3 Oktober 2010

feature


Para Perempuan Perkasa

Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
mereka : cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa


(Perempuan-perempuan Perkasa, Hartoyo Andangjaya)

Pukul 01.00, Senin (27/9), tiga perempuan tua itu asyik duduk dan ngobrol dengan bahasa Jawa ngoko di pinggir jalan. Di depan mereka terhampar bayam, kangkung, pisang dan kelapa yang diletakan ala-kadarnya beralas karung plastik.

“Sekarang apa-apa mahal (red),” sela Sunaryo (70). Lalu disahut oleh Jira (60), “Iya.”

Dalam gelap di perempatan jalan di samping Balai Desa Bangunjiwo, Bantul, itu mereka terus ngobrol sambil menunggu dagangannya. Tak ada lampu yang menerangi dagangan dan wajah tua mereka. Lampu neon Balai Desa tak sampai ke tempat mereka. Sementara lampu warung kecil yang masih buka di depan mereka, persisnya di pojok barat perempatan, hanya membiaskan sedikit cahaya.

Tapi gelap dinihari itu bukan penghalang bagi mereka untuk berjualan, karena sudah terbiasa. Sebagaimana pengakuan Sunaryo, “Saya sudah berjualan sejak perawan cilik. Dulu, saya nganterin dagangan ke Pasar Gamping, Pasar Kranggan, Pasar Niten. Sekarang, jualan di sini (perempatan) aja, karena sudah tua.”

Dagangan Sunaryo, Ibu 6 anak dan 15 cucu ini, tidaklah banyak dinihari itu. Hanya setengah karung kangkung yang diambilnya dari kebun milik sendiri. Begitu pula dengan Jira, berasal dari Dukuh Salakan, yang menjajakan 5 sisir pisang serta bayam. Dan Wagirah, 7 kelapa.

Embun masih terus berjatuhan, bulan sepenggal di langit mulai disaput awan, waktu sudah menunjukan pukul 02.00. Dari berbagai arah, bermunculan perempuan-perempuan lainnya membawa dagangan mereka dengan sepeda dan berjalan kaki. Dan dua orang numpak motor.

Lalu, di perempatan samping Balai Desa mereka menjajakan barang dangannya itu, yang merupakan hasil kebun sendiri, seperti bayam, kangkung, telo pendem, kelapa, kemangi, banturi, jagung.

Ada sekitar 10 orang perempuan berusia lanjut saat itu, mereka membuat semacam pasar tiban. Bertransaksi dalam gelap dan embun dinihari.

Menurut Suminah (40), pemilik warung kecil di pojok perempatan itu, aktivitas pasar tiban dinihari di samping Balai Desa Bangunjiwo sudah lama dimulai. Bahkan sebelum ia lahir, pasar tiban dinihari itu sudah ada.

“Mulai pukul 00.00 sampai pukul 05.00 mereka (pedagang kecil) sudah berdatangan dari berbagai dukuh di Bangunjiwo. Tapi itu tergantung cuaca juga. Kalau hujan ya ndak jualan,” terang Suminah yang juga membuka warungnya khusus malam sampai subuh saja. Siang hari tutup.

Suminah adalah anak Sunaryo, salah seorang pedagang kecil itu. Ia sudah akrab dengan kondisi dan suasana pasar tiban dinihari di perempatan samping Balai Desa Bangunjiwo itu. Suminah mengatakan, biasanya hasil kebun yang dijual kecil-kecilan di perempatan itu, akan dibeli oleh mereka yang akan memasarkannya kepada bakul sayur di pasar tradisional daerah Yogya. Seperti Pasar Gamping, Pasar Serangan, Pasar Kranggan, Pasar Prawirotaman dan Pasar Niten.

Jadi, pasar tiban dinihari tanpa los dan penerangan di perempatan samping Balai Desa Bagunjiwo itu semacam pasar transit. Petani-petani kecil itu mengambil hasil kebunnya, memasarkannya, yang kemudian diteruskan oleh pedagang lainnya ke pasar-pasar tradisional di Yogya.

“Saya berjualan sejak kecil, diajak orang tua,” ucap Slamet (58), usai menurunkan hasil kebunnya, jagung, kangkung, telo pendem dari atas motor bebek.

Slamet yang belum sempat tidur karena mengikuti Syawalan di pedukuhannya, tetap terlihat bersemangat. Kebetulan ia memarkir motornya di depan Balai Desa yang diterangi lampu neon, sehingga guratan wajahnya terlihat meski samar. Guratan wajahnya yang tua itu bukanlah guratan keluh kesah. Tapi guratan hidup yang bekerja. Dan terlihat sangan feminim tanpa slogan muluk-muluk di ruang ber-AC. Begitu nyata adanya. Begitu feminitas.

“Anak saya dua. Suami saya sudah pensiun dari Dinas PU. Saya bekerja untuk menambah keuangan keluarga,” ucap Slamet dengan polos.

Begitulah. Transaksi terus berlanjut. Bagi dagangannya yang sudah laku, berasak menuju rumah. Sementara bagi dagangannya yang belum laku, bersabar menunggu hingga batas waktu yang sudah ditentukan pukul 05.00. Dimana matahari muncul, pasar tiban dinihari itu usai, dan hari baru dimulai.

Namun yang jelas, mereka yang berjualan di perempatan kecil itu, adalah perempuan-perempuan perkasa, akar-akar yang melata dari tanah menghidupi kota. Siapa bilang orang Indonesia pemalas.