16 Mei 2009

Press release

Disinterprestasi Pendendang
dan Klaim Poliandri Sebagai Adat Minangkabau
dalam Pertunjukan Teater “3 Perempuan”


Pementasan Teater Sakata, “3 Perempuan” di Yogyakarta, Sabtu, 2 Mei 2009 lalu, menuai protes keras dari Forum Budaya Peduli Budaya Alam Minangkabau (F-PBAM) yang terdiri dari mahasiswa dan seniman asal Sumbar.
Hal ini dipicu oleh laporan di Harian Jogja (Senin, 4 Mei 2009), halaman 12 berjudul “Pentas 3 Perempuan: Angkat Konflik Perempuan di Rumah Gadang” yang menyatakan bahwa adat Minangkabau memperbolehkan perkawinan poliandri, satu perempuan menikah dengan banyak laki-laki.
Dari hasil diskusi beberapa kawan di F-PBAM, Syuhendri Dt. Siri Marajo (Ketua), Raudal Tanjung Banua (Sekretaris), Ivan Adilla, Y. Thendra BP dan Indrian Koto, tidak ada ditemukan adat Minangkabau memperbolehkan poliandri. Kalau pun ada Pendendang yang berganti suami selama menjalani profesinya, itu tidak bisa dijadikan pengklaiman sebagai adat Minangkabau. Itu cuma berupa laku personal—yang mungkin sebenarnya tidak diinginkan oleh Pendendang—dan tindakan itu juga bukan bentuk poliandri.
Lantas dari manakah munculnya pernyataan Poliandri sebagai Adat Minangkabau? Apakah hasil kesimpulan subyektif dari Reporter Harian Jogja atau tafsir individu Tya Setyawaty selaku Sutradara dan penggagas ide, serta teater Sakata sebagai sebuah kelompok?
Setelah menyimak kesaksian pertunjukan, membaca keterangan di buklet, pun pada diskusi yang berlangsung di Studio Teater Garasi; pernyataan Poliandri sebagai bagian adat di Minangkabau adalah tafsir individu (kelompok) dari Tya Setyawati.
Maka bersepakatlah F-PBAM untuk melakukan klarifikasi dan menggunakan hak jawab untuk membantah reportase dan pernyataan yang merugikan masyarakat Minangkabau tersebut kepada Harian Jogja.
Akan tetapi sebelum klarifikasi dan hak jawab F-PBAM dimuat (14/05/09), Enrico Alamo, Pimpinan Teater Sakata Padang Panjang, membuat pernyataan di suara pembaca Harian Jogja (13/05/09). Menurutnya, pernyataan poliandri itu bukan bersumber dari teater Sakata, bahkan teater Sakata merasa dirugikan oleh Harian Jogja, yang mengakibatkan terhambatnya proses “Pencairan Dana” dari sponsor! Surat pembaca ini dibalas langsung oleh Harian Jogja, bahwa reportase mereka bersumber dari teater Sakata itu sendiri.
Dalam kasus ini, Enrico sebagai pimpinan dari teater Sakata bukannya meminta maaf atas tindakan yang mereka lakukan, malah terkesan ingin ‘mencuci tangan’ dan lebih memusingkan kerugian kelompoknya—pencairan dana dari sponsor—daripada kerugian moral masyarakat Minangkabau yang diakibatkan oleh tafsir yang dangkal.


Seni Pesanan

Kasus pertunjukan “3 Perempuan” yang ditampilkan oleh kelompok Teater Sakata, bisa menjadi pelajaran bagi kita bersama, bagaimana proses kreatif penggarapan suatu seni pertunjukan yang (berhasrat) mengangkat khazanah etnis, lebih banyak mengedapankan sensasi yang dangkal. Tidak menyentuh substansinya!
Jika Saluang dan Dendang cuma dijadikan objek pelengkap (latar) dari sebuah ‘peristiwa teater’ yang disajikan, terlalu gegabah ‘mengklaim’ itu telah menjadi bentuk eksperimen ‘teater’ yang mengambil unsur seni etnis. Apalagi sampai munculnya pernyataan bahwa apa yang penyaji (teater Sakata) tampilkan adalah Adat yang disepakati oleh masyarakat komunal (Minangkabau).
Untuk itu, F-PABM mengimbau kepada Peneliti, Ilmuwan, Jurnalis, Budayawan, Seniman, dan siapa pun yang tertarik untuk mengangkat Adat Minangkabau, supaya lebih teliti dan mendalam melakukan sebuah studi kasus sebelum menampilkan di gelanggang mata orang banyak. Supaya tidak menghancurkan adat itu sendiri demi kepentingan sesaat individu atau kelompok yang terjebak dalam euforia banal, demi memenuhi misi liberalisme global yang ingin melenyapkan manusia dari identitas dan budayanya, salah satunya melalui “pesan sponsor” fanding asing.
Ketua F-PABM, Syuhendri Dt. Siri menegaskan tidak bermaksud menghambat proses kreatifitas siapa pun dari latar mana pun. Apa yang dilakukan F-PABM hanyalah sebuah bentuk kepedulian atas budaya Minangkabau supaya tidak sewenang-wenang disalah-tafsirkan.**

