25 Juli 2011

Esei

Sahabat yang baik, berikut ini ulasan buku puisi Manusia Utama (IBC 2011) oleh Damhuri Muhammad yang dimuat di rubrik Khazanah (hal 25) Pikiran Rakyat, Minggu, 24 Juli 2011. Selamat menikmati dunia puisi.

Ari-ari Puisi
Damhuri Muhammad*


Secara fisik, ari-ari tak lebih dari selaput pelindung janin semasa di rahim ibu. Ari-ari adalah pangkal dari segala macam obsesi, busur yang melesatkan anak panah harapan, doa, dan cita-cita. Selepas prosesi kelahiran yang melelahkan, bukankah banyak syarat-rukun yang mesti dipenuhi sebelum ari-ari dikuburkan? Bila menginginkan watak luhur yang disukai banyak orang, maka serakkan lah kembang tujuh-rupa dalam wadah ari-ari. Mendambakan kejeniusan yang pilih tanding? Sertakan pensil dan buku. Atau bilamana menginginkan jiwa petualang, bubuhkan pasir dari tujuh muara. Untuk syarat yang disebutkan terakhir, percaya atau tidak, bila sudah tiba saatnya, seorang anak akan melesat bagai pelor yang ditembakkan dari muncung senapan laras panjang. Pergi sejauh-sejauhnya, dan jangan harap ia bakal pulang. Ia petualang sejati, yang segera melupakan jalan pulang. Lupa kembali ke pangkal jalan.

Inilah panggilan penciptaan sajak bertajuk “Bangkinang” dalam antologi Manusia Utama (IBC 2011) karya terkini penyair muda Y. Thendra BP, pernah sekali/angin dini hari/menyusup lewat jendela bis/yang tak terkunci/menegur aku/menoleh pada tanah kelahiran itu/tapi tak tahu aku/di bawah pohon apa ibu/menanam ari-ariku/dan bis terus melaju.

Menurut hemat saya, perhatian utama sajak ini adalah ari-ari. Sejarah mula-mula, muasal paling purba dari sebuah identitas. Tiada satu pun teori yang dapat menakar sejauhmana signifikansi ketercapaian obsesi dan cita-cita itu, kelak di kemudian hari. Namun, pengharapan dan hasrat selalu saja hendak dilekatkan pada ari-ari, dari satu kelahiran ke kelahiran yang baru. Maka, sajak ini adalah sebuah ikhtiar penggalian kenangan yang nyaris hilang perihal dunia ari-ari, atau lebih jauh, sebuah pemancangan tanda bahwa di bawah "pohon yang entah di mana" itulah segala macam tarikh manusia bermula. Kecenderunga semacam inilah dalam bahasa filsuf Jacques Ranciere (2010) disebut petrification, upaya pembatuan kenangan, pemosilan sebuah peristiwa yang nyaris tertimbun oleh debu dan residu sejarah.

Sajak-sajak yang terbuhul dalam antologi Manusia Utama itu sebagian besar─bila tak dapat disebut dominan─bermula dari sejumlah peristiwa perjalanan, baik perjalanan spasial-temporal maupun mental-transendental. Tengoklah pula sajak bertajuk “Di Jembatan Siti Nurbaya,” yang menegaskan sebuah afirmasi betapa latennya pengaruh the power of imagination. Betapa tidak? Hingga esai ini dinukilkan, di belahan Indonesia manapun, bila ada peristiwa kawin-paksa, selalu saja muncul hasrat melawan yang direpresentasikan dengan ungkapan: “Ah, ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya!”

Pertanyaan saya, dalam ranah historiografi kita, kapan sesungguhnya kurun yang patut disebut zaman Siti Nurbaya itu? Sama sekal tidak bisa ditandai bukan? Inilah bukti paling absah dari upaya pemfosilan sebagaimana disinyalir Ranciere. Sedemikian besarnya pengaruh pembatuan itu, di Ranah Minang masa kini─ latar tempatan roman karya Marah Rusli itu─bahkan ada kuburan Siti Nurbaya (entah siapa yang berinisiatif menggali dan menuliskan efitap-nya), ada umat yang rutin berziarah ke sana, mendoakan keselamatan arwah Siti Nurbaya. Ada pula jembatan yang diberi nama “Siti Nurbaya”, yang kemudian menjadi asbab al-wurud sajak Y. Thendra B.P: siti, muara teramat senja/mengalir di bawah rambutmu/mengingat kasih menggenggam/untuk melepas. Sajak ini, lagi-lagi hendak membendakan sebuah kenangan yang bermuasal dari dunia bernama imajinasi, dunia khayali.

