. Patung ini pada tanggal 15 bulan ketujuh penanggalan Cina, diarak mengelilingi kota Belinyu sebagai prosesi sembahyang rebut.

“Ini Klenteng Dewa Bumi atau Tapekong. Menurut agama Konghucu, Klenteng Tapekong ini untuk tempat bersembahyang, dan meminta agar banyak rejeki dan keselamatan,” ujar Fujianto alias Afu (35), salah seorang pengurus Klenteng.

Saya ingin bertanya lebih banyak lagi pada Afu yang ramah itu. Tapi waktu yang tidak memungkinkan, karena perjalanan mesti dilanjutkan.


Pha Kak Liang




Setelah melewati jalan tanah berdebu, dan sesekali bertemu pula dengan bekas tambang timah yang ditinggalkan, sampailah kami di gerbang utama Pha Kak Liang yang bernuansa Cina. Makin ke dalam, arsitektur Cina itu makin terasa. Seperti demarga, rumah peristirahatan, gazebo, semuanya berornamen negeri kungfu Panda.

Pha Kak Liang adalah sebuah objek wisata tirta yang dibangun di atas bekas tambang timah (kolong). Letaknya 10 Kilometer dari kota Belinyu.

Keheningan dan kedamaian begitu terasa di tepi telaga seluas 3,5 hektar yang ditumbuhi pohon cemara dan akasia. Pemiliknya adalah tiga orang etnis Cina bersaudara. Tempat tersebut merupakan villa peristirahatan bagi mereka, dibuka untuk umum. Sayangnya, kurang terawatnya Pha Kak Liang membuat objek wisata telaga berisi ribuan ikan emas yang hidup bebas itu tampak sedikit suram. Tapi bagi pecinta suasana sunyi, Pha Kak Liang memberikan itu. Semakin lama akan makin terasa sensasinya.

Pantai Penyusuk

“Lihat pohon-pohon yang memeluk batu itu!” kalimat Raudal yang puitis itu seperti memberi tahu bahwa kami telah memasuki gerbang pantai Penyusuk. Ya, di kiri-kanan jalan memasuki area pantai tampak beberapa batu besar yang dikelilingi pohon-pohon.

Hamparan pantai yang landai dan ditumbuhi batu-batu besar menyambut kami. Beberapa perahu nelayan tertambat. Ombaknya tenang karena di depannya ada pulau cukup besar--juga pulau kecil di sampingnya--dimana tegak menara suar yang tampak sebesar pohon nyiur dari tempat saya berdiri.

Amboi! Negeri rayuan pulau kelapa, alangkah eloknya.

Saya tidak sabaran ingin menceburkan diri, mandi-mandi di laut, jadi kanak-kanak riang kembali, hilang sejenak segan pada usia. Namun Risa Syukria meminta saya untuk menemaninya mengambil air wudhu. Inilah perkaranya, ternyata kamar mandi umum dikunci. Penjaganya entah kemana.

Memang pantai Penyusuk sepi, jauh dari pedagang yang mata duitan. Akhirnya, kami menemukan berbungkus-bungkus air minum tergeletak ditinggalkan pemiliknya di atas sebuah batu besar. Jadilah Risa salat. Saya pun mandi menceburkan diri ke laut menyusul yang lain, yang telah dulu bermain dengan air garam yang jinak itu. Tak lama berselang, Risa pun menyusul.

Cuma Kedung Darma Romansah dan Pak sopir yang tidak mau membasahi tubuhnya dengan air laut di pantai yang tenang itu. Entah kenapa. Setelah puas mandi-mandi. Main pasir pantai yang putih. Duduk-duduk dari satu batu ke lain batu. Rombongan sastrawan itu memutuskan untuk pulang.

Matahari sudah mulai mendekati ubun-ubun laut, beberapa jam lagi bakal angslup. Cuaca cerah. Tentu saja sunset akan terlihat sempurna di pantai barat ini. Apa hendak dikata, pertemuan matahari dan laut yang menciptakan cahaya emas itu, tak bisa saya saksikan.

Kami pun pulang dengan tubuh yang belum dibilas dari air laut karena penjaga kamar mandi umum itu tidak juga datang.

Sampai di jalan Depati Amir, saya dan Risa Syukria yang juga reporter TV Siak, memutuskan turun dari mobil. Kami ingin berjalan kaki menuju rumah Sunlie di jalan Sriwijaya yang jaraknya sekitar 500 meter dari tempat kami turun. Sementara yang lain terus pulang dengan mobil.

Kami turun dari mobil itu bukan karena ngambek, tapi ingin melihat lebih dekat rumah-rumah arsitektur Belanda yang dihuni pegawai timah di bawah gelimang cahaya senja. Ya, sepanjang jalan Depati Amir itu berjajar bangunan-bangunan lama. Sayangnya sebagian sudah tidak terawat lagi. Padahal bangunan-bangunan itu merupakan jejak langkah dari perjalanan kota timah itu.

Menurut Ibrahim (52), salah seorang karyawan pertambangan timah yang kami temui di salah satu rumah kuno itu, dulunya rumah-rumah di kawasan jalan Depati Amir itu adalah kawasan elit yang ditempati oleh pegawai teras atas pertambangan timah, dibangun pada tahun 1928.

Sejak menipisnya cadangan timah di Belinyu, rumah-rumah itu dihuni campur aduk antara karyawan biasa dan pegawai menengah. Bahkan sebagian rumah tidak dihuni lagi dalam kondisi mengenaskan, pintu dan jendela yang copot, dindingnya kumuh penuh coretan.

“Kota yang aneh. Tidak seperti kota-kota lain yang pernah saya datangi. Selama di sini, belum pernah saya lihat ABG nongkrong bersama menghabiskan petang. Bagaimana orang-orang hidup dalam kelengangan ini?” ucap Risa, dara rancak berdarah Minang, di jalan menuju ke rumah Sunlie, selepas jalan Depati Amir.

“Kota ini membuat Ngai Oi Ngi!” ujar saya memakai sekerat bahasa Hakka yang saya pelajari dari Sunlie.

“Apa itu Ngai Oi Ngi?” tanya Risa.

“Aku Mencintaimu!”