Lampiran


PERNYATAAN SIKAP
FORUM PEDULI BUDAYA ALAM MINANGKABAU (F-PBAM)


Setelah membaca dan mencermati laporan pertunjukan Teater Sakata di Harian Jogja, Senin, 4 Mei 2009, halaman 12 berjudul “Pentas 3 Perempuan: Angkat Konflik Perempuan di Rumah Gadang”—ide dan sutradara Tya Setiawaty, Sabtu, 2 Mei 2009, bertempat di Studio Teater Garasi Yogyakarta—kami menemukan kejanggalan yang sangat fatal dalam paragraf pertama laporan tersebut, yakni pada kalimat: Apalagi, adat Minangkabau yang memperbolehkan perkawinan poliandri, satu perempuan menikah dengan banyak laki-laki. (dokumentasi terlampir)
Hal ini akan menjadi lebih bias lagi jika mencermati keterangan foto laporan dimaksud, berbunyi: SEMANGAT: Sang Ibu dan Sang anak dalam pentas 3 Perempuan mampu menyemangati perempuan untuk mempertahankan prinsip hidupnya. Jika tidak hati-hati, keterangan ini dapat menggiring asosiasi pembaca menghubungkan prinsip hidup itu dengan pernyataan keliru di dalam teks laporan. Terlebih yang ditonjolkan dari pentas dan laporan pementasan tersebut bukanlah perjuangan seorang perempuan Minangkabau mempertahankan eksistensi diri dan seni-budayanya (dalam hal ini saluang dan dendang), tetapi justru menonjolkan hal-hal yang dianggap sensasional, seperti seksualitas dan affair keluarga, yang sangat personal sifatnya dan tindakan semacam itu tidak memiliki hubungan apa pun dengan sistem adat alam Minangkabau yang hendak dipresentasikan.
Bertolak dari hal di atas, maka kami Forum Peduli Budaya Alam Minangkabau (F-PBAM) menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Merujuk pada Tambo (hukum adat yang menjadi pegangan masyarakat alam Minangkabau hingga saat ini), baik dari Laras Koto Piliang (Datuak Katamanggungan), Laras Bodi Caniago (Datuak Parpatih Nan Sabatang), maupun Laras Nan Panjang (Datuak Simaharjo Nan Banego-nego), tidak ada memuat perihal tentang adat Minangkabau yang memperbolehkan perkawinan poliandri.

2. Adat Alam Minangkabau disusun dari hasil kesepakatan bersama masyarakat Minangkabau, sebagaimana pepatah bulek aia dek pambuluah bulek kato dek mupakek (bulat air karena pembuluh bulat kata karena mufakat) dan tuah dek sakato cilako dek basilang (tuah karena sekata celaka karena berkonflik) dan kato daulu kato ditapati kato kudian kato dicari (kata pertama kata ditepati kata kemudian kata dicari). Baik itu yang berlaku di dalam: manitiak dari ateh (menitik dari atas) Laras Koto Piliang, mambusek dari bumi (membuncah dari bumi) Laras Bodi Caniago, maupun gabungan dari kedua laras tersebut (Laras Nan Panjang). Maka:

3. Adat Minangkabau yang memperbolehkan perkawinan poliandri, satu perempuan menikah dengan banyak laki-laki adalah tafsir dan pernyataan individu yang ke bawah tidak berakar, ke atas tidak berpucuk, di tengah digirik (digerogoti) kumbang dan tidak bisa dijadikan atau disebut sebagai adat Minangkabau yang menyangkut tatanan kehidupan masyarakat alam Minangkabau. Untuk itu:

4. Kepada Peneliti, Ilmuwan, Jurnalis, Budayawan, Seniman, dan siapa pun yang tertarik untuk mengangkat Adat Minangkabau, supaya lebih teliti dan mendalam melakukan sebuah studi kasus sebelum menampilkan di gelanggang mata orang banyak. Supaya tidak menghancurkan adat itu sendiri demi kepentingan sesaat individu atau kelompok yang terjebak dalam euforia banal, demi memenuhi misi liberalisme global yang ingin melenyapkan manusia dari identitas dan budayanya, salah satunya melalui “pesan sponsor” fanding asing.

5. Pernyataan ini kami buat bukan bermaksud untuk menghambat proses kreatifitas siapa pun, akan tetapi sebagai sebuah bentuk rasa memiliki dan mempertahankan budaya Minangkabau sebagai salah satu budaya Nusantara dari penghancuran gerakan liberalisme global yang telah membuat kita seperti ayam mati kelaparan di lumbung padi! Dengan niat semacam ini, kami ingin menekankan agar tidak ada pihak yang merasa “dizalimi” lalu mengeksploitasinya untuk keuntungan lebih lanjut—sebagaimana banyak menjadi motif atau modus operandi dalam gerakan liberalisme global!

Yogyakarta, 12 Mei 2009

Kami Forum Peduli Budaya Alam Minangkabau (F-PBAM):

1. Syuhendri Dt. Siri Marajo (Ketua)
2. Raudal Tanjung Banua (Sekretaris)
3. Ivan Adilla
4. Y. Thendra BP
5. Indrian Koto