Dalam perjalanan yang lain, tak lupa Thendra menyinggahi kampung halaman, Minangkabau selepas megabencana, gempa yang tak hanya mengakibatkan korban manusia, tapi juga kemanusiaan, sebagaimana ternukil dalam sajak “Kepada Farits dan 30 September 2009.” Pada sajak itu, penyair tak sekadar singgah, lalu memotret semesta duka sebagaimana kerja seorang pewarta. Tidak! Subjek penyair berada dalam ketegangan antara penyelamat dan korban. Ia survivor, sekaligus korban. aku sanggup melupakan yang datang/tapi tak sanggup melupakan yang pergi. Rumah kalau mau rubuh rubuh lah, sawah-ladang amblas lah, namun masih mujur nyawa dapat terselamatkan. Bukankah selalu begitu kita mencari yang luhur dari setiap musibah yang datang tiba-tiba? Ada yang luhur dalam petaka. Inilah yang barangkali disebut Mikhail Bakhtin (1895-1975) dengan konsep “Karnaval.” Ada terang dalam gelap, ada riuh dalam sunyi. Dalam batas-batas tertentu, subjek pembaca bisa berpihak pada pemegang kuasa bencana, karena lantaran musibah yang telah menyebabkan kematian, yang tak pernah terpanggil untuk menengok kampung halaman akan datang, yang tercerai-berai bakal tersambung.

Lalu, di titik manakah tualang kepenyairan bakal berlabuh? Di dunia kepenyairan, bukan perjalanan lagi namanya bila gerak petualangan itu sudah berhenti. Namun, sajak yang hendak membendakan kenangan dari setiap perjalanan (Merak-Bakauheni, Tanjung Pinang, Papua, Jalan Lintas Sumatera, Bangkinang, dll) tentu bukan sekadar perjalanan spasial-temporal yang tak menyisakan memorable-line. Bila itu yang terjadi, maka sajak-sajak dalam antologi itu akan jatuh sebagai feature perjalanan belaka.

Selain itu, mengingat Thendra telah memaklumatkan jalan sajaknya sebagai jalan “yang bukan buat ke pesta” (April, Haiku, Chairil), maka riwayat perjalanannya tak lagi sekadar singgah dari kota ke kota, berlabuh dari pelabuhan ke pelabuhan, melainkan perantauan yang berangkat dari sebuah obsesi, pencapaian, tujuan, sebagaimana obsesi seorang ayah saat menguburkan ari-ari bayinya. Bila tidak, maka perjalanan tanpa haluan, tanpa tujuan, sesungguhnya lebih pantas disebut pelarian…

* Esais, penyuka sajak

18 Juli 2011

Puisi

Bunga Padi

engkaulah bunga padi,
tumbuh di ladang sepiku.
angin menyalakan malaimu,
di bawah langit tak berbatas
pikiran sari muncul dari lemma
dan palea yang terbuka,
hari menjadi adalah
bulir emas yang merunduk
kerna berisi di hatimu,

berisi di hatiku!

o, mekarnya mekar, mekarlah...
kulantunkan litani
di lembah sungai yangtze.

14 Juli 2011

Esei

Boleh dibilang, puisi merupakan genre sastra yang paling banyak ditulis sekarang ini di Negeri Rayuan Pulau Kelapa, baik oleh penulis sekadar maupun penulis sungguhan. Apalagi makin beragamnya media publikasi, dan semakin mudahnya akses untuk menjadikan puisi sebagai buku, baik antologi bersama maupun antologi tunggal.

Apakah ini menunjukan bahwa puisi sudah memasyarakat atau jangan-jangan karena puisi "dianggap" mudah ditulis karena tak butuh "mengetik" kata berjela-jela hingga ratusan halaman, sebagaimana kelakar Wina Bojonegoro saat kami bertemu di Surabaya (Mei, 2011):"menulis puisi itu yang dibutuhkan cuma kopi, rokok, kertas, dan pena. Beda dengan novel yang butuh penelitian"?

Barangkali kelakar Wina tersebut berlaku bagi dirinya sendiri.

Bagi saya, menulis puisi selain butuh penelitian, juga butuh "yang lain". Dan ketika puisi tersebut sudah dijadikan buku, bagi saya, ia harus bicara dan harus dibicarakan. Tentu saja ini bukan kerja yang mudah di tengah minimnya apresiasi secara teks. Saya mengucapkan terima kasih kepada mereka yang sudi mengapresiasi buku puisi saya "Manusia Utama" (IBC, April 2011) secara teks, dengan berbagai tanggapan dan bentuk ulasan. Dalam hal ini saya percaya, "Jika kita mau menghidupkan tradisi apresiasi puisi secara teks, ia akan hidup".

Nah, berikut ini tulisan Dwi Pranoto yang membahas buku puisi "Manusia Utama" dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Kelompok Tikungan di Warung Gubuk, Selasa (18/5) malam, di Jember. Saya bagikan ulang kepada sahabat yang hadir maupun tak sempat hadir dalam acara tersebut, agar peristiwa puisi (sastra) mesti dicatet mesti dapat tempat.



Membaca Thendra Berkaca pada Chairil
oleh Dwi Pranoto


Kutipan dua baris pernyataan Chairil Anwar, Aku suka pada mereka yang berani hidup / Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam yang termuat di lembar halaman setelah halaman penerbit – ini berarti sebelum kita berhadapan langsung dengan puisi-puisi dalam kumpulan puisi Manusia Utama (MU) – seolah memberi tahu puisi-puisi seperti apa yang bakal kita baca setelahnya. Benarlah, walaupun tak sepenuhnya, setidaknya pilihan diksi, irama, dan suasana sejumlah puisi dalam MU mengingatkan kita pada beberapa puisi si binatang jalang itu. Sebagaimana puisi-puisi Chairil yang disusun dari pilihan kata-kata yang lugas dan tandas dengan larik-larik pendek yang tajam, puisi-puisi seperti Solilokui, Bangkinang, Bila Kita Jadi Tua Bersama , Merak – Bakauheni yang terhimpun dalam MU juga demikian. Y. Thendra BP juga sering menggunakan istilah sehari-hari, kadang percakapan biasa, yang selanjutnya berubah menjadi alam imaji. Namun, jika Chairil menggabungkan percakapan sehari-hari dengan metafora, Thendra lebih banyak menggabungkan percakapan sehari-hari dengan sinekdoke. Daripada “menyembunyikan” makna lain dalam kalimat metafora, Thendra lebih memilih menyusun kalimat dari kata-kata yang punya bobot pembangun suasana guna membuat keseluruhan dari sebagian. Puisi Kepada N dimulai dengan tujuh baris yang menggunakan kata-kata dalam percakapan biasa namun mampu mengungkapkan suasana kerinduan dengan menggabungkannya bersama pilihan kata-kata yang menyusun kalimat sinekdoke; jam berdentang dan malam jadi bayang menggambarkan waktu berjalan muram disusul dengan matanya yang bulat, bibirnya yang manis – melukiskan seseorang (wanita) dengan menyebutkan sebagian anggota tubuhnya – dengan diantarai oleh sebuah pertanyaan yang menegaskan kerinduan akankah ia kembali datang seperti memperkenalkan kepada siapa ia merindu. Yaitu kepada seseorang yang bisa memberikan penerangan dan ketenangan; sebagaimana mata bulat yang benderang itu menyibak keremangan kabut dan bibir manis yang lembut meredam gemuruh suara pesawat dan kehadiran orang yang memiliki mata dan bibir demikian itu juga diharapkan bisa mencerahkan waktu yang berjalan muram “saat ini”. Jadi fungsi larik kalimat akankah ia kembali datang? itu bukan hanya menegaskan kerinduan, tapi sekaligus menghubungkan waktu kini dan waktu lalu yang tersimpan dalam ingatan. Pada bait kedua waktu yang berjalan muram itu kembali dinyatakan dengan mengulang baris pertama dan kedua pada bait pertama. Sementara fungsi akankah ia kembali datang? digantikan oleh bagaimana aku melupakan. Perasaan rindu semakin pekat mengental di bait kedua ini dengan ditandai oleh permainan pengulangan yang membuat waktu seolah membeku. Untuk bait terakhir yakni bait ketiga yang terdiri dari dua baris merupakan kesimpulan yang mengingatkan kita pada sejumlah puisi Chairil seperti Sia-sia dan Kawanku dan Aku yang diakhiri dengan kesimpulan yang tandas.

Berbeda dengan Chairil Anwar yang menolak diikat cinta, lebih memilih dengan sadar menjauhinya dan menjadi individu merdeka yang bebas menghisap habis nafsu badani meski harus diganjar perih, seperti diungkapkan dalam salah satu puisinya, Sia-sia. Thendra sebaliknya, ia ditinggalkan cinta. Sejumlah sajak bertema cinta dalam MU, seperti Lunto Kloof, Kepada N, Di Jembatan Siti Nurbaya, Lempuyangan, mengungkapkan nganga luka yang membuat sepi karena cinta yang menjauh-menjauh. Bahkan dalam puisi Di Jembatan Siti Nurbaya dan Tanpa Judul menjadi cinta yang platonis. Cinta menjadi nampak lebih agung ketika belaka dibayangkan seperti dituliskan dalam dua baris di bait terakhir dalam Di Jembatan Siti Nurbaya; tak dilahir bersatu /di batin bertaut jua; atau empat baris terakhir dalam Tanpa Judul; dan cukup bahagia/meski hanya bisa/mengakrabi alis matamu/dari jauh. Namun begitu ia juga mendendangkan cinta sederhana dalam Bila Kita Jadi Tua Bersama yang bisa dibandingkan cinta sederhananya Chairil dalam Di Taman. Tapi pada Thendra cinta sederhana itu tumbuh setelah nafsu badani padam.

Masa lalu yang gemilang dan kampung halaman yang menenangkan barangkali menjadi impian para penyair Indonesia yang tak pernah hapus sejak tahun 1920-an ketika kemoderenan masih menjadi pengalaman yang begitu belia. Demikian juga dengan Thendra, modernisme hari ini telah melemparkannya pada kebimbangan panjang untuk menemukan diri sendiri ditengah puing-puing identitas tradisional yang pecah di kota-kota besar Indonesia. Pulang menjadi suatu gagasan yang rawan ketika kampung halaman pun kini telah menghilang. Dalam puisi Bangkinang misalnya, kampung halaman tak lagi dikenali dengan penuh karena ia hanya memandangnya dari dalam bis yang laju. Kampung halaman memang menegurnya, tapi ia telah kehilangan sebagian dirinya di kampung halaman itu dan tak ada waktu lagi untuk mencari; tapi tak tahu aku/di bawah pohon apa ibu/menanam ari-ariku/dan bis terus laju. Pilihan kata “menegur” daripada “memanggil” di sini menjadi penting untuk menandai penyifatan sapaan kampung halaman. Sementara dalam Solilokui kepulangan menjadi sesuatu yang asing karena perubahan; lampu-lampu hotel/lampu-lampu reklame/ bikin asing pada kepulangan – . Bahkan dalam Ngai Oi Ngi dan Manusia Pergi pulang menjadi sesuatu yang mustahil. Dalam Disebabkan Humor kebiasaan lama menghormati leluhur pada akhirnya harus menyesuaikan diri dengan perubahan modernitas yang dilambangkan dengan mall jika ingin masih terus dilakukan. Tentu Disebabkan Humor merupakan puisi sindiran yang pahit, demikian juga dengan ironi sinis yang dimainkan dalam Sepatu dan Tuhan Impor Buat Kaki Dunia Ketiga yang diungkapkan dengan menyajikan kontras antara sepatu impor dan es cendol yang kemudian ditutup dengan buku pascakolonial yang seolah mengisyaratkan suatu kontradiksi yang tak tersembuhkan. Bagaimanapun, hal-hal di atas menggambarkan suatu pendirian yang berada di garis perbatasan yang mana sebelah kaki berada di masa lalu sementara sebelah lagi menjejak masa kini. Persis tak sama dengan Chairil yang meneriakkan kata putus dengan masa lalu dengan segala norma komunalnya dan memutuskan menjadi individu tanpa terikat dengan apapun. Tentu kita sama tahu kalau pendirian Chairil ini telah mendapat cibiran bertubi sebagai individu yang bertanah air Eropa, terutama oleh angkatan sesudah 40-an dengan Ajip Rosidi sebagai juru bicaranya.

Pada hari ini modernisme seolah menemukan dirinya yang “baru” setelah usainya perang dingin dan kapitalisme liberal muncul sebagai kekuatan dominan yang hampir tanpa tertahan lagi merangsek ke seluruh permukaan bumi (sebagian orang lebih menyebutnya sebagai masa pasca modern). Invasi agresif perusahaan-perusahaan multinasional untuk membuka pasar baru bukan hanya menyasar ruang-ruang fisik atau geografis. Lebih dari itu, mereka juga telah masuk jauh ke dalam “imajinasi” dan berupaya menduduki identitas komunal yang dipusakakan oleh masa lalu seperti simbol-simbol ikatan etnik dan sejenisnya. Hal yang membuat globalisme nampak sebagai pecahan-pecahan lokalitas yang bangkit kembali setelah masa tidur panjang dalam selubung uniformitas modernism lama. Namun, orientalisme baru ini menitikberatkan pembangkitan lokalitas pada diri individu daripada kerjasama komunal yang ditandai dengan tumbuh maraknya budaya life style. Artinya, munculnya simbol-simbol etnis bukan menandai suatu praktik budaya yang dilandasi oleh semangat etnisitas. Tapi lebih merupakan pilihan individu untuk menjalani hidup di bawah suatu panji-panji tertentu tanpa harus menerima konsekwensi-konsekwensi tertentu yang merupakan akibat dari pilihannya. Pengosongan biohistoriografi komunal nampaknya berupaya diisi oleh kaum “pemberontak” penentang keserakahan kapitalisme lanjut dengan politik. Maka kita kemudian bisa membaca puisi Manusia Utama sebagai ungkapan hilangnya kearifan lokal bersama pemiskinan material yang disebabkan oleh pengurasan sumber daya alam. Istilah-istilah lokal (saya duga dari Papua) yang banyak bertebaran di sekujur puisi Manusia Utama merupakan ungkapan simpati yang amat dalam pada apa yang terjadi disamping memberikan pengangkuan keberadaan identitas lokal.

Modernism atau pasca modernisme merupakan semacam mesin penghancur masa lalu. Mesin yang mengasingkan individu dari biohistoriografi komunalnya sendiri. Seperti yang terungkap dalam puisi Urban, bahwa hilangnya pohon dan udara yang sering diasosiasikan pada kehidupan tradisi etnis yang alami (damai) yang diganti oleh lambang-lambang modernitas yakni beton dan uang telah mencederai individu atau manusia yang dinyatakan sebagai membakar tangan atau merupakan unsur yang asing bagi tubuh hingga ditanggapi dengan menolak, terbakar.

Modernisme atau pasca modernisme atau masa kapitalisme lanjut bukan hanya telah merampas masa lalu, sekaligus juga menciptakan ketimpangan dalam relasi produksi yang mengakibatkan tak terpenuhinya kesejahteraan. Dalam puisi Manusia 10 Jam Sehari yang bertitimangsa 2011 tergambarkan bagaimana seorang buruh yang hidup dalam penghisapan majikan. Namun, yang agak ganjil adalah ketika kata “proletariat” yang dapat diasosiasikan pada perjuangan radikal (kiri) digabungkan dengan kata “bunga-bunga” yang dapat diasosiasikan pada suatu hal yang berhubungan dengan kelembutan, sebagaimana juga penggabungan “kupu-kupu” dengan “mata merah”. Apakah hal ini menyiratkan suatu jiwa pemberontakan yang tertahan ataukah jiwa pemberontakan yang coba dikendalikan radikalitasnya dengan membasuhkan suatu kelembutan padanya? Hal yang pasti adalah puisi-puisi yang dihimpun dalam Manusia Utama seperti hendak menerakan kebimbangan antara kehidupan individu yang bebas dengan kehidupan sosial yang menghendaki suatu perikatan, antara masa kini dan masa lalu, yang mana kontradiksi itu hidup berpenjelang masa depan yang tak pasti. Aku kira penyusunan 42 puisi dalam Manusia Utama yang tak mengindahkan pengelompokan tema dan urutan titi mangsa penulisannya mengisyaratkan hilangnya pembedaan ruang-ruang pribadi dan sosial. Melelehnya sekat-sekat ruang atau lebih tegas lagi hapusnya sekat-sekat ruang yang hendak menyepadani ruang-ruang maya yang diciptakan oleh pencapian tekhnologi media informasi. Tibanya suatu masa ketika reproduksi artistik makin mengandalkan tekhnik mimikri yang menggarap ulang karya-karya lama tanpa perasaan simpati yang rahasia pada karya-karya yang digarap ulang tersebut. Tak ada rangsang satiris pada puisi Retrospeksi Lagu Kanak-kanak yang menggarap ulang lagu Burung Kakak Tua, tak juga dalam Lagu Lama yang menggarap ulang pribahasa lama Bagai pungguk merindukan bulan, begitu juga dengan April, Haiku, Chairil. Semua penggarapan ulang ini hanya berlandas pada hasrat bermain-main. Setidaknya begitulah yang aku duga.

Chairil tak hadir sebagai simpati rahasia atau rangsang satiris dalam Manusia Utama, kecuali denyar-denyar stilistiknya yang itupun tak pekat benar.